1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Tenang, Netizen Tetap Ramai 'Berkicau'

13 Februari 2017

Di masa tenang kampanye Pilkada, para pengguna media sosial tetap ramai 'berkicau' baik mendukung atau 'meledek' para kandidat gubernur DKI Jakarta. Menurut pengamat kebebasan bersuara netizen dijamin konstitusi.

https://p.dw.com/p/2XSAZ
Twitter Logo
Foto: Reuters

Di masa tenang, para pengguna media sosial abaikan permintaan KPU untuk menahan diri. Di jejaring sosial Twitter, para pengguna medsos maupun buzzer masih terus sahut-menyahut terkait kampanye, baik mendukung atau mengejek masing-masing kandidat. Pada hari Minggu (12/02) malam, beberapa tagar berkaitan pilkada merajai topik paling populer di Twitter.

Para netizen yang mendukung pasangan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat melengkapi cuitannya di Twitter dengan tagar  #BadjaKembaliKerja, untuk menandai hari pertama dari pasangan tersebut kembali bekerja sebagai gubernur aktif dan wakil gubernur. Demikian dikutip dari Jakarta Post.

Di lain pihak, para netizen lain gunakan hashtag yang sama untuk mengejek Ahok, dengan menuliskan bahwa gubernur petahana tersebut seharusnya ditangguhkan dulu jabatannya sebagai gubernur karena sidang dengan dugaan penistaan agama masih berlangsung.

Sementara tagar  #GuePilihAgus juga jadi viral, lengkap dengan beredarnya  gambar dukungan pasangan kandidat Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Tercatat sekitar 7.200 tweet Minggu (12/02) malam gunakan tagar itu dan kebanyakan memasang foto dari pasangan nomor urut 1.

Ada juga tagar #SaatnyaJakartaBerSATU. Banyak netizen beranggapan tagar itu ditujukan bagi pasangan Agus-Sylvi sebagai kandidat dengan nomor urut 1. Beberapa netizen lain  menggunakan tagar tersebut untuk menyindir pasangan kandidat dengan mengejek program-programnya.

Para pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno juga antusias ikut bergabung, dalam percakapan di medsos dengan mempromosikan slogan OK-OCE.

Larangan kampanye di masa tenang

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melarang semua kegiatan yang berhubungan dengan kampanye, mulai dari tanggal  12 Februari sampai 14 Februari 2017. Siapapun yang berkampanye di luar waktu yang ditentukan oleh KPU terancam hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda hingga Rp 1 juta.

Selain itu, peraturan KPU menetapkan bahwa pada masa tenang, tidak ada media massa atau lembaga penyiaran yang boleh menyiarkan iklan terkait kampanye, rekam jejak calon atau pernyataan partai politik, baik negatif atau mendukung, salah satu kandidat.

Namun, tampaknya akun sosial media pemilih berada di ‘wilayah abu-abu‘ larangan ini. Dikutip dari Jakarta Post, Komisaris KPU Hadar Nafis Gumay mengakui komisi tidak memiliki wewenang untuk menghentikan kampanye di media sosial dan tak bisa melakukan apa-apa, selain menyerukan agar orang-orang tidak berkampanye pada masa tenang. "Kami mengakui bahwa peraturan saat ini tidak cukup memadai untuk mengatasi hal ini. Kami akan menemukan cara lain di masa depan, " ujar Hadar.

Kebebasan berekspresi

Pakar komunikasi politik Hendri Satrio dari Universitas Paramadina mengatakan tidak ada yang bisa menghentikan suara netizen, karena penggunaan media sosial bersifat pribadi dan kebebasan berekspresi dijamin dalam konstitusi.

"Larangan ini hanya berlaku untuk kandidat dan pendukung resmi dan relawan, tapi untuk individu, itu sulit dilakukan. Dan hal ini memang dapat mempengaruhi pemilih, karena mereka masih memiliki waktu hari Senin dan Selasa untuk berpikir sebelum memutuskan apakah mereka akan tetap dengan pilihannya atau mengubah pilihan mereka," tandas Hendri.

Hendri menambahkan, media sosial bukanlah satu-satunya pemberi pengaruh pada pemilih, tetapi juga aplikasi pesan seperti  WhatsApp, Line dan Blackberry Messenger. "Mereka juga  punya pengaruh kuat," pungkas Hendri.

ap/ml (jakartapost)