1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjadi Minoritas dan Korban Teror di Dunia

Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko
22 Maret 2019

Kala terorisme mengguncang Selandia Baru, semua berpikir tentang nasib minoritas. Kejadian ini menjadi pengingat, bahwa minoritas apa pun, dimana pun, wajib dilindungi. Opini Imam Prihadiyoko.

https://p.dw.com/p/3FFx8
Neuseeland Gedenken an Opfer des Terroranschlags
Foto: Reuters/J. Silva

We all belong to Allah, and we all surely will return to Him. 

Itulah ucapan pertama yang terlontar di bibir saat menyaksikan video pembantaian yang terjadi menjelang waktu shalat Jumat pekan lalu di masjid di Christchurch, Selandia Baru.

Penembakan yang dilakukan teroris muda berusia 28 tahun itu, mengagetkan dunia. Bukan saja warga kota Christchurch, namun muslim dan warga sedunia pun terhentak. Perasaan campur aduk antara marah, sedih, prihatin dan mengutuk pelaku pembantaian yang menewaskan 50 orang dan 50 orang lainnya luka-luka tembakan.

Perasaan campur aduk. Ada perasaan sakit yang menyesakkan dada. Ada air mata yang menetes melihat simpati yang mengalir, untuk keluarga yang menjadi korban pembantaian, dan muslim di kota itu. Termasuk simpati pada apa yang disampaikan oleh pemimpin seperti Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda  Ardern.

Pembantaian yang disiarkan langsung oleh pelaku melalui media sosial itupun, segera mendapat tanggapan dari banyak pihak untuk tidak ikut menyebarkan video tersebut. Himbauan yang sama juga dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, NU dan Kominfo, disamping tanggapan keprihatinan dan rasa duka yang mendalam.

Namun, anak-anak muda, kaum milenial seperti anak saya yang baru duduk di kelas satu SMA pun, mengungkapkan kengerian dan kemarahannya. Apalagi katanya, ada salah satu korban yang menyapa pelaku dengan ramah, namun tetap dibantai.

Penulis: Imam Prihadiyoko
Penulis: Imam PrihadiyokoFoto: Privat

Adalah Daoud, salah satu korban, ia merupakan imigran asal Afghanistan. Ia tampaknya yang pertama syahid dibunuh teroris di Selandia Baru. Dalam rekaman video, yang disebar pembunuh, ia mengucapkan “Hello Brother” kepada pembunuh yang dengan penuh kebencian menyalakkan senjatanya.

Publik di media sosial pun dibuat terhenyak, sapaan yang amat bersahabat  itu pun dijadikan hashtag #HelloBrother di Twitter. Bingung, sedih, dan tak habis pikir, di era peradaban moderen, di negara yang beradab, dan mungkin dengan latar belakang pendidikan yang mungkin baik, telah melahirkan teroris yang amat sadis itu. 

Jangan beri ruang bagi kebencian

Lantas isi kepala ini berandai-andai yang menyimpan kegeraman, jika saja memakai logika seperti pelaku yang dianggap teroris di Indonesia, maka publik atau media banyak yang langsung mempertanyakan, apa latar belakang lembaga pendidikan pelaku, ia "mondok" dimana, dan bagaimana paham keberagamaan pelaku, kok bisa membimbingnya jadi pembunuh. Lalu orang banyak yang melihat ajaran kitab sucipelaku. Hal yang biasa dilakukan di media di Indonesia, jika ada peristiwa teror di gereja.

Namun kalau saya mempertanyakan ini, kemungkinan tidak sedikit yang menganggap otak saya perlu dicuci, mengingat tidak sedikit orang yang beragama sama dengan pelaku, memberikan ekspresi yang amat berbeda.

Namun, lagi-lagi akal sehat saya bertanya-tanya, bagaimana orang baik, yang menyapa dengan hangat, tersenyum, dibalas dengan tembakan mematikan. Inilah suara hati nurani, rasa kemanusiaan yang bicara dan terusik. Bagaimana mungkin orang yang dibesarkan di negara yang katanya menghargai Hak Asasi Manusia pun, bisa melakukan pembantaian yang amat bertentangan dengan sikap penghargaan atas kemanusiaan.

Inilah manifesto penuh kebencian dari para fasis dan Islamofobik yang paling nyata. Sama bodohnya seperti kata-kata Donald Trump dan senator bodoh dari Australia yang menyalahkan imigran muslim terhadap terjadinya pembantaian tadi. 

Namun, saya sebetulnya tak ingin mengekspresikan  kebencian di sini. Akal sehat saya mengatakan, jangan sampai  memberikan ruang untuk kebencian hadir dan menyebar serta merusak hati dan menyesaki ruang publik.

Hikmah

Sebagai orang beriman, meyakini semua yang terjadi itu merupakan takdir Allah. Secara iman, kita terima ini sebagai sebuah ketentuan langit yang telah terjadi. Pahit dan perih!Tapi iman mengatakan “di balik semua peristiwa, bahkan yang terpahit pun pasti ada hikmahnya”. Karenanya, posisi kita sebagai orang beriman, menerima dengan “hati yang penuh tawakkal”.

Di sisi lain, bagi muslim di tanah air, ini mungkin juga menjadi pengingat bahwa, ada saudara muslim yang tinggal di suatu tempat, di suatu wilayah, di suatu negeri, dan mereka menjadi minoritas di sana. Dengan mengingat ini, tentu bisa merasakan bagaimana kekhawatiran minoritas di tanah air, sehingga bisa berlaku adil. Seperti perintah Allah, agar muslim dapat berlaku adil.

Janganlah merasa menjadi kelompok besar, kuat, lantas menindas yang lemah dan tanpa alasan. Jangan pula menjadi penyebar kebencian dan menanamkan pikiran fasis, sebagai orang yang benar sendiri, tanpa mengkaji dengan dalam apa yang menjadi perintah Al Quran, bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh mahkluk.

Sayangnya, di tanah air, kelompok minoritas –baik agama, ataupun bagian dari agama-- juga masih menyimpan kekhawatiran itu. Masih ada pekerjaan rumah yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah terkait dengan kelompok minoritas. Ini perkerjaan rumah bersama, ayo kita selesaikan bersama. Jangan sampai kebencian mengendap dan menjadi kerak, yang menggerogoti sendi kebangsaan kita.

 

@imamprihadiyoko, penulis lepas dan pendiri menara62.com.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.