1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Milenial di Jalur Perlawanan

Zaky Yamani
Zaky Yamani
28 Maret 2020

Ketika demonstrasi mahasiswa di Jakarta dan kota-kota lain tahun lalu meledak, orang-orang terkejut: Bagaimana tiba-tiba kaum milenial yang kerap dicemooh sebagai kaum yang apatis bisa tiba-tiba bergerak seperti itu?

https://p.dw.com/p/3XEgv
Aksi Protes dii Jakarta
Demonstrasi di Jakarta 2019Foto: Reuters/W. Kurniawan

Apa yang mendorong milenial melakukan aksi masif itu? Bagaimana mereka mengorganisasi diri? Komunikasi seperti apa yang mereka lakukan sampai bisa melakukan aksi yang lintas kampus dan lintas wilayah itu?

Dalam beberapa tahun terakhir ini saya cukup sering diundang mahasiswa untuk melatih mereka menulis, juga membimbing dalam mencari metode yang tepat untuk mengkomunikasikan idealisme mereka. Tapi dari yang saya perhatikan, pesertanya tidak pernah terlalu banyak. Paling hanya belasan orang saja di setiap pelatihan.

Tadinya saya pun seperti banyak orang lain, tidak punya harapan terlalu banyak bagi para mahasiswa ini bergerak dan mengajukan tuntutan yang kritis kepada negara. Karenanya saya ikut terkejut—sekaligus gembira—ketika mahasiswa turun ke jalan dan mengajukan tuntutan terkait perundang-undangan yang mereka anggap bermasalah.

Tetapi setelah saya pikir-pikir, aksi masif mahasiswa itu tidak terjadi begitu saja. Kenyataannya, selama bertahun-tahun ini mereka terus bergerak di tataran wacana: dalam lingkar-lingkar diskusi di kalangan mereka sendiri, berjejaring antar kampus, bergabung dalam organ-organ luar kampus, dan seterusnya.

Zaky di Frankfurter Buchmesse 2017
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Tak peduli nyinyiran

Mereka bergerak tanpa terlihat oleh banyak orang, dan tampaknya mereka pun tak begitu peduli dengan nyinyiran banyak orang bahwa mereka "generasi yang apatis.” Karena nyatanya, dalam bertahun-tahun belakangan ini, sedikit demi sedikit mereka terlibat dalam berbagai aksi lintas organisasi, dan melalui hal itulah mereka meraih semakin banyak dukungan dari rekan-rekan mereka sesama mahasiswa.

Aksi represif aparat kepolisian dalam aksi-aksi beberapa tahun terakhir ini—setidaknya yang saya perhatikan di Kota Bandung—juga memberikan "bahan bakar” bagi para mahasiswa itu. Semakin represif tindakan aparat kepolisian, membuat semakin banyak mahasiswa yang ikut bersolidaritas dan akhirnya bergabung dalam gerakan massa.

Saya juga dengar, aparat mulai menuding adanya ideologi kiri yang berperan besar dalam aksi mahasiswa itu. Tetapi saya tidak melihat hal itu sebagai faktor signifikan. Faktor penggerak dalam aksi masif mahasiswa hanya satu: negara semakin represif dan sewenang-wenang kepada warganya.

Saya pikir memang ada peran pihak-pihak di luar mahasiswa, yang mendorong semakin masifnya gerakan mahasiswa itu, tapi bukan dalam konteks tunggang-menunggangi. Peran pihak-pihak luar itu adalah memberikan informasi tentang ketidakdilan dan kesewenangan negara dalam banyak hal di negeri ini. Informasi itu disampaikan melalui medium audio visual, teks, infografis, dan beragam bentuk lainnya, baik yang berasal dari para aktivis maupun jurnalis.

Informasi-informasi itulah—yang sebagian besar tidak kita temukan di media massa mainstream—yang menjadi referensi bagi mahasiswa untuk melakukan gerakan. Mereka sudah muak dengan ketidakadilan, dan diamnya negara pada semua ketidakadilan itu: mulai dari isu reklamasi pantai, pertambangan, hutan, pembunuhan aktivis, sengketa agraria, penggusuran, korupsi, hak untuk kehidupan privasi, dan lain-lain.

Aksi represif aparat, referensi yang semakin bertambah, dan kemuakan pada sistem yang kemudian mengerucut menjadi aksi menuntut negara untuk mengambil langkah penting menyelesaikan semua persoalan itu. Revisi UU KPK, adanya pasal-pasal karet di RKUHP, dan hal-hal lain terkait perundang-undangan terkini, saya pikir, hanyalah jadi pemicu saja dari meledaknya aksi mahasiswa. Bagi mereka, persoalan terbesar adalah pemerintah dan negara tidak memandang penting hal-hal yang dianggap penting oleh generasi mahasiswa zaman sekarang.

Poin terakhir itu, persis sama dengan alasan aksi mahasiswa di zaman lalu, apakah pada era 1960-an, 1970-an, maupun 1990-an: negara abai pada hal-hal yang dianggap penting oleh generasi mudanya. Jika itu sebuah pola, orang-orang yang menuding aksi mahasiswa belakangan ini sebagai aksi kebodohan dan ditunggangi, seharusnya berpikir bahwa mereka sudah tua dan pikiran mereka sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Pola komunikasi yang berubah

Yang membedakan gerakan mahasiswa sekarang dan dulu adalah pola komunikasi. Dulu, penyebaran referensi tidak bisa dilakukan cepat, karena hanya mengandalkan media konvensional seperti selebaran atau majalah kampus. Dulu, pertemuan-pertemuan langsung jadi faktor utama dalam koordinasi gerakan.

Sekarang penyebaran referensi untuk pergerakan, bisa lebih mudah dan cepat melalui bantuan media sosial. Film-film dokumenter bisa disebar-luaskan dalam waktu cepat, dan bisa dilakukan aksi nonton bersama secara serentak di berbagai kota. Tulisan-tulisan, video pendek, dan infografis dapat tersebar dengan mudah, melalui akun-akun media sosial. Pertemuan-pertemuan langsung sudah berkurang signifikansinya, karena diskusi bisa beralih di saluran-saluran yang disediakan teknologi informasi.

Dengan penyebaran referensi dan informasi tersebut, seharusnya generasi tua tidak perlu kaget, kenapa mahasiswa bisa bergerak secara masif dalam waktu yang relatif pendek. Mereka bisa bergerak cepat bukan karena ditunggangi, tapi menggunakan alat dan cara yang sesuai dengan zamannya: referensi yang mudah diakses, dan menggalang dukungan dengan media sosial.

Inilah potret zaman dari generasi yang kita sebut sebagai milenial. Mereka tidak diam, tidak apatis, tidak juga bodoh. Mereka melawan dan bergerak sesuai dengan semangat zamannya, dan menggunakan alat yang disediakan zamannya.

Penulis:

Zaky Yamani

Kolumnis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.