1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialSwiss

Mendidik Anak Difabel, Imbalannya Tidak Terbayarkan

Marjory Linardy
8 Agustus 2022

Latar belakang pendidikan Gek Mas psikologi, bukan pedagogi. Tetapi dia mengikuti panggilan untuk bekerja, mengajar anak-anak difabel di Swiss. Dia tidak menduga, dari pekerjaan itu dia mendapat banyak pelajaran.

https://p.dw.com/p/4FBgI
Schweiz Gekmas Istri Steiger Erzieherin in einer Einrichtung für schwerbehinderte Kinder
Foto: Privat

Gek Mas, begitu panggilan akrabnya, lahir dan besar di Jakarta. Kedua orang tuanya berasal dari Bali, dan mereka sekeluarga hidup dengan mengikuti tradisi Bali. Nama lengkapnya, A.A. Istri Mas C. S. Di tempat kerjadi Swiss, nama panggilan resminya Istri. Sedangkan Gek Mas atau Gung Mas adalah panggilannya di kalangan keluarga dan orang Indonesia di Eropa.

Di Indonesia, ia dulu berkuliah di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta di jurusan psikologi. “Aku angkatan ’95. Tapi lumayan lama lulusnya, karena banyak sambilannya,“ kata Gek Mas sambil tertawa. Kemudian dia membuka biro konsultan di bidang psikologi. Tapi baru setahun beroperasi, dia menikah dan pindah ke Swiss, negara asal suaminya.

Menikah dengan orang Swiss yang tidak termasuk kasta

“Kebetulan kenal suami juga cepet banget,“ kata Gek Mas, “ga diduga.” Awalnya berteman, demikian diungkap Gek Mas, tapi ternyata mantan temannya itu, yang sekarang menjadi suaminya, punya niat lain, yaitu mencari istri. “Sempet aku tolak-tolak,” kata Gek Mas sambal tertawa. Tapi dia menjelaskan, ia sebenarnya hanya bersikap realistis. Karena di masyarakat Bali yang menggunakan sistem kasta, dia termasuk kasta Ksatria. Sehingga bagi orang tuanya, ia juga harus menikah dengan orang yang sekasta.

Gek Mas dulu sempat menjelaskan ke mantan pacarnya itu, jika dia pindah jadi pemeluk agama Hindu pun, tidak akan ada gunanya pula, karena dia bukan orang Bali dan tidak punya kasta. “Jadi dia ga masuk itungan,“ begitu dijelaskan Gek Mas, dan menambahkan, suaminya sangat berusaha, sehingga akhirnya mereka jadi menikah. “Ketemunya lewat chat,“ kata Gek Mas lagi, kembali sambal tertawa, “Waktu itu masih Yahoo Messenger, lho,” ditambahkan Gek Mas. Sekarang dia sudah bermukim bersama suaminya di Swiss selama 18 tahun.

Schweiz Gekmas Istri Steiger Erzieherin in einer Einrichtung für schwerbehinderte Kinder
Bersama keluarga, ketika keluarga berkunjung ke SwissFoto: Privat

Ketika masih pacaran dengan suaminya, tetapi sudah jelas akan menikah, Gek Mas mulai belajar bahasa Jerman di Goethe Institut di Jakarta. Ketika itu dia mengambil kursus intensif selama enam bulan. Tetapi ketika kursus baru berjalan tiga bulan, mereka sudah menikah. Ketika tiba di Swiss dan akan memulai kursus bahasa Jerman lagi, ia merasa kursus berjalan terlalu lambat, dan dia sudah tahu lebih banyak daripada yang diajarkan. Akhirnya karena tidak sabar, dia memutuskan belajar sendiri di rumah. “Ya ga belajar, karena sendiri kan?“ katanya sambil tertawa.

Ketika baru tiba di Swiss, aktivitasnya adalah bekerja di sebuah “Spielgruppe,“ yaitu sebuah kelompok bermain selama satu sampai dua jam, untuk anak-anak kecil pra sekolah. Menurut Gek Mas, suaminya dulu khawatir, bahwa dia yang di Jakarta selalu banyak kegiatan, tidak akan betah di Swiss yang sepi, akhirnya suaminya mencarikan dia kesibukan.

Jadi dia bekerja di sana lebih berupa kerja sukarela, dan hanya mendapat uang tanda terima kasih ditambah hadiah-hadiah tahunan. Karena dia tampak suka dengan pekerjaan itu, akhirnya suaminya mengusulkan dia ikut pendidikan untuk jadi guru "playgroup." Saat itu dia juga sambilan bekerja sebagai “Tagesmutter“, yaitu orang yang dititipkan untuk menjaga anak, saat orang tua anak itu bekerja.

Bagi dia, itu adalah masa-masa bagus untuk lebih mengenal kebudayaan Swiss, tepatnya bagaimana mereka mendidik anak. Setelah itu, dia juga pernah jadi “Kinderturnenleiterin“, yaitu pelatih olah raga untuk anak-anak TK. Dari semua aktivitas itu dia belajar banyak, dan bisa melihat bahwa ada berbagai tradisi di Swiss, yang juga bisa diikutsertakan ke dalam program olah raga, misalnya tema Natal.

Einrichtung für schwerbehinderte Kinder | Schweiz
Seorang anak di sekolah tempat Gek Mas bekerjaFoto: privat

Ingin pekerjaan yang tetap di Swiss

Walaupun dia merasa kesibukan itu sangat menarik, dan dia belajar banyak, tetapi dia masih ingin mendapat pekerjaan yang tetap. Akhirnya dia mendapat saran untuk pergi ke lembaga yang khusus yang menawarkan konsultasi bagi orang-orang yang sedang mencari pekerjaan. Setelah mengikuti tes psikologi di lembaga itu, ia mendapat alamat beberapa instansi, yang bisa ia kirimi lamaran kerja. Ia memilih dua instansi yang dekat dengan rumahnya. Keduanya instansi yang khusus mengurus orang berkebutuhan khusus. Salah satunya adalah sebuah sekolah. Dibanding dengan instansi yang ke dua, Gek Mas lebih tertarik dengan pekerjaan di sekolah.

Awal 2010, di bulan Februari, dia mulai bekerja di sekolah itu, untuk magang, di tingkat “Mittelstufe“ atau sekolah menengah. Dalam satu kelas ada enam atau tujuh murid, dan mereka berusia 11 hingga 12 tahun. Itulah saat pertama ia bersinggungan dengan “Sonderschule” atau sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dan metode pengajaran yang juga istimewa.

Schweiz Gekmas Istri Steiger Erzieherin in einer Einrichtung für schwerbehinderte Kinder
Salah satu contoh penerapan piktogram dan alat bantu komunikasi lainnya dlm keseharian (pelajaran memasak)Foto: Privat

Dia bercerita, ketika itu kemampuan bahasa Jermannya masih kurang, sehingga dia kerap ditertawarkan oleh murid-muridnya yang tentu tidak punya masalah bahasa. Karena tidak bersedia ditertawakan anak-anak itu, ia bertekad memperbaiki kemampuan bahasa Jermannya. Akhirnya dia kembali mengambil kursus hingga dapat sertifikat B1.

Ketika itu, kontrak yang ia dapat dari sekolah itu adalah untuk setahun. Tetapi baru satu semester kontrak kerja berjalan, kelas tempat dia dulu bekerja bubar, karena gurunya meninggalkan sekolah itu, dan para murid naik kelas. Pihak sekolah waktu itu bingung, harus menempatkan Gek Mas di mana. Tetapi seorang guru lain sudah melihat bagaimana dia bekerja, dan mengajak Gek Mas untuk gabung di kelasnya, kelas "Basale Stimulation" (Stimulasi Basal) yang artinya stimulasi dasar.

Hampir semua murid di kelas itu menggunakan kursi roda. Mereka termasuk kategori “schwer mehrfachbehindert“ yang artinya penyandang disabilitas berat, dan memiliki lebih dari satu kekurangan. Di kelas itu Gek Mas akhirnya bekerja sebagai "Praktikantin" atau magang, selama tiga tahun. “Saya sangat berterima kasih kepada guru ini, dan sampai sekarang hubungan kami juga sangat baik,“ begitu tutur Gek Mas.

Dia bercerita, guru kelas itu sangat mendukung dalam berbagai hal. Dia berbicara dalam bahasa Jerman baku dengan Gek Mas, sehingga bisa terus melatih kemampuan bahasanya. Dia juga memberikan banyak buku, dan mendorong Gek Mas untuk mendapat pengetahuan tambahan di bidang terapi bagi anak bekebutuhan khusus. Misalnya "Logopädie" atau terapi untuk berbicara, atau fisioterapi dan "Ergotherapie" atau terapi kecekatan menggunakan tangan, baik motorik kasar maupun halus. Dari situ dia bisa melihat dari dekat, apa yang bisa dilakukan untuk membantu menggali potensi orang berkebutuhan khusus.

Einrichtung für schwerbehinderte Kinder | Schweiz
Berbagai permainan dan alat komunikasi yg sering digunakan sbg penunjang pembelajaran maupun terapiFoto: privat

Bekerja bersama anak-anak difabel

Ketika untuk pertama kalinya masuk kelas Basale Stimulation, dia bertanya dalam hati, apa yang dapat dilakukan di sekolah dengan anak-anak tersebut. Karena mereka tidak berbicara sama sekali, duduk di kursi roda dan bahkan untuk makan mereka juga harus menggunakan sonde, yaitu selang untuk menyalurkan makanan cair langsung ke lambung. 

Jadi di kelas itu, dia belajar juga bagaimana merawat orang yang berkebutuhan khusus, seperti perawat. Ia juga dilatih agar bisa memindahkan mereka dari kursi roda ke tempat tidur, atau sebaliknya. Dan itu harus ia lakukan sendirian, karena jika berdua, koordinasi antara dua orang bahkan mempersulit pekerjaan. Itu tentu merupakan tantangan bagi Gek Mas juga dari segi fisik, karena anak-anak itu sudah berusia 13 tahun, sehingga ukuran tubuh mereka sudah hampir seperti orang dewasa.

Gek Mas menjelaskan, yang dipelajari murid-murid itu bukanlah seperti murid sekolah biasa, yang belajar matematika, atau ilmu pengetahuan alam dan lain-lain. “Mereka belajar seperti bayi mengenal lingkungan,” begitu dijelaskan Gek Mas. Jadi lebih ke arah pengetahuan praktis untuk hidup sehari-hari.

Einrichtung für schwerbehinderte Kinder | Schweiz
Contoh langkah-langkah pembuatan prakarya yg divisualisasikanFoto: privat

Namun demikian, dia menekankan, walaupun seorang anak yang duduk di kursi roda dan tidak mampu berbicara, bukan berarti kemampuan kognitifnya rendah. Demikian pula sebaliknya. Dia mengambil contoh seorang anak di kelas yang lain. Anak itu duduk di kursi roda dan tidak dapat berbicara, tetapi punya kemampuan kognitif yang tinggi. Karena dilihat kemungkinan bahwa anak itu bisa berkomunikasi, maka dicarikan alat komunikasi yang tepat agar ia dapat menyampaikan keinginannya. Jadi mereka berusaha melihat seberapa banyak potensi yang bisa digali dari setiap anak.

Pengalaman ini sangat penting bagi Gek Mas. Karena ketika dia sempat kecewa dan “ngambek“ dengan sekolah itu, sehingga pergi dan bekerja di tempat lain, sekolah itu memanggil dia kembali untuk menggantikan guru di kelas Stimulasi Dasar, yang akan mengambil "Bildungsurlaub" atau Sabbatical, atau cuti pendidikan selama tiga bulan.

Jadi Gek Mas kembali lagi ke sekolah itu, dan siapa sangka, setelah tiga bulan berlalu, ia ditawarkan untuk menjadi “Wahrnehmungstherapeutin“, atau terapis bagi anak-anak yang memiliki masalah persepsi. Ketika ditawari pekerjaan itu, awalnya dia bingung, karena belum pernah melakukan pekerjaan itu. Tapi akhirnya dia bersedia mencoba, dan kemudian mengambil pelatihan khusus untuk menjadi pemberi terapi di bidang itu. “Itu tahun 2014,“ kata Gek Mas, “akhirnya kontrak diperpanjang terus sampai sekarang.“

Schweiz Gekmas Istri Steiger Erzieherin in einer Einrichtung für schwerbehinderte Kinder
Contoh ruangan kelasFoto: Privat

Dalam pekerjaan ini, murid-murid yang datang ke sesi terapinya mulai dari usia TK hingga SMA, dengan berbagai ragam keterbatasannya. Ada anak dengan Autisme, dengan Trisomi atau "Down Syndrome", juga dengan Hiperaktif atau dengan kesulitan belajar. Mereka ada yang tingkat kognitifnya rendah, ada yang tinggi, baik yang dapat berbicara, maupun tidak.

Dia memberikan contoh anak-anak yang punya kekurangan dari segi ketajaman persepsi, misalnya menghadapi kesulitan ketika mengupas wortel. Saat mengupas, wortel tidak diputar, sehingga akhirnya di satu sisi wortel akan habis termakan alat pengupas, sedangkan di sisi lain, wortel masih dilapisi kulit.

Beberapa tahun lalu, dia sudah pernah ditanya oleh kepala sekolah, apakah ingin mengambil gelar Master. Tahun 2021, pertanyaan itu kembali jadi relevan. Tepatnya untuk bidang “Heilpädagogik,” atau pendidikan khusus bagi penyandang difabel. Untuk masa depan peluangnya besar, karena banyak pendidik yang aktif sekarang akan pensiun.

Tetapi Gek Mas tidak punya latar belakang pendidikan sebagai guru, sehingga untuk melintasi jurusan dari psikologi ke pedagogi ia harus melalui prosedur khusus, dan karena dia bukan penutur asli Bahasa Jerman, kemampuan Bahasa Jermannya harus mencapai taraf C2 di Goethe Institut. Itu sekarang masih dikejar oleh Gek Mas.

Schweiz Gekmas Istri Steiger Erzieherin in einer Einrichtung für schwerbehinderte Kinder
Foto: Privat

Repotnya, tahun 2018 sekolah membutuhkan kelas TK tambahan, karena banyaknya murid baru usia TK yang masuk. Hal ini membuka pintu peluang karir baru bagi Gek Mas sebagai guru TK. Bersamaan dengan itu kepala sekolah memiliki ide untuk membuka bagian baru, yang mengkhususkan diri pada mata. Sejauh itu, sekolah tempat Gek Mas bekerja harus bergantung pada institusi lain dalam banyak hal, termasuk tes mata dan terapinya. Ia bertanya apakah Gek Mas berminat untuk mengambil pendidikan terapi khusus di bidang mata yang namanya “SehenPlus”. Pendidikan yang berlangsung selama dua tahun itu juga ditangung oleh sekolah.

Anehnya, setelah dia menyelesaikan pendidikan dan mendapat sertifikat, pihak sekolah mengatakan belum punya rencana ke bidang itu. Ternyata kepala sekolah yang mengusulkan pendirian bagian mata sudah akan pindah dari sekolah itu. Jadi Gek Mas memiliki sertifikat untuk jadi terapis di bidang itu, tapi belum sempat melakukan apapun karena tidak punya wadahnya.

Celakanya lagi, pihak sekolah mulai menagih, mengapa belum ada kemajuan dalam hal upaya mengambil gelar Master. Masalahnya, jika ada pelamar baru yang punya kompetensi dan sertifikat sebagai guru, mereka harus menerima orang itu, dan tidak bisa terus mempekerjakan Gek Mas sebagai guru. Akhirnya, setelah Gek Mas memberikan penjelasan, apa yang menghambat langkahnya selama ini, semua pihak mencapai kesepakatan. Gek Mas memilih untuk menjadi “Klassenassistent,” atau asisten guru di kelas, walaupun posisi dan gajinya jauh lebih rendah daripada posisinya yang terakhir sebagai “Lehrperson,” atau pengajar. 

Seminggu sebelum Gek Mas menjalani fungsi barunya sebagai Asisten Guru, dia menerima tawaran baru sebagai guru sementara untuk kelas satu SD. Saat itu pihak sekolah belum menemukan guru tetap untuk kelas tersebut. Tawaran tersebut Gek Mas terima, tentunya setelah ada penyesuaian kontrak kerja yang berlaku selama satu semester. Selesai masa kontrak sebagai guru sementara itu, pihak sekolah meneruskan kontrak kerjanya selain sebagai Asisten Guru, ia juga tetap diberikan tanggung jawab sebagai guru walaupun hanya tiga mata pelajaran.

Einrichtung für schwerbehinderte Kinder | Schweiz
Contoh penjabaran aktivitas harian dlm bentuk piktogram yg digunakan di kelas-kelasFoto: privat

Belajar banyak dari anak-anak dengan kebutuhan khusus

Gek Mas bercerita dia belajar sangat banyak dari anak-anak yang punya kebutuhan khusus. Pertama kali memasuki kelas "Basale Stimulation," dia merasakan banyak perbedaan dengan bekerja dengan murid difabel lain. “Kalau kita melakukan sesuatu dengan murid difabel lain yan lebih ringan kebutuhannya dan dapat berkomunikasi, kita mendapat respon dan timbal balik. Sedangkan dengan anak-anak itu tidak jelas responnya bagaimana.”

Tapi sejalan dengan waktu, dia bisa merasakan komunikasi dengan mereka. Dia bisa bercanda yang sangat banal dengan anak-anak itu, dan mereka bisa tertawa dengan dia. Jadi sekarang Gek Mas bisa memahami dan berkomunikasi dengan anak-anak itu tanpa menggunakan banyak kata-kata. Karena anak-anak difabel itu tidak mengeluarkan kata-kata melainkan suara-suara saja.

Sejak awal, guru yang mengajak Gek Mas bekerja di kelas itu sudah mengajarkan, bahwa dia terutama harus dapat tenang dan banyak mengamati murid-muridnya dengan seksama. Karena jika dia terus sibuk melakukan sesuatu dan stres, dia tidak akan bisa mengenali reaksi anak-anak tersebut.

Sekarang dia menyadari, bahwa itulah panggilannya. Ketika masih di Indonesia, dia sama sekali tidak terbayang akan bekerja di bidang itu. Walaupun sejak kuliah di Indonesia dulu dia sudah sangat tertarik pada psikologi klinis, tapi dia dulu hanya punya bayangan, psikologi klinis berarti bekerja di rumah sakit jiwa. Dia sama sekali tidak menyangka, ilmu yang dia pelajari dulu di Indonesia bisa diaplikasikan dalam pekerjaannya sekarang.

Gek Mas menarik kesimpulan, tantangan terbesarnya di Swiss adalah kesabaran. Ia merasa sangat teruji kesabarannya. Selain itu, tentu tantangan di bidang bahasa. Ia dulu belajar bahasa Jerman baku. Tetapi di Swiss yang banyak dipakai adalah Schweizerdeutsch, yaitu bahasa Jerman versi Swiss. 

Di samping itu, tantangan yang ia hadapi lebih berkaitan dengan identitas. Juga dalam pekerjaan. "Sebenarnya, masuk ke mana aku?" Di sekolah tempat dia bekerja, masih ada kebingungan. Dia bercerita, gelar sarjana yang ia peroleh dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta diakui di Swiss, tetapi ada catatannya, yaitu: jika akan digunakan untuk bekerja atau bersekolah, institusi yang bersangkutan, bisa menentukan sendiri, apakah menerima atau tidak.

Proteksi seperti itu juga jadi penghambat bagi Gek Mas. Selain itu, walaupun dia sudah punya pengalaman mengajar, latar belakangnya bukan di bidang pedagogi, dan pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang sangat dilindungi oleh sistem. Orang Jerman pun yang ingin mengajar di Swiss perlu pernyataan kesetaraan dari lembaga yang bernama EDK. Padahal saat ini, banyak "Kanton" (penyebutan wilayah di Swiss) kekurangan tenaga guru. 

Jadi kata Gek Mas, dia merasakan keuntungan, karena selalu mendapat kesempatan, kepercayaan dan peluang di Swiss. Tapi di lain pihak, jalannya terhalang oleh sistem yang kaku.

Schweiz Gekmas Istri Steiger Erzieherin in einer Einrichtung für schwerbehinderte Kinder
Daerah tempat tinggal Gek Mas di SwissFoto: Privat

Namun demikian, dalam hidup sehari-hari, ia tidak merasakan kesulitan. Dia bercerita, kadang ada orang yang bertanya apakah ia merasakan "Heimweh," yang artinya rindu kampung halaman. Dia menjawab, "Engga, ga sempet. Dari dulu sibuk," katanya sambil tertawa.

Dia kemudian bercerita, bahwa suaminya sejak awal melancarkan trik tertentu agar dia tidak merasa kesepian. Yaitu, mereka tinggal bersama mertua. "Jadi seperti banyak keluarga di Indonesia. Benar-benar satu atap, yang berbeda kamar tidur saja," kata Gek Mas sambil tersenyum, dan menambahkan "Ga pernah kesepian. Ada temen gosip, ada temen berantem juga," katanya sambil tertawa terbahak-bahak.  

Selain itu, dia bercerita juga, mertua perempuannya berasal dari Eropa Timur, yang sistem kekeluargaannya erat seperti di Indonesia. Jadi dia sudah mengajarkan putranya untuk mempersiapkan segalanya bagi Gek Mas, agar tidak merasakan kesulitan beradaptasi di Swiss, seperti yang dialami dia dulu. Dia bercerita lagi masil sambil tertawa "Aku sudah bilang dari dulu, 'Aku ga bisa masak loh, ya,' Jadinya mamanya ngajarin aku masak." (ml/hp)