1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Melanggar Kebebasankah Politisasi LGBT?

Husni Mochamad
Mochamad Husni
25 Desember 2018

Kenapa mengkhawatirkan kampanye pemilu 2019 akan semakin memojokkan komunitas LGBT? Mochamad Husni beropini, kekhawatiran ini membatasi kebebasan partai sebagai institusi politik dalam sebuah republik.

https://p.dw.com/p/38zzw
Köln - Christopher Street Day Parade 2018
Foto: picture-alliance/Geisler-Fotopress/C. Hardt

Belum lama ini saya membaca artikel singkat tulisan seorang kawan semasa kuliah. Saya dapat makalah itu setelah meminta dan dikirimi langsung oleh penulisnya yang bernama Dr. Robertus Robet.

Permintaan itu saya ajukan lantaran saya gagal hadir di ruang "kuliah” yang digelar organisasi Jurnal Perempuan dengan tema "moral dalam politik”. Sebagai narasumber, ia mengulas bahasan tersebut dengan judul "Moral Politik Machiavellian”.

Sangat menarik. Bukan saja mencerahkan tentang bagaimana sebenarnya pemikiran Niccolo Machiavelli --yang menulis buku The Prince sekitar tahun 1513 dan kemudian The Discourse-- tetapi juga amat membantu dalam membaca perilaku dan bagaimana politik itu sejatinya. Terutama, untuk sedikit mengomentari paparan Julia Suryakusuma perihal transgender dan politisasi LGBT.

Di artikel itu, Robertus meluruskan pemahaman pembaca bahwa kendati Machiavelli menyarankan pemisahan tegas "moral dari politik” (sekularisasi politik), namun sangatlah tidak tepat bila Machiavelli dianggap pemikir yang hanya menganjurkan politik tangan besi.

Bukan seorang hipokrit, Machiavelli adalah penganjur "the rule of man” tapi juga sekaligus "the rule of law”. Sebuah republik butuh keduanya: pemimpin kuat yang memerintah dengan "bebas”, dan negara berdasarkan hukum demi hidup bersama yang damai dan kokoh.

Penulis: M. Husni
Penulis: M. HusniFoto: M.Husni/Astra

Landasan hukum sebagai aturan hidup bersama amat penting mengingat, "politik dan warga yang paling agung adalah politik sebagai upaya untuk tetap mengokohkan dan mempertahankan kebebasan, dignitas institusi politik dan konstitusi dalam situasi yang paling korup.”

Lantas, apa kaitannya dengan sikap Julia Suryakusuma yang tertuang di artikel itu?

Dalam uraiannya, ia mengkhawatirkan kampanye politik ke depan yang (mungkin) mengangkat isu-isu penuh kebencian dan kian memojokkan komunitas LGBT.

Meminjam penjelasan Machiavelli, kekhawatiran ini mengandung bibit-bibit pembatasan terhadap kebebasan partai sebagai institusi politik dalam sebuah republik.

Toh, kalau pun benar hasil riset yang menemukan data bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung LGBT, kekhawatiran semacam itu tidak perlu dikemukakan karena isu LGBT pasti tidak mendongkrak perolehan suara.  Sebaliknya, malah membuat partai itu tidak populer.

Bawa dalam koridor hukum

Terlepas dari sikap saya yang lebih condong memandang LGBT sebagai "gangguan mental”, juga dalam konteks "kebebasan”, alangkah baiknya perjuangan para pendukungnya dilakukan melalui jalur-jalur dan mekanisme politik berlandaskan hukum yang telah disediakan.

Karena itu, justru mereka sebaiknya menggunakan partai politik serta masuk ke parlemen agar kepentingan-kepentingan kaum LGBT tersuarakan dan menjadi kekuatan "transenden” yang menjadi bagian utuh dalam kehidupan bersama di Republik Indonesia.

Sepanjang berada di koridor hukum, semua pihak harus mempersilakan proses edukasi yang berupaya memperkuat bahwa LGBT memang bukan gangguan mental. Begitu pula sebaliknya. Kita bangun Republik Indonesia yang damai dan kokoh karena ini rumah kita bersama.

Penulis: Mochamad Husni

Setelah menekuni profesi sebagai jurnalis selepas kuliah, mulai 2002 hingga sekarang aktif sebagai Public Relations sebuah perusahaan swasta dan penulis lepas.