1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mantan Dubes Jerman: Habibie Berpikir Seperti Orang Jerman

Miranti Hirschmann
16 September 2019

Dr. Heinrich Seemann dipercaya untuk menterjemahkan buku Habibie "Detik Detik yang Menentukan“ ke dalam bahasa Jerman. Simak perbincangan DW dengan mantan dubes Jerman Seemann tentang sahabatnya BJ Habibie.

https://p.dw.com/p/3PgiS
Ehamaliger Indonesischer Präsident | Bacharuddin Jusuf Habibie
Foto: picture-alliance/AA/A. Raharjo

Pasca berpulangnya Presiden RI ke-3 BJ Habibie, Deutsche Welle mengunjungi kediaman Dr. Heinrich Seemann, mantan Duta Besar Jerman untuk Indonesia di pinggir kota Berlin. Rumahnya tertata apik dan hangat. Kerajinan kayu asal Jawa dan Bali tampak dimana mana.

Dr. Heinrich Seemann diutus sebagai Duta Besar Jerman dalam kurun waktu tahun 1994 hingga 2000. Seemann bertemu BJ Habibie pertama kali pada 10 November 1994, tepat pada rolling out pesawat hasil karya anak bangsa, N250 di IPTN Bandung.

Sebuah buku berjudul Tagebuch einer Revolution ditulis Seemann (Dietz Verlag) sebagai catatan harian seorang Duta Besar yang menyaksikan dan mengalami transisi pemerintah dan kehidupan demokrasi Indonesia di masa reformasi. Persahabatannya dengan Habibie tetap terjalin hingga masa pensiun. Mereka tetap saling mengunjungi dan berkabar lewat telepon. Heinrich Seemann dipercaya untuk menterjemahkan Buku "Detik Detik yang Menentukan“ ke dalam bahasa Jerman sebagai catatan Habibie saat menjabat Presiden RI.

DW: Apakah anda memiliki kesulitan dalam menterjemahkan buku Detik Detik Yang Menentukan ke dalam bahasa Jerman?

Heinrich Seemann: Cukup mudah,  karena saya menterjemahkan dari versi berbahasa Inggris ke dalam bahasa Jerman. Yang sangat menarik bagi saya, buku ini membeberkan apa yang terjadi saat Habibie menjabat sebagai Presiden, dimana dulu saya hanya melihat dari luar. Apalagi saya sebagai Duta Besar, banyak hal yang harus  saya pelajari pada masa Habibie menjabat Presiden.

Heinrich Seemann dalam acara di KBRI Berlin tahun 2018
Dr. Heinrich SeemannFoto: Indonesische Botschaft, Berlin

Dalam pandangan Anda, keputusan apa yang terpenting saat Habibie menjabat Presiden RI?

Pak Habibie adalah Bapak Demokrasi Indonesia. Ia pantas menyandang sebutan itu.  Memang, Habibie tidak ikut turun ke jalan dan berdemontrasi, meneriakkan protes seperti para mahasiswa saat itu. Tetapi hasilnya, Suharto harus mundur dari jabatan dan Habibie, sebagai wakil Presiden saat itu, otomatis menggantikan Suharto sebagai Presiden. Habibie menerapkan hukum hukum yang mendukung berjalannya demokrasi sejak awal pemerintahannya. Dalam pandangan saya, Habibie berpikir seperti orang Jerman. First thing First. Dahulukan yang terpenting. Yang terpenting saat itu adalah adanya struktur hukum demokrasi  dan memperkenalkan undang undang baru. Habibie telah memberi rangka pada penegakan demokrasi Indonesia

Saya sering berpikir apa yang akan terjadi dengan Indonesia bila saat itu bukan Habibie yang menggantikan Suharto sebagai Presiden. Siapa tokoh yang bisa memikirkan dan mampu menelurkan begitu banyak undang undang baru dalam waktu sesingkat itu?

Sebagai Duta Besar Jerman, saya gembira telah menjadi partner Habibie yang membantu dalam membentuk struktur baru demokrasi Indonesia. Banyak sekali bantuan Jerman untuk menegakkan undang undang baru itu (catatan: UU Mahkamah Konstitusi, UU Anti Monopoli). Tugas saya di Indonesia benar benar penuh arti.

Apa yang membuat Habibie berpikir bahwa demokrasi adalah hal terpenting?

Habibie cukup lama tinggal di Jerman. Ia menuntut ilmu di Jerman dan bekerja di Jerman. Ia tidak hanya melihat teori demokrasi dari universitas tempat ia belajar,  ia hidup di alam demokrasi. Ia sangat menyadari perubahan apa yang dibutuhkan untuk Indonesia. Habibie memiliki cukup pengalaman untuk mengatur keberadaan faktor pendukung penegakan demokrasi. Saya selalu berharap Habibie akan selalu disebut sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. Saya pikir Habibie telah sukses menerapkan demkorasi di Indonesia. Anda bisa melihat ini pada proses pemilu. Indonesia telah belajar banyak. Hal ini harus diterima dan jerih payah Habibie harus dihargai. Saya berharap yang terbaik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Bagaimana Anda bertemu dengan mendiang BJ Habibie?

Kami bertemu pertama kali pada tahun 1994, dalam acara rolling out pesawat baru di Bandung. Beberapa teman mengatakan bahwa saya harus menghadiri acara tersebut. Saya katakan bahwa saya tidak diundang. Saat itu saya belum terakreditasi dan belum menyerahkan kredensial saya sebagai duta besar kepada Presiden RI. Teman saya itu mengatakan, "Ya Tuhan, pergilah ke Bandung. Habibie tidak akan memaafkan orang Jerman yang tidak hadir dalam acara sepenting itu". Jadilah saya pergi ke sana.

Acara di Bandung itu besar sekali. Dihadiri dan diresmikan oleh Presiden Suharto. Saya tidak berbicara dengan Presiden Suharto, karena saya belum diperkenalkan secara resmi. Tak dinyana, Habibie menegur saya. Lalu kami berbicara,berdiskusi dan terus berbicara. Sejak pembicaraan pertama itu, kami merasa cocok dan saling mengerti. Singkatnya, frekuensi kami sama. Kami juga memiliki ketertarikan yang sama. Kami selalu terbuka dalam tiap diskusi. Persahabatan kami terjalin sepertempat abad. Sayang sekali Habibie mendahului kita semua tahun ini.

Itu awalnya. Selanjutnya banyak sekali yang ia lakukan sebagai kepala kementrian bergengsi, Menteri Riset dan Teknologi, kemudian menjabat sebagai Waki Presiden. Kami makin sering berdialog, makin banyak isu kami diskusikan, makin dekat dan makin terbuka. Ternyata kami memiliki teman yang sama di Jerman. Apalagi, ia pernah berkarir di industri penerbangan Jerman. Ia mendaki tangga kesuksesan dan meraih posisi atas yang sangat penting. Kalau saja ia tidak dipanggil kembali ke Indonesia oleh Presiden Suharto, Habibie memiliki potensi ditunjuk sebagai Presiden Industri Penerbangan Jerman. Semua orang tahu ia menemukan teori penting dalam konstruksi sayap pesawat (Crack Progression). Ia selalu bersemangat saat berbicara  tentang pengembangan konstruksi pesawat. Ia salah satu tokoh penting di Airbus.

Suatu kali, saya dan istri diundang ke kediaman beliau. Sebagai balasan, kami juga mengundang Habibie dan istri ke kediaman kami. Pertemuan di Bandung itu mengawali persahabatan dua keluarga, hingga berpulangnya pak Habibie.