1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengapa Gelombang Ekstremis Tidak Akan Lahirkan Intektual?

30 Oktober 2017

Mengapa para ekstremis tak sabar menempuh jalan para pemikir untuk lahirkan tradisi intelektual yang jernih dalam mengatasi persoalan? Santri tak segan mengambil hal baru yang lebih baik. Opini Kalis Mardiasih

https://p.dw.com/p/2mhm8
Indonesien Islamschule
Foto: Reuters/Beawiharta

Peristiwa 11 September, bom Bali, penembakan Charlie Hebdo, hingga video-video pemenggalan kepala serta bom pengantin oleh ISIS yang justru dengan percaya diri mereka viralkan sendiri, merupakan sedikit bukti dari bentuk ekstremisme yang berakar dari fundamentalisme dan ekslusivisme dalam beragama. Meskipun, penggunaan kata ekstremis, apalagi jika dikaitkan dengan agama mayoritas, seringkali memicu polemik.

Tentu saja tiap agama mengaku sebagai agama paling benar dan paling baik, tetapi dalam praktiknya, memang tidak semua pemeluk agama mampu menjadi wakil nilai kebenaran dan kebaikan. Para ekstremis tampak sebagai golongan yang men-short cut cara jalan dakwah lewat cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan nilai agama itu sendiri.

Indonesein, Bloggerin Kalis Mardiasih
Foto: Kalis Mardiasih

Imam Al Ghazali dalam Al Iqtishad fi al i-tiqod berkata,”Kesalahan dalam (bentuk) pembiaran terhadap kekafiran seribu orang kafir lebih ringan daripada kesalahan dalam (bentuk) penumpahan secangkir darah satu orang muslim.”

Mengapa para ekstremis tidak sabar menempuh jalan para pemikir untuk melahirkan tradisi intelektual yang jernih dalam mengurai dan mengatasi persoalan?

Prof. DR. Ali Jum'ah dalam Bukan Bid'ah: Menimbang Jalan Pikiran Orang-Orang yang Bersikap Keras dalam Beragama (2012) memaparkan beberapa ciri kaum ekstremis di masa kini. Selain ciri umum bahwa golongan ini senang meributkan masalah-masalah parsial (cabang) dalam agama lalu memonopoli kebenarannya, mereka adalah kelompok yang sangat percaya pada teori konspirasi bahwa seakan-akan seluruh dunia memusuhi kaum Muslimin, seakan-akan umat Islam saat ini ada dalam situasi perang abadi untuk diserang pihak musuh seperti zionisme (yahudi), kristenisasi (kristen) dan sekularisasi (atheisme).

Selalu merasa terzalimi

Akhir-akhir ini, kelompok muslim yang selalu merasa terzalimi ini jumlahnya makin banyak di sekitar kita. Mereka terprovokasi melalui aplikasi pesan instan yang menyebar secara cepat, seolah ancaman asing, aseng, kafir, komunis –kelompok-kelompok ini bisa berganti-ganti sesuai momentum dan desain isu-  ada di dekat mereka dan siap mengganyang kapan saja. Phobia jenis ini membuat umat lupa hal-hal fitrah.

Umat lupa bahwa sifat arrahim Allah itu meliputi semua makhluk di dunia. Pemeluk agama apa pun dan ras mana saja, akan diberi kesejahteraan dan kemajuan jika ia sungguh-sungguh dalam belajar dan bekerja. Artinya, penyebab umat miskin secara ekonomi adalah karena memang malas dan tidak berinovasi di bidang bisnis, dan ketertinggalan komunitas muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi disebabkan kemalasan membaca, mengartikulasi gagasan dan lebih sering berdebat, bahkan menggejolakkan perang hanya karena fenomena takfirisme dan perebutan kekuasaan.

Kitab Ta'limul Mutaalim (Pelita Penuntut Ilmu) karangan Az Zarnuji dalam satu bab setelah mendefinisikan hakikat ilmu, kemudian membahas perihal niat belajar. Menurut kitab klasik tersebut, salah satu niat belajar yang penting adalah memerangi kebodohan sendiri dan segenap kaum bodoh, menghidupi agama dan melanggengkan Islam sebab kelanggengan Islam hanya bisa diwujudkan dengan ilmu. Belajar juga merupakan wujud mensyukuri kenikmatan akal dan badan yang sehat. Pemikir pendidikan Islam yang menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand itu juga memberi peringatan bahwa belajar tidak boleh diniatkan untuk mencari pengaruh, kenikmatan dunia ataupun kehormatan di depan penguasa.

Ta'limul Mutaalim adalah pintu gerbang para santri di pondok pesantren tradisional di Indonesia sebelum naik jenjang belajar ilmu-ilmu alat, fikih, tarikh dan tauhid. Pada praktiknya, penghayatan pada intisari kitab itu kemudian mewujudkan tradisi unik khas pesantren, seperti adab penghormatan kepada guru, pendalaman seorang santri kepada bidang ilmu tertentu secara spesifik, keterbukaan cara pandang dalam berdiskusi, dan hasrat santri untuk terus mencari ilmu di banyak tempat.

Santri memandang hidup sebagai sebuah kewajaran dan keniscayaan sehingga ia tidak menjauhi seni, sastra dan pernik kehidupan sosial lainnya. Sesuatu yang baru bukan lantas dianggap bid'ah, sesat dan neraka, melainkan memandangnya dari perspektif yang baik untuk dikembangkan. Santri melanjutkan tradisi yang baik dan tak segan mengambil hal baru yang lebih baik.

Alkisah, Gusdur  dalam artikel Tiga Pendekar dari Chicago (Tempo, 27 Maret 1993) mengisahkan Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif sebagai generasi pemikir muslim pertama yang pulang menimba ilmu dari Amerika. Meskipun digodok di universitas yang sama, ketiganya punya pendapat berbeda dan cenderung kontra dalam pemikiran soal kebangsaan. Nurcholish yang lahir dari rahim pesantren salafiyah tradisional Darussalam Gontor, mengajukan proposal "Islam Yes, Partai Islam No”. Amien Rais yang merupakan produk campuran sekolah modern Muhamadiyah dan pesantren Mambaul Ulum dan Al Islam ngotot bahwa produk pemikiran Islam mesti dilembagakan dan mengintervensi pusat-pusat kekuasaan. Sementara itu, Syafii Maarif yang lekat dengan madrasah Mualimin tanah Minang, berada di antara keduanya: aspek kultural Islam dan lembaga kekuasaan sama pentingnya untuk mengambil peran.

Mengembangkan Islam sebagai cara hidup

Lain dari orang-orang yang gemar memonopoli kebenaran, perbedaan dalam tradisi pemikir muslim adalah kabar baik yang menandakan komitmen untuk sama-sama mengembangkan Islam sebagai cara hidup, baik secara sistematik maupun organik. Perasaan yang menjangkiti pemeluk agama yang mau menajamkan akalnya adalah kebutuhan untuk mengembangkan etos dan disiplin keilmuan kaum muslim untuk mengejar ketertinggalan di segala bidang.

Namun ternyata, jalan hidup para santri juga tidak semata ditentukan oleh etos belajar. Gejolak politik tanah air sangat berpengaruh dalam mewujudkan upaya-upaya itu.

Hingga akhir tahun 1970-an, para pemikir Muslim Indonesia, utamanya tokoh Masyumi banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ulama NU lebih suka pergi ke Mekah untuk belajar teks-teks fikih klasik, sebelum pada paruh abad ke-20 beramai-ramai lebih memilih Al Azhar di Kairo. Dalam perjalanannya, ketika internal Muhamadiyah memilih menarik diri dari politik dan NU bergejolak untuk kembali ke khittah 1926 agar tak terlalu tenggelam dengan tarik ulur kekuasaan, pada tahun 60-an Masyumi justru sangat terlibat pada politik praktis sehingga tak terlalu menaruh perhatian pada pemikiran Islam. Gagasan Al Banna dan Abu A'la Al Maududi menjadi tidak relevan ketika menurut Bruinessen, justru materi-materi Ikhwanul Muslimin yang non revolusioner dan disponsori Saudilah yang menjadi sangat berpengaruh di lingkaran Masyumi pada kurun 1980-an dan 1990-an.

Berkompromi dengan pemerintah

Di era Orde Baru, pemikir Muslim yang menonjol datang dari kelompok HMI yang cenderung bisa berkompromi dengan pemerintah. Kajian dari tokoh muda HMI melahirkan kelompok kelas menengah muslim yang kuat di Indonesia. Abdurrahman Wahid (Gusdur) mewakili NU, yang memberikan perhatian kepada keterbelakangan ekonomi dan intelektual, bersama Dawan Rahardjo yang lama menjabat direktur LP3ES menjadikan pesantren sebagai pusat-pusat pengembangan masyarakat. Jejaring organisasi non-pemerintah yang mereka miliki aktif dalam pengembangan pedesaan. Gusdur menegaskan bahwa Islam harus dipahami dalam konteks historis dan sosial. Menyesuaikan diri dengan adat istiadat Arab bukanlah syarat untuk menjadi seorang Muslim yang baik, sebab inti dari Islam adalah nilai-nilai universal yang juga ditemukan dalam agama-agama lain, seperti keadilan, kesetaraan, dan perlindungan atas hak-hak individu.

Intelektual muda muslim angkatan 80-an tersebut banyak dipengaruhi oleh revolusi Iran. Daya tariknya yang kuat membuat wacana-wacana Ali Syariati dan Murtadha Mutahhari segera diterjemahkan dan berdampak secara luas untuk para pembaharu muslim dibanding gagasan politik tokoh Islamis Sunni seperti Maududi dan Sayyid Qutb yang telah lebih dahulu muncul.

Sehingga, mengherankan ketika awal 2000-an ketika peta politik berubah, ditandai dengan kuatnya institusi pendidikan asal Saudi yang masuk ke Indonesia, para pengagum pemikiran Syiah seperti Jalaluddin Rakhmat didemonisasi habis-habisan. Di banyak tempat, terdapat kajian dengan judul "kesesatan syiah” atau "syiah bukan Islam”, padahal kajian pemikiran syiah punya fokus yang bagus pada nasib mustadh afin, kelompok yang tertindas dan perlawanan mereka pada status quo.

Definisi santri yang menarik dijelaskan oleh Prof. Azyumardi Azra. Santri, adalah siapapun yang memiliki hasrat menuntut ilmu yang tinggi, baik secara langsung lewat lembaga pendidikan maupun mereka yang mencuri-curi waktu untuk belajar di banyak tempat. Satu syarat penting adalah moderat, yang merupakan lawan dari ideologi radikal. Moderat yang disampaikan oleh Prof Azyumardi Azra spesifik kepada mazhab Asy'ariyah dan tasawuf Al Ghazali. Tapi buat saya, secara sederhana, menjadi moderat adalah menjadi terbuka kepada perbedaan agar tidak membuat seseorang merasa menjadi benar mutlak, sebab yang berhak mutlak hanyalah Tuhan.

Penulis:

Kalis Mardiasih

Penulis opini dan penejemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.