1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menilai Kontribusi Ahmadiyah Untuk Indonesia

3 Oktober 2018

Syiar Ahmadyah di Indonesia bermula tanggal 2 Oktober 1925 di Tapaktuan, Aceh. Sejak itu gerakan yang lahir di Punjab ini berkembang dan ikut memperkaya kajian Alquran di tanah air. Berikut opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/34ntj
Indonesien Ahmadiyya-Minderheit
Foto: Getty Images/AFP/Muhasan

Dalam sebuah diskusi lintas iman yang penulis ikuti, seorang pria bercerita perlakuan yang ia alami saat menunaikan sholat di sebuah masjid yang ia duga adalah masjid milik Ahmadiyah.

Pria tersebut mengaku heran karena bekas tempatnya sholat dibersihkan oleh pengurus masjid setempat. Sontak pernyataan tersebut dibantah oleh pegiat toleransi Muslim yang hadir dan menegaskan pengalamannya berhubungan dengan jemaat Ahmadiyah selama ini yang tak pernah mengalami hal buruk.

Ahmadiyah dengan semboyan "Love for all, hatred for none” (Cinta untuk semua, tak ada benci untuk siapapun) acap mengundang penolakan meski jemaahnya yang hidup di Indonesia adalah pendonor kornea mata terbanyak.

Ahmadyah di Indonesia

Kehadiran Ahmadiyah di tengah kemajemukan agama-agama di Indonesia, sesungguhnya telah berlangsung sebelum kemerdekaan 1945.

Bloggerin Monique Rijkers
Monique Rijkers, wartawan independen, pendiri Hadassah of Indonesia dan inisiator Tolerance Film Festival.Foto: Monique Rijkers

Ahmadiyah berawal di Kadian, India yang digagas oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889. Hingga kematiannya pada tahun 1908, dia berhasil menyebarkan ajaran Ahmadiyah sehingga pengikutnya mencapai 70 ribu orang di India.

Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah terpecah menjadi dua, Lahore (Pakistan) dan Kadian. Perbedaan antara Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Kadian terutama pada pengakuan terhadap Mirza Ghulam Ahmad yang dianggap oleh aliran Kadian sebagai Imam Mahdi, sedangkan Ahmadiyah Lahore hanya menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai pembaru ajaran agama.

Pada 2 Oktober 1925, juru dakwah Ahmadiyah Kadian bernama Maulana Rahmat Ali kelahiran Pakistan datang ke Tapaktuan, Aceh lalu ke Padang pada tahun 1926. Maulana Rahmat Ali menyebarkan Ahmadiyah sampai di Jakarta. Buah dari dakwahnya di Indonesia menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sebenarnya pada tahun 1924 ada pula Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baiq dari Ahmadiyah Lahore datang ke Yogyakarta dari India untuk berbicara di depan Kongres Muhammadiyah.

Maulana Ahmad hanya tinggal setahun di Yogya lalu kembali ke India sedangkan Mirza Wali Ahmad Baiq terlibat dalam kegiatan organisasi pemuda bersama Muhammadiyah dan kemudian bergabung dengan organisasi pemuda Moeslim Broederschap yang didirikan pada tahun 1926 oleh Djojosugito, kader Muhammadiyah yang memilih menjadi Ahmadi (sebutan untuk pengikut Ahmadiyah).

Subur di Masyarakat Perkotaan

Mirza Ahmad Baiq menyebarkan Ahmadiyah aliran Lahore melalui diskusi dan tulisan yang diterbitkan hingga banyak menarik minat para pemuda Islam. Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang beraliran dari Lahore terbentuk pada 9 September 1929 dengan nama "De Ahmadijah Beweging Indonesia” dengan ketetapan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup dan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mudjaddid atau pembaru.

Meski kedua aliran Ahmadiyah tidak berpolitik namun Gerakan Ahmadiyah Indonesia berupaya merangkul kaum nasionalis berlatar belakang pendidikan Barat, sesuatu yang tidak dilakukan oleh aliran Kadian.

Pada 23-25 Juni 1930 Gerakan Ahmadiyah Indonesia mengadakan kongres pertama di Purwokerto yang membahas ancaman dari penyebaran agama Kristen dan ateisme. Gerakan Ahmadiyah Indonesia berkembang cepat dengan cabang di enam kota.

Bagi organisasi massa berbasis umat Islam seperti Muhammadiyah, kehadiran Ahmadiyah dianggap sebagai saingan, apalagi anak keempat pendiri Muhamadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, yang bernama Erfan Ahmad Dahlan memilih mengikuti Ahmadiyah, seperti ditulis oleh AK. Pringgodigdo dalam buku "Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia” yang merupakan cetakan ke-7 yang diterbitkan tahun 1970.

Kontribusi Ahmadiyah Dalam Penerjemahan Alquran Bahasa Indonesia

Salah satu kontribusi penting Ahmadiyah dalam sejarah perkembangan agama Islam Indonesia adalah penerjemahan Alquran. Mirza Wali Ahmad Beig adalah penyokong penerjemahan Alquran yang dilakukan oleh H.O.S. Tjokroaminoto dengan tafsiran dari Ahmadiyah aliran Lahore. Hal ini terungkap dalam Kongres Sarekat Islam pada Januari 1928 di Yogya. Menggunakan tafsir Ahmadiyah aliran Lahore dalam Alquran menimbulkan polemik sehingga Agus Salim dari Sarekat Islam turun tangan membela penerjemahan itu.

Agus Salim menegaskan tafsir Alquran yang ada saat itu berasal dari Wahabi Baru, kaum teosofi dan Ahmadiyah, namun yang paling baik adalah tafsir Ahmadiyah. Penerbitan Alquran sempat ditunda menunggu Majelis Ulama mengambil sikap. Menurut AK. Pringgodigdo dalam buku "Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia”, pada September 1928, Majelis Ulama Indonesia yang adalah bagian keagamaan Sarekat Islam mengadakan rapat di Kediri, Jawa Timur dan memutuskan penerjemahan Alquran dengan tafsir Ahmadiyah aliran Lahore boleh diteruskan dengan pengawasan Majelis Ulama Indonesia.

Alquran dengan penerjemahan berdasarkan tafsir Ahmadiyah hanya salah satu contoh tafsir penerjemahan yang beredar di Indonesia. Menurut buku terbitan Litbang Kementerian Agama, "Alquran di Era Global; Antara Teks dan Realitas” pada abad ke-20 terdapat Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir Al Furqan karya A Hasan, Tafsir Al Azhar karya Hamka, Tafsir Al Bayan dan Tafsir An Nur karya Hasby Ash Shidieqy, Alquran dan Tafsirnya yang diterbitkan Departemen Agama RI, Tafsir Al Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab dan masih banyak lagi.

Persekusi Masih Terjadi

Meski turut berperan dalam tafsir Alquran dan mengakui Alquran sebagai kitab suci yang benar serta beribadah secara Islam, Ahmadiyah dianggap berbeda dari mazhab dalam Islam lainnya.

Persekusi berupa pengusiran warga Ahmadiyah dari tempat tinggal mereka terjadi beberapa kali di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Terakhir pada Mei 2018, penyerangan berakibat delapan rumah hancur sehingga 28 orang kehilangan tempat tinggal.

Perhatian terhadap Ahmadiyah sejauh ini masih minim, termasuk Presiden Joko Widodo belum pernah mengunjungi para korban penyerangan walau sudah beberapa kali mendatangi korban gempa di Lombok.

Pembunuhan terhadap tiga jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat pada 2011 merupakan contoh betapa rentannya menjadi seorang Ahmadi. Di masa DI/TII di Jawa Barat juga pernah terjadi pembantai orang Ahmadiyah di Jawa Barat karena menolak keluar dari Ahmadiyah. Pengakuan pemerintah kepada Jemaat Ahmadiyah diberikan pada tahun 1953 sedangkan untuk Gerakan Ahmadiyah Indonesia  baru diterbitkan pada tahun 1986 meski organisasi ini sudah terbentuk sejak 1930.

Penentangan terhadap Ahmadiyah semakin sistematis setelah tahun 1974 dan 2005 Majelis Ulama Indonesia memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam dan Forum Majelis Taklim adalah sejumlah organisasi yang menghendaki Ahmadiyah dibubarkan. 

Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Surat Keputusan Bersama atas nama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, sejak tahun 2008 seluruh kegiatan Ahmadiyah yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW diminta untuk dihentikan.

Meski terdapat perbedaan tafsir pada satu ayat terkait nabi terakhir, paling tidak Ahmadiyah turut serta dalam penerjemahan seluruh Alquran. Sejarah inilah yang idealnya diketahui oleh sesama anak bangsa dan dicatat sebagai kontribusi yang sudah diberikan Ahmadiyah.

Diharapkan dengan menyadari sumbangsih Ahmadiyah sebelum Indonesia lahir, maka persekusi dan tekanan dari ormas terhadap Jemaah Ahmadiyah tidak ada lagi. Tudingan sesat dan pemaksaan keluar dari Ahmadiyah serta serangan fisik terhadap Ahmadi sudah waktunya dihentikan dengan ketegasan hukum terhadap para pelaku kekerasan.

Penulis:

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.