1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Makan Ikan Hasil Perbudakan?

30 Mei 2019

Puluhan buruh nelayan Indonesia kembali menjadi korban perbudakan lewat skema gelap agen tenaga kerja lokal. Mereka dipaksa bekerja selama 18 jam sehari tanpa air minum yang memadai. Kini korban menggugat balik.

https://p.dw.com/p/3JUny
Indonesien Fischereiindustrie
Foto: Imago/Zumapress/A. Irawan

Teraniaya, kelaparan dan tak jarang harus menadah tetesan kondensasi untuk memuaskan dahaga: nasib Rahmatullah yang meninggalkan Indonesia buat mencari penghidupan yang lebih baik berujung di neraka perbudakan.

Kisahnya itu mendefinisikan industri perikanan yang marak praktik perburuhan paksa, klaim pakar anti penyelundupan manusia. Celakanya banyak konsumen yang tidak menyadari "harga sesungguhnya" dari produk perikanan yang mereka beli di restoran atau supermarket.

Baca juga: Bekas Budak Nelayan Pulau Benjina Bergulat Melawan Trauma

Para buruh itu terbiasa bekerja tanpa bayaran dan sering menghadapi kekerasan yang bisa berujung pada kematian. Indonesia dan Asia Tenggara termasuk kawasan yang paling subur praktik perbudakan, di mana makelar hitam membidik pengangguran muda tanpa ijazah sekolah dengan iming-iming gaji yang tinggi.

Rahmatullah awalnya dijanjikan gaji sebesar 400 Dollar AS per bulan, di tambah bonus tangkapan per ton. Namun ketika bergabung, dia malah dijual ke Somalia, di mana dia menjalani sembilan bulan bekerja di atas kapal nelayan Cina dalam kondisi yang brutal. Setiap hari Rahmatullah harus bekerja selama 18 jam.

"Saya merasa seperti budak," kata pria beruisa 24 tahun itu kepada AFP. "Kru dari Cina minum air bersih, sementara kami harus mengumpulkan air dari tetesan kondensasi. Kami sering dipukuli kalau tidak mendapat jumlah tangkapan yang memuaskan, bahkan ketika kami sakit sekalipun," imbuhnya.

Rahmatullah adalah satu dari 40 buruh perikanan yang menuntut kompensasi setelah merasa ditipu dan dijebak oleh agen tenaga kerja PT. Maritim Samudera. Sebagian dikirimkan ke Jepang, sementara yang lain ditempatkan di lepas pantai Somalia.

Dalam wewancaranya dengan AFP, para korban mengaku dianiaya secara fisik dan psikologis, serta dibiarkan kelaparan dan kehausan. Dua kru kapal dikabarkan meninggal dunia akibat dehidrasi, demikian menurut kesaksian Rahmatullah.

Mereka biasanya diberikan nasi dengan lauk berupa sayur atau ikan rebus. "Makanannya parah sekali," kata Arianus Ziliwu yang bekerja di perairan Jepang. "Dan kondisi ruang tidurnya tidak manusiawi," imbuhnya.

"Kami tidak bisa melawan. Saya orang desa dan tidak mengerti apa-apa," ujar Rahmatullah yang belum pernah bekerja di kapal nelayan sebelumnya. Mereka baru diselamatkan ketika mengirimkan pesan SOS saat ada kesempatan mengakses internet.

PT Maritim Samudera Indonesia tidak terdaftarkan secara resmi dan memalsukan dokumen buruh agar bisa mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri, klaim Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) yang mengadvokasi budak perikanan. Meski sudah membayar uang administrasi sebesar 100 USD, Rahmatullah dikirimkan tanpa sempat menjalani program pelatihan khusus nelayan.

Inilah Kisah TKW Korban Perbudakan di Hong Kong

Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia sempat menengahi kasus Rahmatullah dengan menyarankan pihak perusahaan agar membayar uang ganti rugi. Namun himbauan itu ditolak PT MSI. Saat ini polisi menyelidiki kemungkinan dugaan penyelundupan manusia. Namun prosesnya berjalan lambat, menurut PPI.

Indonesia bukan kali pertama mendarat dalam daftar negara, di mana praktik perbudakan modern tumbuh subur. Pada 2015 silam kantor berita Associated Press membongkar sindikat perbudakan di pulau Benjina, Maluku, di mana ratusan nelayan dipekerjakan secara paksa. Mereka dipaksa bekerja selama 22 jam sehari dan hasil produknya dinikmati konsumen di Eropa dan Amerika Serikat.

Baca juga:Komnas HAM Selidiki Kasus Perbudakan Nelayan di Benjina 

Sebab itu pemerintah Indonesia dituding tidak serius memerangi praktik perbudakan di sektor perikanan. Yuli Adiratna, Kasubdit Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan, mengakui "pengawasan terhadap kondisi kerja nelayan bisa ditingkatkan," ujarnya sembari menambahkan pihaknya sedang berkonsentrasi mengawasi nasib buruh migran yang terancam.

Dia juga berjanji pemerintah sedang menggodok program pengawasan dan kerjasama antar agen tenaga kerja. Namun buat sebagian, langkah pemerintah terlalu lambat. "Saya ingin agar perusahaan dihukum sehingga tidak lagi jatuh korban," kata Lutfi Awaludin Fitroh, nelayan lain yang menjadi korban perbudakan lewat skema gelap PT Maritim Samudera Indonesia.

rzn/ap (Agence France-Presse)