1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menemukan Kembali Indonesia di Jerman

Zacky Khairul Umam25 April 2016

Momentum lawatan Jokowi di Jerman kemarin bermuara pada menemukan kembali “Indonesia” di kancah internasional. Mengapa demikian? Simak ulasan Zacky Khairul Umam, berikut ini.

https://p.dw.com/p/1Iaqp
Deutschland Indonesien Joko Widodo bei Merkel
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall

“Kita ini bangsa besar; kita harus selalu terdepan,” demikian penekanan Presiden Joko Widodo dalam silaturahim dengan perwakilan belasan ribu warga Indonesia di Jerman, 18 April lalu.

Dengan penegasan itu, Jokowi sekaligus mengkritik pencitraan Indonesia yang kerap berada di belakang kala pameran-pameran internasional digalakkan. Jokowi tahu persis apa yang ia bicarakan.

Pasalnya, belasan tahun ia berpengalaman sebagai saudagar yang ikut memamerkan produknya di banyak kesempatan di Jerman. Namun, stan Indonesia kerap kali berada di belakang dan dekat toilet. Kata Jokowi, kemungkinannya ada dua: Apakah selama ini pameran tersebut tidak diperhatikan atau mungkin disediakan dana besar, namun ada gelagat ketidakberesan dalam pengelolaan dan keterbukaan anggaran.

Sambutan yang lugas ala Jokowi di Berlin bagi warga Indonesia di Jerman adalah sebuah dentuman. Bukan hanya soal komitmennya untuk memindahkan kedutaan besar RI yang strategi di jantung ekonomi dan ide ke-Eropa-an, yakni Jerman, melainkan juga soal bagaimana ia berkomitmen atas pembentukan mimbar ke-Indonesia-an di panggung global.

Kendati Jokowi tidak berapi-api dengan kerangka teoritis yang menggebu-gebu, pesannya jelas terbaca. Kata-katanya serupa verba yang harus dikerjakan terus-menerus. Inilah filosofi kerja Jokowi.

Kemitraan Pasca-Oktober 2015

Pikiran-pikiran besar lahir di Jerman yang menamai dirinya “ranah gagasan” (Land der Ideen). Soal teknologi hingga masalah sosial-kemasyarakatan, Jerman masih terus bertindak inovatif. Demikian halnya dengan industri yang juga disebut Jokowi. Tidak salah jika pintu memasuki Eropa berada di Brandenburger Tor. Kendati kunjungan Jokowi singkat, banyak apresiasi positif dari publik dan media massa Jerman.

Salah satu yang paling ditekankan Jokowi dalam kerjasama Indonesia-Jerman ke depan ialah pentingnya transfer ilmu-ilmu kejuruan (vocational education) yang dulu sempat mendapat momentum kala BJ Habibie memimpin.

Arah kerjasama ini seia sekata dengan rencana besar Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Berlin, Prof. Agus Rubiyanto, yang kerap kali mendorong banyak kalangan untuk belajar tentang kreativitas dan inovasi melalui pendidikan kejuruan. Ia menelisik bahwa kemajuan Jerman ditopang oleh ilmu-ilmu praktis yang sangat spesialis. Tidak semua warga Jerman, dalam analisisnya, harus menguasai soal-soal yang besar.

Jika dikembangkan ke arah semestinya, kemitraan strategis jenis ini tentu akan banyak memberikan dampak yang berarti bagi pembangunan negara kita ke depan. Di banyak kepulauan di tanah air, sudah semestinya memang untuk membangun lembaga perguruan tinggi yang sama levelnya dengan tingkat Fachhochschule di Jerman, yang menyediakan jenjang pendidikan hingga selevel master, tanpa perlu penelitian doktoral.

Jika setiap pulau memiliki spesifikasi tersendiri, misalnya lembaga pendidikan perkapalan di Madura atau lembaga pengembangan kemaritiman di Maluku, maka setiap titik di wilayah Indonesia akan punya konsentrasi tersendiri. Ini pada urutannya akan ikut memberikan sumbangsih dan tukar-menukar keahlian antarpulau, sehingga membentuk kesatuan yang sinergis.

Ketika penulis diundang Goethe Institut dan Deutsche Welle untuk memberikan masukan di salah satu forum ilmiah Pameran Buku Frankfurt (Frankfurt Buchmesse) --kala Indonesia menjadi tamu spesial pada Oktober tahun lalu--- perhatian pada Indonesia tidaklah sesemu fatamorgana.

Jerman, dalam pembacaan ini, adalah pintu masuk strategis bagi pasar atau ruang publik di Eropa. Maka, perhatian Jerman pada Indonesia itu bisa berarti sebuah sinyal kuat untuk pembenahan diri.

Kemitraan dalam hal transfer pendidikan kejuruan di atas dengan demikian menjadi langkah nyata untuk menindaklanjuti watak keseriusan dan kedisiplinan Jerman, selain terus-menerus mengelola kemitraan dalam bidang seni, sastra, filsafat, politik, agama dan seterusnya. Tidak menutup kemungkinan jika kemitraan itu bisa diperluas dalam hal dunia sepak bola.

Pasca-Oktober 2015 di Frankfurt jelas bukan akhir dari sebuah cerita bagaimana karangan-karangan imajinatif keindonesiaan diapresiasi besar-besaran, kadangkala gigantis melebihi capaian negara lain di forum serupa pada tahun sebelumnya. Ada garis Kontinuum yang harus diperhatikan Indonesia soal bagaimana menjadi menjadi sahabat sejati (wahrer Freund) bagi Jerman.

Maka, apresiasi tinggi atas Indonesia pada event lalu itu, kendati banyak kritik yang berarti, harus dianggap sebagai titik mula untuk mengartikan moto kita di Frankfurt 17000 islands of imagination hingga setaraf the land of ideas dari moto resmi yang mewakili soft-power Jerman.

Reinvensi “Indonesia”

Eksplorasi etnologis Adolf Bastian pada akhir abad ke-19 mempopulerkan nama “Indonesia” yang ditemukan sarjana Skotlandia, James Logan, di kancah global melalui berjilid-jilid bukunya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884-1894 (Indonesia atau Kepulauan Melayu).

Puluhan tahun sebelum anak bangsa menamakan organisasi mereka bernisbat “Indonesia”, Bastian sudah terlebih dahulu memperkenalkan nomenklatur ini secara luas dalam forum internasional. Ia ikut menyumbang pada identitas geografis dan kultural yang hingga kini menjadi tanah air kita.

Tak berlebihan jika Bastian kerap kali menjadi lecutan yang menarik untuk memunculkan wacana serius tentang sejarah terikat (entangled history) antara Indonesia dan Jerman. Biasanya, Bastian disandingkan dengan pengalaman artistik pelukis Raden Saleh yang sempat tinggal dan mempengaruhi seni lokal di Jerman. Indonesia tidaklah asing sama sekali dalam memori Jerman.

Kunjungan Jokowi kemarin yang memperkuat imajinasi pasca-Oktober 2015 menjadi penting karena bertepatan pula dengan momentum peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA), 18-24 April 1955. Walaupun Jokowi tidak menyinggung hal ini, intisari pikiran Jokowi begitu gamblang: menjadikan Indonesia terdepan di mimbar global.

Titik singgung yang paling kentara dari peringatan KAA dan lawatan Jokowi kali ini ialah pada soal momen globalnya, yang harus diciptakan terus-menerus. Apalagi dalam menanggulangi masalah terorisme, Jerman perlu sekali bekerjasama lebih jauh mengenai kerangka Islam yang berkeadaban yang menjadi komitmen kita dan bisa direfleksikan dalam perkembangan Islam di Eropa dewasa ini.

Tidaklah berlebihan jika momentum lawatan Jokowi di Jerman kemarin bermuara pada menemukan kembali “Indonesia” di kancah internasional.

Jerman adalah contoh ideal sebuah bangsa besar, bukan hanya besar dalam berbagai prestasi terdepan di antara berbagai bangsa, melainkan juga besar jiwanya dalam mengakui dosa-dosa bengis di masa lalu di hadapan kemanusiaan. Ini adalah cermin yang bagus untuk masa depan Indonesia.

Penulis:

Zacky Khairul Umam, ketua Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Jerman, kandidat doktor di Freie Universität Berlin.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.