1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Selama Lockdown, Masyarakat Adat Rentan Kehilangan Tanah

15 Mei 2020

Aturan pembatasan sosial yang diberlakukan di Asia mengancam hak petani dan masyarakat adat dalam penguasaan lahan dan hutan. Lockdown dikhawatirkan bakal menguntungkan perambah liar dan perusahaan nakal.

https://p.dw.com/p/3cFwn
Buldoser beraksi di hutan hujan di Kalimantan, Indonesia
Foto: Imago/Mint Images

Lebih dari 4,4 juta orang di dunia telah dilaporkan terinfeksi oleh virus COVID-19 dan sekitar 300.000 orang terenggut nyawanya akibat pandemi tersebut sampai saat ini.

Di seluruh dunia, banyak petani tidak mampu lagi merawat ladang mereka, dan beberapa kelompok masyarakat adat dijauhkan dari hutan karena pembatasan pergerakan atau lockdown. Situasi ini memudahkan para penebang liar dan perusahaan-perusahaan nakal untuk merambah tanah mereka, demikian disampaikan para analis.

"Pandemi telah membuka peluang untuk kegiatan semacam itu, seperti penebangan liar dan perampasan tanah, di seluruh Asia-Pasifik karena kurangnya pengawasan dan akuntabilitas," ujar David Ganz, direktur eksekutif kelompok advokasi Center for People and Forests.

"Banyak konflik yang timbul karena masalah warisan hak tenurial yang lemah dan tata kelola hutan yang buruk, kini makin diperburuk oleh situasi pandemi saat ini. Tapi juga ada perusahaan-perusahaan yang bergerak maju dalam operasi kontroversial," katanya kepada Reuters, hari Jumat (15/05).

Sengketa lahan berbayar nyawa

Di Indonesia, dua petani tewas pada bulan Maret dalam bentrokan sengketa tanah yang sudah sekian lama  terjadi dengan perusahaan kelapa sawit di Sumatera Selatan, demikian menurut organisasi lingkungan hidup Walhi.

Di Filipina, lima petani tewas di Sorsogon, selatan Manila awal bulan ini gara-gara sengketa wilayah, demikian menurut kelompok hak asasi manusia Karapatan. Pihak berwenang Filipina menuding orang-orang itu adalah pemberontak bersenjata.

Tahun 2018, Filipina tercatat sebagai negara paling berbahaya di dunia untuk  para aktivis hak tanah, demikian menurut  kelompok hak asasi manusia Global Witness yang bermarkas di Inggris.

Aktivis hak tanah di seluruh dunia kini berisiko tinggi karena akses mereka untuk mendapatkan keadilan juga terhalang lockdown, ujar Michel Forst, mantan pelapor khusus PBB untuk pembela hak asasi manusia.

"Para pembela hak tanah masyarakat adat dan lingkungan tak bisa bergerak," tandasnya dalam sebuah pernyataan. "Jika hidup mereka sudah berisiko di masa sebelumnya, pandemi saat ini hanya memperburuk situasi yang sudah sulit."

Di India, pihak berwenang telah melonggarkan aturan proyek pertambangan dan industri. Dengan diberlakukannya lockdown mustahil bagi warga "bahkan untuk menolak" ancaman perampasan terhadap tanah mereka, kata Tushar Dash, seorang juru kampanye hak atas hutan di India.

Keberpihakan pemerintah

Di tempat lain, saat polisi dan pasukan keamanan terlibat dalam upaya menertibakan pembatasan atau lockdown, kasus-kasus penebangan liar telah dilaporkan di Nepal, Myanmar, dan Kamboja, ujar David Ganz.

Menurutnya, pemerintah dapat meningkatkan pemantauan lahan dan hutan lewat teknologi monitor jarak jauh sekarang ini. Ada alat yang menggunakan data geospasial untuk memetakan komunitas dan daerah yang berisiko konflik karena corona.

Sistem pemantauan data terpisah yang dipimpin oleh Internasional Land Coalition (ILC) merupakan upaya crowd-sourcing untuk menangani kasus konflik pertanahan yang dilakukan oleh banyak orang terkait dengan pandemi corona. Puluhan kasus seperti itu sedang diperiksa saat ini, demikian menurut ILC.

"Lebih penting lagi, pemerintah perlu mengakui hak-hak kepemilikan komunitas lokal dan masyarakat adat, dan menciptakan  saluran bagi masyarakat untuk melaporkan keluhan," pungkas Ganz.

rzn/hp (Reuters)