1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menghadapi Pendukung Gaddafi di Sirte

12 Oktober 2011

Pendukung Dewan Transisi Nasional di Libya masih berusaha kalahkan pendukung Muammar Gaddafi di Sirte. Mereka dua kali gagal karena tidak terorganisir. Tetapi dapat dukungan dari warga sipil yang sumbangkan kebisaan.

https://p.dw.com/p/12qMc
Libyan revolutionary fighters attack pro-Gadhafi forces in Sirte, Libya, Friday, Oct. 7, 2011. Rebel forces have besieged Sirte since September 15 but have not managed to penetrate the heart of the city because of fierce resistance from loyalists inside the home town of Libya's ousted leader Moammar Gadhafi. (Foto:Manu Brabo/AP/dapd)
Pemberontak yang menyerang tentara pendukung Gaddafi di SirteFoto: dapd

"Gaddafi mencuri masa muda saya. Coba lihat anak-anak ini, dan semua yang tewas.“ Miftah Arkami membisu beberapa saat. Sambil menahan tangis, ia menunjuk kepada beberapa pejuang berusia muda, yang duduk di depan televisi di ruang duduk yang luas. Beberapa dari mereka tertidur di atas karpet wol berwarna kelabu, sebagian lainnya di sofa.

Rebellen entspannen sich vor dem großen Angriff auf Sirte. Die Autoren (DW Mitarbeiter) haben libysche Rebellen in Sirte begleitet. Ort und Datum: 06.10.2011, in der Nähe von Sirte. Copyright: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit
Pemberontak beristirahat di sebuah ruamah di luar SirteFoto: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit

Di sudut-sudut ruangan berdiri lemari dari kayu mahagoni. Di dalamnya terletak beberapa teko berwarna warni yang dilengkapi dengan gelas-gelas yang sesuai. Sampai beberapa pekan lalu, rumah yang terletak di dekat kota Sirte, sekitar 400 km di sebelah timur ibukota Tripoli, dimiliki seorang anggota keluarga Gaddafi yang berkedudukan tinggi. Pemberontak dari Misrata kemudian menyita rumah tersebut. Miftah Arkami ikut serta sejak perang dimulai.

Menyumbang Dukungan

"Sayang saya sudah terlalu tua dan lemah untuk mengangkat senjata,“ demikian dikatakannya dan melangkah ke luar ruangan. Di teras ia menuang batu bara ke dalam kotak dari besi untuk membuat teh. "Anak-anak muda ini berhasil mencapai sesuatu yang tidak mungkin,“ demikian katanya sambil menambahkan, "mereka butuh dukungan.“ Kemudian ia berseru beberapa kali "Allahu Akbar“. Allah maha besar. Ia kemudian mengangkat tangannya yang dikepalkan setinggi mungkin. "Allahu Akbar“, demikian seruan pemberontak lainnya sebagai jawaban. Di pohon di samping rumah, diikat seekor domba. "Makan malam kalian,“ demikian dikatakan Miftah Arkami, untuk pertama kalinya tampil senyum di wajahnya.

Rebellen bereiten ihre Waffen für die nächste Schlacht vor. Das Bild wurde in der Nähe von Sirte, Libyen gemacht. Die Autoren (DW Mitarbeiter) haben libysche Rebellen in Sirte begleitet. Copyright: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit
Pemberontak mempersiapkan senjata dan amunisiFoto: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit

Suara generator disel yang menyediakan listrik bagi rumah itu sekali-sekali tertutup suara pukulan keras. Di sebelah rumah itu ada sebuah bengkel, di mana senjata, dan kendaraan dipersiapkan untuk pertempuran. Abdelfatah Boushruda, seorang pria bertubuh kecil yang mengenakan t-shirt berlumuran minyak, menyetir mobil pick up ke garasi yang terbuka. Ia kemudian memeriksa senjata dan amunisi dengan seksama.

Dulu ia bekerja di sebuah bengkel di Misrata, sampai revolusi pecah, demikian tuturnya. Di bengkel pemberontak, pengetahuannya diperlukan. "Di sini saya belajar memperbaiki senjata,“ demikian ditambahkannya, sambil beberapa kali melepaskan tembakan dari pelempar geranat ke seonggokan pasir. Selongsong peluru jatuh berdentingan di lantai.

Hidup dalam Perdamaian

Ia sangat mendambakan akhir perang, demikian tuturnya. Pertempuran di Sirte dan Bani Walid sudah berlangsung beberapa pekan. "Saya hanya ingin kembali ke kehidupan saya,“ paparnya sambil merenung sejenak. "Saya ingin bisa tidur tanpa memikirkan bahwa esok hari perang masih berlangsung.“ Pengetahuan barunya tidak diperlukannya lagi setelah revolusi, katanya. "Saya ingin hidup dalam perdamaian.“

epa02929555 A Libyan rebel looks as rebels search for suspected loyalists of fugitive leader Muammar Gaddafi in Sabha, Libya, on 20 September 2011. According to media sources on 22 September, rebel commanders said their forces were in full control of Sabha in the country's desert south, and had tightened their grip on three entrances to Sirte, Gaddafi's hometown, on the Mediterranean coast. EPA/IVAN LABIANCA +++(c) dpa - Bildfunk+++
Pemberontak mencari markas tentara GaddafiFoto: picture-alliance/dpa

Miftah Arkami membagi-bagikan gelas kecil yang diisi teh hijau. Para pejuang muda menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Sesekali mereka berseru "Allahu Akbar“. Miftah berkelakar dengan mereka. Para pejuang yang masih lajang harus menikah segera setelah perang berakhir, demikian kata pedagang bahan pangan berusia lanjut itu. "Kamu juga harus menikah, Miftah,“ demikian teriak seorang dari mereka, dan gelak tawa merebak. Duda Miftah Arkami juga tertawa.

Kemudian ia berkata dengan wajah serius, "Kalian harus menikmati kebebasan dan pergi ke luar negeri, supaya mengenal negara-negara lain. Kalian punya kebebasan, yang tidak dapat kami nikmati di bawah kekuasaan rambut keriting.“ Yang dimaksud dengan "rambut keriting“ adalah Gaddafi. Itulah sebutan yang diberikan banyak orang Libya kepada bekas diktator Muammar Gaddafi.

Membebaskan Sirte

Di teras rumah peristirahatan itu, pemberontak mulai mempersiapkan senjata mereka. Peluru untuk senapan mesin dijejerkan, kemudian dengan kaki telanjang ditekan ke dalam tempat peluru yang terbuat dari besi. "Kami punya amunisi lebih dari cukup,“ kata salah seorang pemberontak sambil menepuk ikat pinggang yang dipenuhi amunisi dengan tongkat kayu, agar peluru berada di posisi yang benar. "Untuk melindungi amunisi dari serangan NATO, tentara Gaddafi meletakkan kotak amunisi di tepi jalan. Kami kemudian mengumpulkannya.“ Di atas onggokan batu bara sekarang terletak sebuah panci. Sepotong daging besar terletak dalam kuah berwarna merah. Domba yang beberapa jam lalu diikat di bawah pohon tidak ada lagi.

Brigadeführer Ali Miftah aus Misrata. Das Bild wurde in der Nähe von Sirte, Libyen gemacht. Die Autoren (DW Mitarbeiter) haben libysche Rebellen in Sirte begleitet. Copyright: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit
Komandan brigade, Ali MiftahFoto: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit

Seorang pria keluar dari rumah dan menuruni tangga teras dengan lambat sambil menggosok-gosok matanya. Komandan Ali Miftah hanya tidur dua jam. Sebelumnya ia ke Misrata, untuk mengambil pasokan bagi brigade yang dipimpinnya, dan untuk merekrut pejuang baru. Demikian cerita Ali Miftah yang berusia 40 tahun, yang sebenernya memiliki perusahaan penyewaan mobil. "Jika Sirte jatuh, perang berakhir," demikian katanya, sambil mengulas dagunya. "Kami yakin, putra-putra Gaddafi berada di kota itu. Jika kami berhasil membebaskan Sirte, tentara bayaran di Bani Walid dan tempat-tempat lain tidak perlu berperang lagi,“ tuturnya.

Pemberontak sudah dua kali dipukul mundur di Sirte. Beberapa orang dari mereka tewas. Akibat tidak adanya koordinasi antar brigade yang menyerang, tentara Gaddafi yang terorganisir baik kerap berhasil menghalau serangan pemberontak. "Tentu saja kami tidak terorganisir,“ kata Ali Miftah, "kami sebenarnya warga sipil. Di sini tidak ada yang menyelesaikan pendidikan militer.“ Ia duduk di lantai bersama pejuang lainnya, di sekeliling panci aluminium besar, yang diletakkan Miftah Arkami. Panci itu dipenuhi daging dan sayuran. Pria-pria itu makan tanpa berbicara. Kesokan harinya, serangan baru akan dimulai.

Sumbangan bagi Revolusi

Hadj Miftah Arkami scherzt mit Brigadeführer Ali Miftah vor dem Haus eines hohen Mitglied des Gaddafi-Clans, das Rebellen vor ein Paar Wochen eingenommen haben.Das Bild wurde in der Nähe von Sirte, Libyen gemacht. Die Autoren (DW Mitarbeiter) haben libysche Rebellen in Sirte begleitet. Copyright: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit
Ali Miftah (kanan) bercanda dengan Miftah Arkami di depan rumah yang diduduki pemberontak di dekat Sirte.Foto: Birgitta Schülke & Khalid El Kaoutit

Pukul 11 malam lampu di teras dimatikan dan generator tidak terdengar lagi. Para pejuang kembali ke ruang duduk. Mereka menggelar tikar tidur dan menyelubungi diri dengan selimut dari bahan sintetik yang berwarna-warni, yang mereka temukan di rumah itu. Beberapa dari mereka sudah tidur, topi menutupi wajah mereka. Seorang dari mereka membalikkan badan, yang lainnya mendengkur dengan halus. Di sebelah mereka tergeletak harta yang mereka miliki, dibungkus dalam tas-tas kecil, sebuah t-shirt, sebuah sikat gigi, sebuah foto.

Miftah Arkami menunjukkan kamar mandi. Bak mandi yang dilengkapi musik dan alat pemijit menunjukkan kemewahan yang dinikmati bekas pemilik rumah itu. Di atas rak masih tergeletak jepit rambut milik anak perempuan pemilik rumah. Keluarga itu, seperti pendukung Gaddafi lainnya, melarikan diri setelah perang pecah. Miftah Arkami membaringkan diri untuk tidur. Malam tidak berlangsung lama. Pagi dini hari, pemberontak sudah melancarkan serangan baru atas Sirte. Seperti sebelumnya, dalam pertempuran itu Miftah Arkami juga akan berada bersama mereka, untuk membesarkan semangat para pejuang. Itulah sumbangannya bagi revolusi, katanya.

Khalid El Kaoutit & Birgitta Schülke / Marjory Linardy

Editor: Christa Saloh