1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

230310 Kabul Kinder

23 Maret 2010

Masa depan mereka buram, selain itu tak memiliki tempat tinggal tetap, berpeluang kecil untuk mendapatkan pendidikan. Masalah anak jalanan yang tambah gawat di Kabul merupakan salah satu tantangan pemerintah Afghanistan.

https://p.dw.com/p/Ma4h
Anak-anak Afghan menggotong karung dagangan bahan sampah daur ulang.Foto: AP

Afghanistan merupakan negara kelima termiskin di dunia. 70 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, sedangkan lebih dari 50 persen harus bertahan hidup dengan hanya dua dolar seharinya. Anak-anak merupakan korban utama situasi ini. Bagi mereka, jalanan berperan sebagai rumah dan tempat kerja.

Sepuluh tahun lalu, sekitar 60 ribu anak berusia lima hingga 18 tahun hidup di jalanan Kabul. Sekarang tidak ada yang tahu secara pasti berapa jumlahnya. Di antara para anak jalanan, banyak yang yatim-piatu, atau hanya memiliki satu orang tua saja. Namun, bagi mereka yang orang tuanya lengkap sekalipun, situasinya sangat buruk. Hassan Palwasha, dari organisasi Afek menuturkan, „banyak anak-anak ini yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarganya. Jadi artinya bukan bahwa anak jalanan itu pasti yatim piatu, banyak dari mereka yang memiliki ayah, atau ibu atau bahkan kedua orangtuanya. Malah kadang-kadang orangtuanya sendiri yang menyuruh mereka cari uang, atau ibunya yang bekerja di jalanan, sehingga para anak jalanan itu tak terlindungi oleh siapapun.“

Untuk menghasilkan sedikit uang, anak-anak itu bisa harus bekerja atau mengemis sampai 16 jam setiap harinya. Ada yang berusaha berdagang dan menjual apa saja yang didapatnya, kantong plastik, surat kabar atau sampah yang bisa didaur ulang. Pakaian mereka compang camping dan di musim dingin pun mereka sering bertelanjang kaki, atau paling banter mengenakan sendal. Tak ada uang untuk membeli kaos kaki.

Banyak diantara mereka yang membutuhkan perawatan medis. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi kriminal, atau disalahgunakan oleh kelompok kriminal, seperti mafia pengemis yang menguras tenaga mereka.

"Ada sejumlah kelompok atau gang, yang suka memeras anak-anak itu, atau memaksa mereka untuk mencuri. Saat ini, sifatnya masih amatiran dan belum terorganisasi dengan baik, tapi justru karena itu sangat penting untuk mengatasinya sekarang. Karena kelompok-kelompok seperti itu bisa berkembang dengan cepat dan tingkat kriminalitas akan melejit tinggi“, begitu kata Palwasha

Tanpa masa depan dan pendidikan, para anak-anak ini sering melihat jalur militer atau polisi sebagai jalan keluar. Presiden Afghanistan, Hamid Karsai telah menetapkan batas minimum usia 18 tahun untuk masuk militer. Namun banyak anak-anak di bawah umur yang diterima secara ilegal. Lebih parah lagi, di dalam militer maupun kepolisian Afghanistan anak-anak ini sering menjadi korban pelecehan seksual.

Ada sejumlah organisasi yang berusaha membela para anak jalanan ini. Diantaranya Palwasha dari LSM Afek, yang berusaha mengembalikan harapan dan jati diri anak-anak itu melalui latihan-latihan musik dan tari. Bagi segelintir anak jalanan yang bisa dibantunya, pintu ke bangku sekolah terbuka. Namun Barmaki, seorang petugas Komisi Hak Azasi Manusia Afghanistan tetap prihatin, karena masih ribuan anak Afghanistan yang tak terlindungi dan tak punya jalan keluar. Ia mengeluhkan, selama situasi politik dan ekonomi di Afghanistan tidak berubah, tampaknya nasib anak-anak jalanan di negara itu juga tak akan berubah.

Majid Malek / Edith Koesoemawiria
Editor : Pasuhuk