1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Meragukan Banalitas Sebuah Kebiadaban

20 November 2015

Teori Banalitas Kejahatan kembali menyeruak ke kesadaran umum setelah kelompok teror ISIS merajalela di Irak dan Suriah. Bagaimana manusia biasa mampu melakukan tindakan biadab dengan nurani yang bersih?

https://p.dw.com/p/1D97Q
Bildergalerie IS in Afghanistan
Foto: picture-alliance/dpa/G. Habibi

Apa yang membuat manusia biasa mampu melakukan tindakan keji?

Selama berabad-abad pertanyaan ini telah mengundang perdebatan di kalangan filsuf, sejahrawan, moralis dan bahkan ilmuwan. Salah satu teori yang beredar adalah bahwa hampir semua orang bisa bertindak biadab jika diperintahkan.

Dibaptis dengan nama "banality of evil," teori ini awalnya mencoba menjelaskan kenapa penduduk Jerman yang berpendidikan dan bertingkah-laku baik kemudian ikut serta dalam pembantaian kaum Yahudi di Perang Dunia II.

Jika diperintahkan oleh figur otoriter atau sekedar didorong keinginan untuk bergabung dengan sebuah kelompok, manusia dalam catatan sejarah mampu membakar buku, menghancurkan rumah, memisahkan orangtua dari anaknya atau membantai satu keluarga, tanpa mencederai hati nurani sendiri.

Eksperimen Legendaris Milgram

Kini sejumlah psikolog menyuarakan sanggahan setelah menganalisa hasil eksperimen yang dilakukan lebih dari 50 tahun silam. "Semakin banyak data yang kami kumpulkan dan semakin banyak kami membaca, maka semakin sedikit pula bukti yang mendukung teori banalitas kejahatan," kata Alex Haslam, Professor di University of Queensland di Australia.

Teori Banalitas Kejahatan berawal dari buku milik penulis Jerman berdarah Yahudi, Hannah Arendt terkait persidangan salah satu dalang Holocaust, Adolf Eichmann 1961 silam. Di dalamnya perempuan yang lolos dari cengkraman Nazi itu menggambarkan betapa penampilan Eichmann jauh dari bayangan seorang iblis, melainkan penduduk biasa.

Seorang psikolog Yale University, Stanley Milgram kemudian menjalankan sebuah eksperimen pada tahun yang sama. Dalam eksperimen tersebut Milgram meminta proband berlaku sebagai seorang guru yang harus menghukum muridnya jika melakukan kesalahan.

Otoritas Merenggut Kemampuan Berpikir

Proband lalu ditutup matanya dan diperintahkan mengaktifkan alat penyetrum setiap kali murid dianggap bersalah. Diawali dengan tegangan sebesar 15 volt hingga 450 volt yang mematikan. "Guru" tidak melihat murid, ia cuma mendengar suara teriakan dan kesakitan.

Tentunya murid dan hukuman listrik itu cuma adegan bohong belaka. Milgram ingin mengetahui apakah proband yang berjumlah 800 orang itu bersedia menyakiti orang lain demi tujuan yang dianggap mulia, yakni demi ilmu pengetahuan.

Hasilnya duapertiga proband sanggup menghukum murid dengan tegangan tertinggi, yakni 450 volt. Dan sebagian besar tidak mengalami stress atau frustasi, melainkan perasaan positif dengan kesadaran telah melakukan sesuatu yang benar.

Dalam kacamata Milgram, sebuah otoritas mampu merenggut kesadaran berpikir seseorang.

WNI Simpatisan ISIS Ingin Pulang ke Indonesia

Bersumber pada Keyakinan

Kini sekelompok psikolog menganalisa ulang hasil studi tersebut. "Milgram adalah psikolog dan pembuat drama yang sangat cakap," kata Kathryn Millard, professor di Macquire University, Sidney. "Isu etika di sini lebih rumit ketimbang yang disangka orang," kata Haslam.

"Milgram secara aktif meringankan beban partisipan dengan membuat mereka meyakini ideologi yang berbahaya, yaitu kesediaan melakukan hal keji demi ilmu pengetahuan."

Stephen Reicher, professor di University of St. Andrews di Skotlandia mengatakan, kendati orang biasa mampu melakukan tindakan biadab, bukan ketidakmampuan berpikir yang menjadi penggerak utama, "kami berpendapat, orang mengetahui apa yang mereka lakukan adalah tindakan keji, tapi mereka meyakini tindakan itu adalah yang benar," katanya.

"Orang mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah tujuan dan mereka meyakini bahwa otoritas adalah cerminan sah dari tujuan tersebut."

Trauma Jadi Budak Seks, Gadis Yazidi Bakar Diri


rzn/ab (afp,dpa)