1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Melacak Lahirnya Badai

31 Agustus 2006

Setahun setelah bencana badai hebat Katrina di New Orleans, siklus musim badai di Samudra Atlantik kembali terulang.

https://p.dw.com/p/CPUK
Foto: DW-TV

Para peneliti iklim terus berusaha memperdalam pengetahuannya mengenai fenomena alam ini. Mereka kini bahkan melakukan penelitian sampai ke Afrika Barat. Karena diketahui di kawasan inilah lokasi lahirnya bibit badai di Samudra Atlantik, yakni dari angin musim di Afrika Barat. Juga para ilmuwan hendak meneliti berbagai fenomena iklim yang hingga kini masih misterius.

Monsum, Awal Musim Hujan

Tidak kurang dari para peneliti lembaga antariksa Amerika Serikat-NASA, yang meneliti tempat lahirnya bibit badai di Afrika itu. Monsun atau angin musim di Afrika Barat, merupakan angin balik yang menandai datangnya musim hujan di kawasan Sahel. Hampir sepanjang tahun, di kawasan Sahel angin kering bertiup dari gurun Sahara. Akan tetapi dari bulan Juni hingga September, angin musim bertiup dari arah barat daya, yakni dari kawasan tropis di Atlantik dengan membawa hujan lebat atau bahkan badai ke kawasan Sahel di perbatasan gurun Sahara.

Penelitian di Tempat Badai Berawal

Di kawasan inilah NASA melakukan penelitian iklim. Sebuah pesawat terbang penelitian, yakni sebuah pesawat penumpang DC-8 yang diubah menjadi laboratorium, kini ditugaskan di kepulauan Cape Verde di pantai barat Afrika. Hingga bulan September, pesawat terbang peneliti itu akan melakukan pengukuran dan pengumpulan data di tempat lahirnya badai. Pimpinan penelitian fenomena iklim di kawasan Afrika Barat itu adalah pakar meteorologi dari Universitas Utah, Ed Zipser, mengatakan :

Terutama badai yang melanda Amerika, yang terbentuk di pantai Afrika Barat, biasanya adalah badai paling kuat. Pada awalnya bisa saja kekuatannya lemah, akan tetapi badai ini bergerak melintasi Samudra Atlantik, dan terus berkembang menjadi badai hebat. Sangat besar kemungkinannya bagi kami untuk dapat terbang memasuki beberapa bibit badai tersebut.“

Faktor Gangguan Atmoferis

Musim angin badai di Atlantik kini sudah mulai lagi. Juga di Afrika Barat sudah dimulai musim hujan tahun ini. Keduanya memiliki kaitan erat. Zipser menjelaskan:

Tidak ada kawasan di dunia yang seperti Afrika, dimana terbentuk banyak sekali gangguan atmosferis, selama musim hujan antara Juni hingga September. Hal itu terjadi akibat perbedaan suhu cukup besar antara Samudra Atlantik dengan gurun Sahara. Akibatnya terbentuk angin permukaan yang kuat, yang kemudian memicu gangguan atmosferis, yang menjadi arus badai tropis di atas Atlantik.“

Arus badai tropis ini seringkali memanjang sampai ratusan kilometer. Jika suhu permukaan Atlantik cukup hangat, dan juga terbentuk hujan lebat di musim panas, serta naiknya massa udara cukup besar, arus badai tropis ini dapat berubah menjadi angin puting beliung bertekanan rendah. Angin puting beliung ini terus menuju Amerika dan di sana dapat berubah menjadi badai hebat atau hurrican. Lebih jauh Zipser menjelaskan :

Kadang-kadang prosesnya berlangsung beberapa hari, sampai sebuah gangguan atmosferis berkembang menjadi badai tropis. Akan tetapi, kadang-kadang kejadiannya berlangsung hanya dalam waktu 24 jam. Kami belum mengetahui, apa yang mengendalikan proses tersebut. Mengapa kadang-kadang prosesnya lambat dan sekali waktu amat cepat. Kasus badai Katrina prosesnya juga amat berbeda. Mula-mula terbentuk gangguan atmosferis lemah di dekat kepulauan Cape Verde. Beberapa waktu kemudian fenomena ini nyaris hilang. Akan tetapi, seminggu kemudian, di dekat pantai Florida tiba-tiba saja badainya menguat secara dramatis.“

Pengumpulan Data

Kini setiap kali atmosfir di atas Afrika Barat mengalami gejolak, para peneliti langsung menerbangkan pesawat DC-8 khusus tersebut. Mereka antara lain mengukur kecepatan angin, tekanan udara serta sifat dari tetesan air hujan serta partikel es pada awan guntur. Mereka mengharapkan, pada akhirnya dapat lebih mengerti mekanisme yang terjadi di lokasi kelahiran badai Atlantik; dalam arti, faktor-faktor yang terjadi di Afrika Barat yang memicu munculnya badai hurrican hebat di ujung lain Samudra Atlantik. Tentu saja semua pengetahuan yang dihimpun, bertujuan untuk dapat membuat peramalan badai lebih baik lagi.

Proyek Penelitian Hujan Monsun

Pesawat laboratorium DC-8 milik NASA, ternyata bukan satu-satunya pesawat penelitian yang saat ini beroperasi di Afrika Barat. Juga pesawat penelitian Jerman, Inggris dan Prancis pada saat yang sama berada di kawasan tersebut. Proyek penelitian badai hebat NASA, tergabung dalam proyek penelitian internasional yang lebih besar.

Proyek internasional itu meneliti musim hujan monsun di Afrika Barat secara keseluruhan. Sebab musim tersebut membawa hujan yang merupakan gantungan kehidupan bagi negara-negara di bagian selatan gurun Sahara. Pakar fisika atmosfer dari pusat penelitian Jerman di Jüllich, Cornelius Schiller, yang saat ini berada di Burkina Fasso, salah satu negara yang menjadi basis penelitian, menjelaskan:

Seluruhnya 70 pakar dari Eropa tergabung dalam proyek ini. Mereka bertugas memasang instrumen penelitian, masing-masing sekitar 15 di setiap pesawat terbang, melakukan pengukuran saat terbang, serta melakukan pengukuran komposisi atmosfer.“

Badai Melemah Karena Perubahan Iklim Global

Tapi berbeda dengan para rekannya peneliti dari Amerika Serikat, yang melakukan penerbangan menembus bibit badai di atas samudra, peneliti Eropa terbang melintasi daratan pada saat hujan lebat disertai guntur. Peneliti Eropa juga tidak hanya tertarik pada badai hebat atau hurrican, tetapi juga pada fenomena iklim-global lainnya. Sejak beberapa tahun terakhir, musim hujan monsun di Afrika Barat terus melemah. Akibatnya hujan lebat disertai guntur, setiap tahunnya juga semakin melemah. Diduga fenomena itu merupakan dampak dari perubahan iklim global. Padahal, negara-negara di kawasan selatan gurun Sahara amat tergantung dari hujan monsun ini. Schiller mengatakan :

Hal itu merupakan urat nadi kehidupan bagi kawasan tersebut. Karena fenomena ini membawa air yang sangat diperlukan agar warga di sini tetap hidup.“

Jika hujan monsun tidak datang, tanaman di sawah dan ladang akan mati kekeringan. Seluruh panen akan gagal. Juga dalam kasus ini, data baru hasil pengukuran yang dikumpulkan memiliki kontribusi untuk memperbaiki peralaman cuaca. Para petani di Afrika Barat akan mengetahui, kapan mereka dapat memperhitungkan datangnya hujan monsun, dan sesaat sebelumnya dapat menanami ladangnya dengan bibit baru tanaman.