1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Warga Twitter Keluhkan Harga Pertamax dan Minyak Goreng

Betty Herlina
15 April 2022

Sekitar 69% perbincangan yang diteliti di Twitter berisi keluhan tentang harga komoditas. Harga daging dominasi sentimen negatif, disusul harga Pertamax, LPG, dan minyak goreng.

https://p.dw.com/p/49xP1
Ilustrasi uang
Ilustrasi uangFoto: picture-alliance/dpa/B. Indahono

Per 1 April lalu pemerintah resmi menaikan harga Pertamax hampir 40%, dari sebelumnya Rp 9.000-Rp 9.400 per liter menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter. Kenaikan ini sontak membuat jagad media sosial, khususnya Twitter, menjadi tempat bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhannya.

Kenaikan harga pangan dan energi, yang terjadi di masa pemulihan ekonomi usai pandemi COVID-19 dan bulan Ramadan, membuat masyarakat tidak sungkan untuk langsung menyebutkan akun Presiden Joko Widododi Twitter.

Beragam sentimen negatif yang menjadi fenomena di Twitter ini pun disoroti oleh lembaga think thank di bidang data dan ekonomi, Continuum Data Indonesia. Demikian disampaikan analis data dari Continuum Data Indonesia, Natasha Yulian, dalam diskusi publik bertajuk "Keluh-Kesah Masyarakat, Saat Harga Pangan dan Energi Meningkat" bersama lembaga pemikir di bidang ekonomi dan finansial Institute for Development of Economic and Finance (INDEF).

Hasil analisis tersebut menyebut bahwa lebih dari 96.000 pembicaraan yang berasal dari 81.083 akun kurun 30 Maret - 10 April 2022 menunjukan 53% perbincangan berisi respon masyarakat terhadap kenaikan harga Pertamax, menyusul minyak goreng 37,85% dan LPG 4,5%.

"Kenaikan Pertamax yang hampir 40% ini membuat masyarakat kaget. Apalagi diikuti dengan adanya berita tentang demontrasi soal minyak di Twitter, sehingga perbincangannya menjadi hangat. Konsumsi Pertamax ini juga identik dengan kendaraan bermotor masyarakat menengah ke atas selaras dengan user Twitter yang juga menengah ke atas. Jadi bisa dibilang masyarakat menengah sangat merasakan dampaknya," ungkap Natasha Yulian dalam diskusi tersebut pada Kamis (14/04).

Sekitar 69% perbincangan juga berisi keluhan masyarakat terkait harga komoditas di pasar. Harga daging mendominasi sentimen negatif 88,57%, menyusul Pertamax 84,87%, LPG sebanyak 83,99%, dan minyak goreng sebanyak 69,28%. Sekitar 65 persen% perbincangan tentang harga komoditas ini juga mengaitkan dengan Presiden Joko Widodo.

Warga dapat 'THR' dari pemerintah

Salah seorang pengguna mobil yang berdomisili di Bengkulu, Herri Aprizal, mengakui kenaikan harga Pertamax sangat memberatkannya. Ia terpaksa berhemat karena harus mengalokasikan dana lebih untuk pembelian Pertamax.

Biasanya, untuk pengisian penuh tangki mobil yakni 35 liter, ia cukup membayar Rp329 ribu. Namun dengan berlakunya harga baru, Herri harus berpisah dengan uang senilai Rp455 ribu untuk mengisi penuh tangki mobilnya.

Pandemi COVID-19 dan memasuki bulan Ramadan, menurut Herri, adalah momen yang tidak tepat bagi pemerintah untuk menaikan harga. "Ini akan berdampak dengan kenaikan harga yang lain. Dapat THR dari perusahaan belum, ini lah malah sudah dapat 'THR' dari pemerintah, kenaikan Pertamax dan diikuti kenaikan yang lain," ujar pria berusia 38 tahun ini kepada DW Indonesia.

Untuk beralih menggunakan Pertalite, Herri mengaku masih harus pikir-pikir dahulu. "Sayang dengan keawetan kendaraan, nanti malah biaya perawatan yang membengkak," keluhnya.

Waspadai inflasi merangkak

Ketua Center of Digital Economy and SMEs dari INDEF, Eisha M. Rachbini. Kenaikan harga Pertamax yang cukup tinggi bisa berdampak pada inflasi, apalagi jika diikuti dengan kenaikan Pertalite dan LPG.

"Pengguna Pertamax hanya 14%, namun dengan kondisi saat ini kenaikan 38% ternyata masyarakat sudah mengeluh. Berapa ambang batas kenaikan Pertamax tentunya pemerintah harus menghitung lagi. Berbeda dengan Pertalite konsumsinya bisa 83%, bila ini naik maka bisa mendorong inflasi yang gila-gilaan," ujar Eisha pada kesempatan diskusi yang sama.

Eisha mengatakan kenaikan harga di Indonesia sudah mulai terjadi sejak pendemi COVID-19. Saat itu kebanyakan konsumen tidak punya daya beli kuat dan produsen tidak bisa memproduksi. Seiring meningkatnya vaksinasi dan terkendalinya COVID-19, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi 3,7% di tahun 2021.

"Namun tidak serta-merta pulih, karena masih ada hambatan dalam distribusi, akibatnya permintaan yang mulai meningkat tapi tidak dibarengi dengan suplai berdampak dengan harga mulai merangkak naik," katanya.

"Jika semua bahan pokok naik secara keseluruhan inflasi jadi tinggi. Di saat pemulihan ekonomi, yang terjadi daya beli masyarakat yang tidak ada. Masyarakat hanya bisa menghemat akibatnya berdampak pada konsumsi secara secara keseluruhan," ujar Eisha M. Rachbini.

Sementara itu dari sisi bisnis, inflasi tinggi berdampak dengan harga bahan baku naik, kenaikan biaya produksi akan berpengaruh pada naiknya harga yang harus dibayarkan oleh konsumen sehingga mendorong laju inflasi. Akibatnya investasi jadi bekurang karena modal terbatas sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Faktor geopolitik invasi Rusia terhadap Ukraina juga memberikan dampak dalam perekonomian Indonesia. Termasuk kebijakan pemerintah yang dinilai Eisha M. Rachbini tidak efektif seperti dalam kasus minyak goreng (migor).

Permintaan menindak mafia migor

Analis data Natasha Yulian mengatakan permintaan warga di Twitter agar pemerintah menindak mafia migor dan penjelasan terkait kenaikan harganya mendominasi perbincangan tentang minyak goreng. Sebanyak 26,3% pembicaraan meminta mafia minyak goreng ditindak tegas.

"Dari perbincangan tersebut, 82% mengkaitkan dengan Presiden Joko Widodo, masyarakat bingung kenapa Indonesia yang banyak produksi CPO-nya (minyak sawit mentah, red.) namun sulit mendapatkan minyak goreng dengan harga murah. Sejumlah nama pejabat negara lain yang ikut dikaitkan masyarakat yakni M. Lutfi sebanyak 6% menyusul Erick Thohir 4,5%," lanjutnya.

Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng, lanjut Natasha, hanya mampu memberikan 56,5 persen sentimen positif atas 24,429 pembicaraan dari 15,541 akun sepanjang 31 Maret hingga 1 April 2022.

"Masyarakat setuju dengan adanya BLT migor namun tetap berharap turunnya harga dan pemberantasan mafia minyak goreng menjadi topik yang paling diperbincangkan. Sebagian beranggapan pemerintah takut melawan mafia minyak goreng, Ada pula yang beranggapan tidak membutuhkan BLT namun lebih membutuhkan harga turun," paparnya. (ae)