1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Menaksir Panjang Napas Gerakan Massa “Bela Islam”

30 November 2017

Demonstrasi “212“. Ingatkah Anda? Bagaimana kelanjutannya? Seberapa panjang napas gerakan massa “Bela Islam” ini? Berikut analisa Kalis Mardiasih.

https://p.dw.com/p/2o3vc
Indonesien Proteste in Jakarta gegen Gouverneur
Foto: picture-alliance/Pacific Press/T. Aditya Irawan

Spanduk-spanduk raksasa bergambar pimpinan Front Pembela Islam (FPI) dan tokoh GNPF-MUI perlahan mulai berkurang di sudut-sudut jalan Jakarta. Pada awal kemunculannya di tahun 2016, spanduk itu memuat pesan agitatif, yakni ajakan kepada segenap umat Islam, antara lain untuk memenjarakan penista agama. Belakangan ketika kasus telah bergulir, kesuksesan mengorganisasi massa kemudian dijadikan kesempatan untuk mendukung gerakan bela Islam dan bela ulama, hingga menolak  kriminalisasi ulama.

Dalam perkembangannya, spanduk serupa itu bahkan tidak hanya menyesaki Jakarta sebagai sumber asal isu gerakan, namun spektrumnya sampai juga di jalanan protokol kota besar seluruh Jawa. Setidaknya, saya melihat sendiri fenomena semacam ini di Semarang, Yogyakarta, Klaten, dan Solo. Spanduk dan baliho memuat wajah ikonik, wajah Rizieq Shihab adalah yang selalu muncul. Serangkaian aksi dan propaganda lewat spanduk, selebaran hingga broadcast pesan instan itu, diakui atau tidak diakui, ternyata punya sumbangan bagi tercabiknya jalinan kebangsaan.

Kalis Mardiasih adalah penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.
Penulis: Kalis MardiasihFoto: Kalis Mardiasih

Baca: Tanggapan Pers Internasional Tentang Pilkada Jakarta

Berawal dari Potongan Video Kampanye

Kutipan video yang berjudul "Penistaan Terhadap Agama?” yang diunggah oleh Buni Yani di laman facebook pada 6 Oktober 2016 mencatatkan sebuah fenomena. Video itu menayangkan kunjungan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke pulau Pramuka pada 27 September 2016, yang pidatonya lalu menuai kontroversi sebab mengeluarkan pernyataan yang dianggap menistakan agama oleh beberapa kelompok Islamis.

Tercatat, aksi bela Islam jilid pertama pada 14 Oktober 2016, aksi bela Islam jilid kedua pada 4 November 2016 dan aksi bela Islam jilid ketiga pada 2 Desember 2016. Pada akhirnya, baik Ahok maupun Buni Yani sama-sama dinilai bersalah di hadapan hukum. Pada 9 Mei 2017, Ahok divonis dua tahun penjara dan langsung ditahan di kompleks Cipinang. Sedangkan Buni Yani, divonis 1,5 tahun penjara pada 14 November 2017 atas dakwaan pelanggaran UU ITE karena terbukti memotong video pidato Ahok. Fakta yang sebetulnya sedikit konyol, sebab bukankan seharusnya kebenaran maupun kejahatan itu bersifat tunggal saja? Jika keduanya sama-sama dihukum, siapa sebetulnya yang benar-benar bersalah pun kembali menjadi bias.

Menakar Napas Gerakan "Bela Islam”

Lepas dari kontroversi soal pro dan kontra, saya tertarik menganalisis perangkat yang menjadi penguat aksi dan seberapa panjang napas gerakan massa "Bela Islam” ini.

Semua bentuk kegiatan berekspresi dan menyatakan aspirasi dilindungi oleh konstitusi, demikian juga dengan aksi "Bela Islam” yang terkenal dengan kode tanggal itu. Aksi itu bahkan pernah dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi dan Kapolri Tito Karnavian. Tetapi, gerakan massa, apapun basis ideologinya, selalu memerlukan momentum, misalnya mulai dari momentum kenaikan harga bahan pokok hingga kemerosotan ekonomi mutakhir seperti yang terjadi pada demonstrasi 1998. Variabel menarik dari gerakan massa bela islam adalah kenyataan bahwa ia menemukan momentum dari sebuah video pendek yang memuat isu keagamaan yang cukup sensitif. Sejarah mencatat, aksi yang biasanya berhasil mengerahkan massa besar adalah aksi yang peka terhadap agama, misalnya pernah terjadi pada aksi Undang-Undang Perkawinan pada 1973 dan aksi anti- SDSB pada 1993.

Setelah sebuah isu sebagai pemicu, pengorganisasian aksi massa memerlukan desas-desus, media massa, dan opinion leader. Pada aksi bela islam, tiga hal ini terkontrol di media sosial melalui fanpage tokoh-tokoh FPI dan GNPF-MUI, akun-akun personal dengan follower signifikan, juga beberapa komunitas anak muda kreatif yang punya pengaruh. Sebagaimana konsep viralitas sebuah konten di dunia maya, semakin konten tersebut dibicarakan, baik oleh para pendukung atau penentang, engagement akan makin tinggi sehingga sebaran informasi semakin luas.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah misi dari aksi massa bela Islam sesungguhnya? Jawaban pertanyaan tersebut menjawab mengapa ternyata hari ini terbukti tidak ada napas yang cukup panjang untuk gerakan ini secara definitif. Pemimpin gerakan, utamanya Rizieq Shihab menghindar dari tanggung jawab dengan pergi ke Arab Saudi, meninggalkan serangkaian tuduhan hukum yang belum sempat diperiksa. Di media sosial, para simpatisan aksi yang menyebut diri "alumni” sempat menggelarkan aksi peringatan setahun Gerakan 411, namun jamaah hadir tak bisa disebut banyak, press release media hanya menjelaskan agenda ceramah, tanpa ada poin-poin khusus yang penting untuk dibicarakan terkait Islam politik seperti yang tampaknya mereka cita-citakan di awal momentum.

Hal ini menegaskan, bahwa selain tentang momentum dan desas-desus, sebuah rentang aksi massa juga tergantung dari luasnya jalinan solidaritas berbagai golongan dan etnis yang berbagi nasib dalam sebuah tragedi. Berangkat dari trigger isu pemotongan video pidato yang diselenggarakan oleh tipikal komunitas yang ekslusif tentu berbeda dengan isu-isu yang mencakup agama, sosial, sekaligus politik seperti kemiskinan, genosida, dan penindasan hak asasi komunitas tertentu yang lebih bersifat universal dan plural.

Baca:

 Balada Hakim dan Martin

Lebih Baik “Diahokkan” Daripada “Dianieskan”

Gerakan Islam di Masa Lalu

Dalam wawancara dengan Ahmad Syafi'i Maarif yang dimuat Jurnal Prisma (1984) dengan judul Umat Islam, Seribu Tahun Berhenti Berpikir, Buya Maarif menjelaskan bahwa Negara "Syariah” sudah tidak ada sejak meninggalnya khalifah Ali Bin Abi Thalib. Beberapa negara yang sering disebut Negara Islam, sebetulnya justru menjalankan sistem kerajaan, sistem dinasti. Umat Islam tidak boleh tertipu sejarah sebab yang diinginkan oleh Al Qur'an adalah terciptanya masyarakat yang egaliter dengan menjalankan mekanisme syuro (mutual consultation) yang dalam bahasa modern setara dengan demokrasi.

Tetapi, Khomeini dalam Wilaya-i Faqih yang mengupas teori politik Islam, sama sekali tidak menyinggung hal ini. Kehidupan kenegaraan dan keagamaan di Iran sempat sangat elitis, dengan kekuasaan para mullah dalam kehidupan politik yang bisa dikatakan tirani berbaju Islam. Hari ini, Arab Saudi dan negara-negara teluk  seluruhnya justru tidak bisa memadamkan dendam berbasis pengunggulan kelompok dan geopolitik, lalu lebih memilih mengobarkan perang yang tentunya jauh dari nilai-nilai Islami.

Indonesia, justru adalah negara muslim terbesar di dunia yang sangat berhasil dengan demokrasi. Kekecewaan pada awal kemerdekaan sebab dihapuskannya kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya” dalam piagam Jakarta berhasil diatasi, asalkan Pancasila benar-benar dijalankan dengan asas keadilan. Seperti kata Gus Dur, "Peace without justice is an illusion.”

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam besar yang mengawal Pancasila. KH Achmad Siddiq, mantan penasehat PB Syuriah NU, pernah mengatakan bahwa dalam Munas NU Situbondo tahun 1983, sikap NU yang menerima Pancasila sebagai azas tunggal bukanlah sikap politis semata, namun justru sikap kultural untuk menerima semua kalangan subkultur muslim Indonesia dalam wadah NU agar tidak menjadi eksklusif.

AR Fachruddin, sejak 1984 dalam artikel Jauhkan Dakwah dari Politik juga menyatakan bahwa cara hidup yang Islami tidak bertentangan dengan Pancasila. Menurut AR Fachruddin, pimpinan nasional telah berkali-kali menyatakan bahwa Pancasila bukan agama, dan tidak akan dijadikan agama. NU dan Muhammadiyah adalah dua panglima yang membentuk kehidupan berbangsa Islami secara kultural.

Baca:

Demonstrasi #505 Berakhir

Akhir Bahagia Politik Identitas

Pemerintahan Soeharto memang sempat menguji umat Islam dan demokrasisecara keseluruhan. Mulai dari Komando Jihad, kasus Tanjung Priok, penculikan aktivis 1998, DOM Aceh, kasus Papua dan Timor-Timur. Imbasnya, organisasi sebesar NU pun bukannya tidak tercerai berai, bahkan ada istilah NU Wahid Hasyim, NU Gus Dur dan lain-lain. Namun secara organisasi, visi kebangsaan dua organisasi ini tetap kokoh hingga kini.

Sedangkan secara struktural, sejak lengsernya Soeharto pada 1998, umat Islam tersebar dalam berbagai partai, baik partai Islam maupun yang tidak membawa embel-embel Islami. Eksistensi mereka ini menandai keberadaan berbagai subkultur yang mencoba menegaskan diri dalam berbagai kegiatan politik dengan mengisi peluang yang tiba-tiba terbuka untuk mewujudkan masyarakat demokratis.

Contoh perjuangan gerakan seperti NU, Muhammadiyah juga sosok-sosok bersih dalam partai adalah cerminan perjuangan lebih bisa bernafas panjang ketika memiliki visi kokoh sejak kelahirannya dan tidak bersifat sporadis.

Penulis: Kalis Mardiasih (ap/vlz)

Penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.