1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanJepang

Mengapa Banyak Sekolah di Jepang Menerapkan Aturan Ketat?

14 Juni 2022

Terlepas dari harapan otoritas sekolah akan melonggarkan aturan ketat atas cara berpakaian dan penampilan siswa, para ahli khawatir nilai-nilai konservatif yang telah mendarah daging membutuhkan waktu lama untuk diubah.

https://p.dw.com/p/4CeLZ
Siswa sekolah menengah Jepang
Aturan untuk siswa Jepang juga mencakup menjaga rambut lurus dan hitamFoto: Makoto Kondo/AP/picture alliance

Sebuah kasus yang bergulir di pengadilan dan artikel di surat kabar pada hari yang sama belum lama ini menyoroti aturan ketat yang mengatur gaya rambut siswa sekolah menengah Jepang.

Seorang pria berusia 20 tahun di Jepang selatan mengatakan dia akan mengajukan banding atas penolakan pengadilan untuk memberinya kompensasi simbolis 1 yen untuk perpeloncoan yang dia klaim terjadi ketika dia masih menjadi siswa di Sekolah Menengah Seiseiko di kota Kumamoto.

Pria, yang tidak disebutkan namanya itu, mengatakan kepada pengadilan bahwa dia mengalami depresi dan putus sekolah setelah dipaksa untuk mencukur kepalanya dengan alasan bahwa itu adalah "tradisi" di klub olahraga sekolah yang dia ikuti pada tahun 2017.

Pada hari yang sama, surat kabar Mainichi melaporkan bahwa seorang guru telah "menyentak" rambut seorang gadis berusia 16 tahun setelah menegurnya karena melanggar peraturan menjaga rambut hitam yang diwajibkan untuk semua siswa di sebuah sekolah menengah di Kobe.

Gadis itu mengatakan kepada surat kabar bahwa rambutnya sedikit memudar menjadi coklat tua karena kandungan bahan kimia di kolam renang. Namun, otoritas sekolah sebelumnya telah mengonfirmasi dan memberikan kelonggaran untuknya agar tidak perlu mengikuti peraturan tentang warna rambut. Sejak insiden itu, siswi tersebut didiagnosis dengan gangguan kecemasan dan tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah selama dua minggu.

Aturan ketat untuk siswa

Sekolah-sekolah Jepang telah lama terkenal dengan aturan ketat tentang pakaian dan penampilan, yang dalam beberapa kasus, bahkan berlaku untuk warna pakaian dalam siswa. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai reaksi terhadap peraturan, sehingga menyebabkan banyak sekolah secara bertahap melonggarkan beberapa peraturan. Namun, tetap masih banyak aturan yang tersisa.

"Mayoritas mahasiswa tahun pertama di universitas saya, rambutnya diwarnai," kata Makoto Watanabe, seorang profesor media dan komunikasi di Universitas Hokkaido Bunkyo di Sapporo. "Dan itu akan dianggap tindakan pembangkangan secara sadar setelah mereka tunduk pada aturan ketat seperti itu sepanjang masa sekolah mereka."

"Sekolah masih terlalu konservatif dan mereka berpegang pada nilai-nilai lama dalam masyarakat yang telah berubah total,” katanya kepada DW.

"Dan sungguh gila sekolah masih bersikeras bahwa setiap orang harus memiliki rambut hitam lurus pada saat yang sama pemerintah menyerukan peningkatan globalisasi dan lebih banyak orang asing tinggal di Jepang."

Watanabe mengatakan dia percaya bahwa karena liputan yang terus-menerus dari beberapa peraturan yang sudah ketinggalan zaman dan kontradiktif, sekolah mulai melonggarkan beberapa peraturan yang tidak perlu. Misalnya, satu sekolah melarang siswa untuk mewarnai rambut mereka, tetapi kemudian memerintahkan satu siswa dengan rambut coklat tua alami untuk mewarnainya menjadi hitam.

Apa yang menjaga aturan lama tetap diberlakukan?

Watanabe mengatakan tidak begitu yakin bahwa aturan ketat itu akan berubah dalam waktu dekat.

"Saya mencapai kesimpulan bahwa sekolah-sekolah Jepang adalah masyarakat yang hampir tertutup yang tidak banyak berhubungan dengan dunia luar dan kecenderungan konservatif alami mereka membuat tidak mungkin bagi mereka untuk membuka atau menerima bahwa dunia sedang berubah," katanya.

Emi Izawa yang berkuliah di tahun pertamanya di sebuah universitas di Tokyo dan telah mengecat ujung rambut panjangnya menjadi abu-abu perak, mengikuti tren anak muda Jepang saat ini.

"Pada saat itu kami tidak benar-benar berpikir tentang peraturan di sekolah menengah saya yang ketat karena itulah yang harus dilakukan semua orang," katanya. "Saya pergi ke sekolah khusus perempuan dan kami harus mengenakan seragam dan kami tidak diizinkan memakai anting-anting atau perhiasan atau riasan jenis apa pun," tambahnya.

"Tidak ada yang mempertanyakan peraturan dan saya tidak ingat ada orang yang ditegur karena melanggar peraturan tentang cara kami berpakaian ke sekolah, tetapi saya senang memiliki lebih banyak kebebasan sekarang," katanya.

"Bagi saya, bukan masalah besar untuk mengikuti aturan pada saat itu, tetapi saya juga mengerti bahwa anak muda ingin menjadi individu yang berbeda."

Sementara itu, serikat pengajar Jepang mengkritik penerapan aturan ketat tentang pakaian dan gaya rambut di sekolah. Tamaki Terazawa, juru bicara Federasi Guru Nasional, mengatakan kepada DW bahwa sekolah mengalami kemunduran yang tidak perlu ke Era Meiji, periode 44 tahun industrialisasi yang cepat hingga Juli 1912.

Adanya pengaruh militer

"Sistem pendidikan yang dimiliki Jepang saat ini dimulai kembali pada periode Meiji dan secara efektif meniru sistem militer, dengan keseragaman dalam pakaian, tas yang dibawa anak-anak ke sekolah, dan gaya, serta warna rambut mereka," katanya.

"Saat itu, pemerintah mengatakan keseragaman dalam masyarakat diperlukan untuk pembangunan bangsa, tetapi itu lebih dari 100 tahun yang lalu dan Jepang sangat berbeda sekarang,” tambahnya.

"Kami percaya sudah saatnya peraturan diubah dan anak-anak dibiarkan menjadi dirinya sendiri," katanya. "Itu terutama berlaku untuk anak-anak dari luar negeri atau yang orang tuanya mungkin orang asing dan telah menetap di Jepang."

"Kami melihat perlawanan secara terus-menerus dari otoritas sekolah konservatif dan perubahan itu akan memakan waktu lama, saya pikir," katanya.

"Mungkin harapan terbaik kami adalah bahwa generasi baru guru muda sekarang memasuki sekolah dan perlahan-lahan meningkat melalui sistem pendidikan. Kami berharap orang-orang ini akan lebih terbuka untuk membiarkan generasi muda sedikit lebih santai di lingkungan sekolah,” tambah Terazawa.

(ha/pkp)