1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masih Seru di South Carolina

25 Januari 2008

Pemilu awal di South Carolina dipastikan berjalan ketat. Separuh dari pemilih demokrat di South Carolina memang berkulit hitam. Tetapi bukan berarti Barack Obama dapat berleha-leha. Clinton diyakini lebih berpeluang.

https://p.dw.com/p/CxZN
Barack Obama dalam kampanye pemilu di South Carolina.Foto: AP

Hari Sabtu ini para pemilih kubu demokrat di negara bagian South Carolina akan memastikan, kandidat presiden mana yang akan mereka dukung. South Carolina memang tidak punya banyak suara delegasi, tetapi separuh dari para pemilih disana adalah warga Afro-Amerika. Oleh sebab itu Barack Obama mengharapkan akan mengungguli saingannya Hillary Clinton. Tetapi Hillary masih punya plus dari citra suaminya Bill Clinton di kalangan pemilih berkulit hitam. Jadi pemilu di South Carolina tetap seru bagi kelanjutan kampanye pemilu kalangan demokrat.

Di kantor kampanye pemilu Barack Obama, Otis Moss Jr, seorang teman Martin Luther King, pejuang hak warga kulit hitam yang terbunuh tahun 1968, berbicara kepada para petugas muda yang umumnya berkulit putih. Dari generasi Otis Moss Jr yang berusia 60 tahunan, banyak yang mempertanyakan kematangan Obama dalam berpolitik. Tetapi ia punya jawaban jelas: "Martin Luther mengubah sejarah agama Kristen dalam usia 29 tahun. Mozart menciptakan karya-karya musiknya yang besar saat berusia 35 tahun. Dan Barack Obama sudah cukup matang dengan usia 46 tahun."

Pendeta berkulit hitam asal Ohio itu berusaha melemahkan satu argumen dari kubu Hillary Clinton. Memang warga Afro-Amerika menyukai Bill Clinton dan ini merupakan nilai tambah bagi Hillary. Tetapi kenyataan bahwa Obama benar-benar punya kesempatan nyata untuk memangku jabatan presiden, sangat mengesankan bagi mereka.

Virginia Bror dan Gerte Brit termasuk generasi Afro-Amerika yang di sekolah dulu, memperoleh buku bekas dari anak-anak kulit putih. Bila ada orang kulit putih mereka tidak boleh duduk dan harus bekerja dengan upah rendah. Simpati di kalangan jemaat gereja mereka, terbagi antara Hillary Clinton dan Obama. Virginia Bror dan Gerte Brit, kedua pensiunan kulit hitam itu empat tahun lalu memberikan suara mereka bagi Presiden George W Bush. Pemilih dari kubu republik yang sekarang berpaling itulah, yang dapat membantu Obama. Sedangkan pemilih tradisional dari kubu demokrat lebih mendukung Hillary Clinton.

Di depan gedung Capitol di Columbus sekitar 40 warga kulit hitam berdemonstrasi, termasuk Pendeta Joseph Branson, yang membawa bendera lama negara-negara selatan AS dulu. Baginya, bendera itu merupakan simbol dari rejim perbudakan yang sampai sekarang pun belum diatasi sepenuhnya. Ia yakin Obama akan dapat melakukannya: "Obama punya kelebihan. Dia luar biasa. Saya yakin dia akan melakukan yang benar. Ia terbuka, jujur dan orang tahu apa yang dapat diharapkan dari dirinya. Ia berterus terang dan akan melakukan yang benar."

Hillary Clinton menjalankan politik yang baik bagi keluarga dan perempuan, oleh sebab itu sebaiknya ia jadi wakilnya Obama, demikian kata Pendeta Branson.

Gubernur negara-bagian South Carolina, Mark Sanford dari Partai Republik tentunya merupakan salah satu tokoh lama yang dikecam oleh Branson. Namun Sanford sendiri berbicara positif tentang Obama. Kepada pemancar televisi CNN dikatakannya, bahwa pencalonan Obama menarik perhatian, karena dengan demikian dapat terlihat, sudah semaju apa negara bagian South Carolina.

Walaupun Barack Obama membangkitkan semangat banyak orang, tetapi ia belum pasti menang, demikian menurut Jimmie Edwards, penerbit harian komunitas Afro-Amerika, "Black News". Menurut dia: "Menyedihkan, tapi memang benar, bahwa semakin banyak warga kulit hitam akan memberikan suaranya, semakin banyak pula warga kulit putih yang melakukannya. Dan itu hanya karena ingin melemahkan calon yang diinginkan oleh warga kulit hitam."

Edwards juga yakin, kekecewaan di kalangan warga kulit hitam South Carolina akan sangat besar, bila Barack Obama tidak berhasil mengungguli Hillary Clinton.