1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengingkari Perkawanan Dalam Politik

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
8 November 2020

Citra masyarakat kita yang biasa digambarkan dalam brosur atau katalog pariwisata, berbeda jauh dengan realitas di ranah politik. Konflik keras sering terjadi. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3jvvR
Tahun 1945
Perdana menteri pertama, Sutan Sjahrir Foto: picture alliance/United Archives/WHA

Narasi untuk kepentingan pariwisata dalam tahap tertentu jelas menyesatkan, mengingat dalam konteks politik, tiada lagi keramahtamahan itu, berganti dengan wajah dan hati yang mengeras. 
Pertandingan sepak bola bisa dijadikan ilustrasi dalam rivalitas di ranah politik. Tim nasional sepak bola kita tampak lebih bersemangat, atmosfer dendam sangat terasa ketika berhadapan dengan  tim Malaysia, yang notebene adalah saudara serumpun.

Rivalitas tiada akhir dari generasi ke generasi  antara tim sepak bola kita dengan Malaysia bisa menjelaskan fenomena persaingan atau perseteruan politik di Tanah Air, bahwa rasa dendam biasanya lebih panas bila terjadi di antara pihak-pihak yang sebelumnya ada hubungan baik atau (bahkan) kerabat. 

Kemudian kita juga sering mendengar, bagaimana saudara kandung bisa putus hubungan seumur hidup, karena masalah kekeluargaan yang tidak kunjung terselesaikan, seperti sengketa soal harta warisan.

Menyingkirkan kawan seiring

Dari gambaran soal pertandingan sepak bola dan sengketa keluarga di atas, kita bisa memahami, konflik keras biasanya lebih sering terjadi pada pihak yang sebelumnya memiliki ikatan primordial, bahkan ikatan kebangsaan. Salah satu kasus menarik adalah soal catatan sejarah terkait peristiwa PRRI, yang beban morilnya masih terjadi bertahun-tahun kemudian, kendati sudah terjadi perdamaian pada akhir tahun 1950-an.

Kita bisa melihat pada pola penamaan anak-anak dari etnik Minangkabau, yang lahir pada dekade 1960-an dan seterusnya, yang lebih sering memakai nama bergaya barat, bukan nama tipikal Minangkabau, seperti generasi sebelumnya. Mereka seperti ingin menyembunyikan status etniknya, terkait dengan peristiwa PRRI. Demikian juga dengan yang terjadi pada etnik jawa, ada persoalan yang belum selesai sampai hari ini, sehubungan konflik horizontal pasca Peristiwa 1965. Luka sejarah sebagai dampak konflik horizontal tersebut, setengah dipaksa dianggap  selesai, namun sejatinya belum selesai.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis. Aris Santoso Foto: privat

Bila kita perhatikan, suasana batin bangsa kita lebih ringan ketika berhadapan dengan Belanda atau Jepang, bangsa yang dulu pernah menjajah kita. Bahkan terbersit ada rasa bangga pula, ketika bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi (dibanding Belanda), yakni Perancis (periode Daendels) dan Inggris (periode Raffles), pernah menjajah negeri ini. Singkatnya, suasana batin kita sudah selesai dengan bangsa penjajah, tak ada lagi rasa dendam. Waktu telah menyembuhkan luka.

Beda masalahnya bila berbicara di ranah politik domestik, suasana batin para pelaku terkesan lebih sulit berdamai atau sejuk. Bagi saya ini masih sebuah misteri, mengapa kita lebih mudah berdamai dengan bangsa yang jauh (Belanda dan Jepang), sementara berdamai dengan sesama bangsa sendiri lebih berat, lihat saja di kawasan kultur Priangan, masih sulit kita jumpai jalan bernama Hayam Wuruk atau Gajah Mada.

Kita jadi paham sekarang mengapa begitu banyak tokoh tersingkir,  dengan cara tragis, seperti Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Bung Karno, dan seterusnya. Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, antara keduanya saling menafikan, padahal keduanya sama-sama besar di Medan dan secara ideologis adalah sama-sama penganut sosialisme. Amir tersingkir terlebih dahulu pasca-Madiun 1948, sementara Sjahrir menjadi tapol di era rezim Soekarno, karena partainya (PSI) dianggap terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta. Sjahrir meninggal dalam status masih  sebagai tapol pada April 1966.

Fenomena menyingkirkan kawan seperjuangan masih terjadi sampai hari ini. Contoh kasusnya mungkin tak terhitung, namun secara acak bisa diambil pengalaman Eros Djarot, yang dulu sempat dekat dengan Megawati, sejak nama yang terakhir ini masih masih menjadi Ketua Umum PDI (tanpa label Perjuangan), hingga sebagai  Ketua Umum PDIP. 

Eros adalah nama besar di bidang kesenian (musik dan film), kemudian berlanjut membangun karier sebagai politisi, tak salah bila Eros memilih PDI di masa Orde Baru, mengingat latar belakang keluarga sebagai penganut Soekarnois. Eros ikut berkeringat agar Megawati bisa menjadi tokoh yang populer, dan ikut andil menjadikan Mega sebagai  simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Salah satu tugas penting Eros adalah menyiapkan naskah pidato bagi Megawati.

Namun ketika Megawati sudah di puncak kekuasaan pada tahun 2000 atau 2001, dengan berbagai alasan akhirnya Eros tersingkir. Bahkan ketika Eros mendirikan partai (2002), Megawati tidak berkenan ketika nama partainya memakai label Bung Karno (PNBK), sehingga akronim BK harus direvisi menjadi Banteng Kemerdekaan.

Satu hal yang menarik adalah, dalam berbagai tulisan Eros mutakhir, secara jelas tidak ada rasa dendam Eros terhadap PDIP. Eros tetap memberikan masukan yang bernas pada PDIP, seperti ketika PDIP diserang dari segala penjuru, sehubungan dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Mencari politisi berjiwa besar

Generasi Sjahrir dan juga generasi Eros adalah bagian dari politisi masa lalu. Eros memang masih hidup, dan baru saja memasuki usia 70, pada bulan Juli lalu. Namun saya tidak yakin bila Eros ingin terjun kembali di politik praktis. Satu hal yang ingin saya katakan adalah, ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari politisi masa lalu, sesuai ungkapan lama: tidak ada yang baru di bawah Matahari.
Satu hal yang patut diapresiasi dari politisi  generasi terdahulu, mereka tidak pernah mengajukan klaim atas penderitaan yang pernah dialaminya. Termasuk kita belum pernah mendengar klaim dari anak-anak M Natsir, Sutan Sjahrir, Sjafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, dan seterusnya, atas kezaliman yang pernah diterima ayah mereka di masa yang telah lewat. 

Jangankan klaim, jejak anak-cucu mereka pun, kita tidak tahu. Kita tidak pernah tahu misalnya, bagaimana anak-anak Sutan Sjahrir dalam melanjutkan hidupnya.  Mereka berbaur dengan orang kebanyakan, tidak menjadi tokoh publik, itu sebabnya kita tidak pernah tahu jejaknya. Itu bisa terjadi, karena mereka berjiwa besar, dan sudah paham risiko sebagai politisi atau orang pergerakan, sehingga bisa ikhlas menerima keadaan.

Beda halnya dengan aktivis generasi berikutnya, yang secara terang-terangan melakukan kapitalisasi atas pengalaman mereka sebagai aktivis. Para aktivis, seandainya dulu pernah dipenjara atau diculik, pengalaman ini mereka jadikan modal sosial untuk memperoleh jabatan, atau bentuk kesejahteraan yang lain. Bahkan ada aktivis yang dulu menjadi korban penculikan, justru kini menjadi pengikut setia dari pimpinan satuan penculik. Saya sendiri menjadi bertanya-tanya dalam hati, apakah dia dulu benar-benar diculik atau sekadar sandiwara belaka.

Setidaknya ada tiga nama aktivis dari generasi 1980-an, yang tidak pernah melakukan klaim kesejahteraan hingga akhir hayatnya, yaitu Bambang Harri (meninggal Februari 2008), Amir Husin Daulay (meninggal Juli 2013), dan Agus Edi Santoso (meninggal Januari 2020). Apa saja kiprah mereka di masa Orde Baru dulu, tidak perlu saya ceritakan di sini, semua orang – khususnya komunitas aktivis 1980-an – juga sudah mahfum. Ketiganya seperti mengikuti jalan yang dulu ditempuh Sutan Sjahrir atau Tan Malaka, bersedia menderita sampai ajal menjemput. Tidak seperti model aktivis lain, yang kiprahnya sebagai aktivis (di masa lalu) dijadikan komoditas.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.