1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Brasil Selatan Sering Dilanda Bencana?

Nadia Pontes
10 Mei 2024

Belum setahun sudah terjadi empat kali bencana alam. Mengapa selatan Brasil begitu sering dilanda badai? Para pemerhati lingkungan menuding para politisi kurang memiliki kesadaran untuk mencegah perubahan iklim.

https://p.dw.com/p/4ffke
Musibah berulang di selatan Brasil
Porto Alegre terendam banjirFoto: Renan Mattos/REUTERS

Hujan lebat di selatan Brasil  sejauh ini telah merenggut sedikitnya 83 korban jiwa, sementara 111 orang dilaporkan hilang. Demikian pengumuman pemerintah Negara Bagian Rio Grande do Sul di Brasil pada hari Senin (06/05) lalu.

Setidaknya 345 dari 497 komunitas di negara bagian tersebut terkena dampak hujan lebat dan banjir yang mulai terjadi sejak seminggu lalu. Di seluruh negara bagian itu, lebih dari 121.000 orang mengungsi ke kerabat atau teman, dan 19.000 lainnya berada di tempat penampungan darurat. Ratusan ribu rumah tak teraliri air dan listrik.

Ibu kota negara bagian Rio Grande do Sul, Porto Alegre- pusat sejarah yang berpenduduk 1,4 juta jiwa dengan dialiri Sungai Guaíba, sepenuhnya terendam banjir. Menurut pihak berwenang setempat, Guaiba mencapai ketinggian 5,32 meter - jauh di atas rekor sebelumnya yaitu 4,7 meter pada tahun 1941.

Gubernur Rio Grande do Sul Eduardo Leite membandingkan situasi ini dengan "skenario perang" dan menyebut banjir kali ini sebagai bencana terburuk dalam sejarah negara bagian tersebut. Dia menyerukan "Rencana Marshall” (program ekonomi skala tinggi) dengan investasi besar-besaran untuk mendorong rekonstruksi.

Pada hari Minggu (05/05), Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva memantau langsung upaya penyelamatan di lokasi di Rio Grande do Sul. Bersama Gubernur Leite dan ketua kedua majelis parlemen, ia mengunjungi lokasi bencana dan menjanjikan bantuan pemerintah kepada mereka yang terkena dampak musibah.

Memblokir fenomena front dingin

Pihak berwenang bersiap menghadapi hujan deras sepanjang minggu ini, kata ahli meteorologi Marcelo Seluchi dari Badan Pemantauan dan Peringatan Bencana Alam Brasil, Cemaden. Namun, mereka tidak memperkirakan akan dasyatnya limpahan air.

Wilayah tengah Rio Grande do Sul dilanda dua fenomena iklim yang tumpang tindih. Di satu sisi, daerah bertekanan tinggi di tengah Brasil menyebabkan gelombang panas yang luar biasa pada bulan Mei.

Hal ini menghalangi laju front dingin yang datang dari selatan. Karena penyumbatan front dingin (fenomena alam yang membuat  suhu lebih dingin) , semua air menumpuk di Rio Grande do Sul dan menyebabkan hujan berjam-jam. Ditambah lagi dengan angin utara, yang membawa kelembapan dari wilayah Amazon melalui apa yang disebut sungai terbang.

"Mungkin juga ada pengaruh El Niño, yang kini mereda pada bulan Mei. Itu sebabnya gelombang panas masih kuat,” kata pakar iklim Tércio Ambrizzi, dari Universitas São Paulo (USP).

Bagi Seluchi, tidak ada tempat di dunia yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini. "Mungkin harusnya ada contingency plan, rencana pencegahan yang disusun saat musim kemarau. Tapi jangan dilakukan dalam satu minggu ke minggu berikutnya. Itu yang tidak dilakukan,” ujarnya. 

Tragedi yang terprediksi

Banjir yang terjadi saat ini merupakan bencana iklim keempat di Rio Grande do Sul dalam kurun waktu kurang dari dua belas bulan. Pada tahun 2023, terjadi banjir pada bulan Juni, September dan November yang menyebabkan total 80 orang meninggal dunia.

Menurut aktivis lingkungan Miriam Prochnow, dari organisasi nonpemerintah Apremavi, peringatan akan kejadian cuaca ekstrem tidak ditanggapi dengan serius oleh pihak berwenang di Rio Grande do Sul.

"Kota-kota mengabaikan fakta bahwa hal ini harus diperhitungkan dalam perencanaan kota. Mereka tidak berpikir untuk merelokasi penduduk dari daerah berisiko, namun membiarkan pemukiman di daerah yang sudah pernah terjadi banjir. Mereka hanya mengabaikan krisis iklim," kata Prochnow kepada DW.

Ahli geografi Karina Lima, yang meneliti cuaca ekstrem dan perubahan iklim di Universitas Federal Rio Grande do Sul, menunjukkan bahwa negara bagian tersebut terletak di zona yang sangat dipengaruhi oleh El Niño dan La Niña. La Niña melambangkan pola cuaca yang sangat diametris dibandingkan dengan El Niño, yang disertai dengan peningkatan angin pasat tropis normal dari timur.

"Model matematis telah lama meramalkan bahwa tren peningkatan curah hujan rata-rata tahunan dan curah hujan ekstrem akan terus berlanjut di Rio Grande do Sul. Lebih banyak investasi dalam pencegahan harus dilakukan di negara bagian tersebut, yang sangat rentan terhadap kejadian ekstrem,” kata Lima.

Bagi aktivis lingkungan hidup, Clóvis Borges, dan Direktur Eksekutif Lembaga Nonpemerintah Society for Wildlife Research and Environmental Education (SPVS), Rio Grande do Sul kehilangan ketahanannya terhadap iklim ekstrem beberapa dekade lalu.

"Ini adalah negara bagian Brasil pertama yang seluruh wilayahnya tertutupi dengan lahan pertanian. Kawasan alam praktis hancur,” kata Borges, sambil menunjukkan bahwa hanya tujuh persen dari hutan asli yang tersisa di Rio Grande do Sul.

"Sebagian besar kematian dan kerusakan ekonomi yang kita alami saat ini disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap peraturan lingkungan hidup. Jika politisi terus mengabaikan hal ini, kita akan menghadapi masa-masa yang lebih sulit,” kata Borges.

"Kita harus melawan penolakan terhadap perubahan iklim karena bencana yang terjadi semakin parah,” kata pemerhati lingkungan Heverton Lacerda dari LSM lingkungan hidup Agapan. "Pemerintahan saat ini, baik di negara bagian maupun di ibu kota dan kota-kota lain di pedalaman, mempunyai pemimpin yang menentang perubahan iklim. Hal ini juga tercermin dalam kebijakan yang mereka buat,” kata Lacerda kepada DW.

Lacerda mencontohkan rancangan undang-undang dari deputi federal yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di ibu kota Brasil, Brasília, pada bulan Maret lalu.

Undang-undang ini memperbolehkan deforestasi terhadap vegetasi asli nonhutan, termasuk di Pampas, Pantanal dan sebagian Cerrado, sabana basah di pedalaman tenggara Brasil. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya vegetasi di wilayah yang luasnya dua kali lipat negara bagian Rio Grande do Sul. Undang-undang tersebut masih perlu disahkan oleh Senat, majelis tinggi parlemen Brasil. (ap/hp)

*Naskah diadaptasi dari bahasa Portugís