1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lulus S1 di Indonesia, Lanjut Kuliah S1 Lagi di Jerman

Ainur Rosyidah
21 Februari 2020

Apakah berkuliah S1 kedua kali buang-buang waktu? Bagaimana perbedaan perkuliahan di Indonesia dan di Jerman? Oleh Ainur Rosyidah.

https://p.dw.com/p/3Xx6G
Indonesische Studentin Ainur Rosyidah in Kaiserslautern
Foto: Privat

Setelah lulus S1 di Indonesia, banyak pertimbangan tentang apa yang ingin atau akan dilakukan selanjutnya. Bekerja? Atau melanjutkan studi S2? Mengulang studi S1 di luar negeri jarang terpikirkan oleh lulusan S1 di Indonesia. Apakah berkuliah S1 kedua kali buang-buang waktu? Bagaimana perbedaan perkuliahan di Indonesia dan di Jerman? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab di tulisan ini.

Ainur Rosyidah di Kaiserslautern
Ainur RosyidahFoto: Privat

Menentukan tujuan memang tidak mudah. Banyak pilihan, namun tidak semua menjanjikan. Hal ini yang membuat aku mempertimbangkan pilihanku setelah lulus S1 Pendidikan Bahasa Jerman di Indonesia. Setelah 3,5 tahun menempuh pendidikan sarjana, aku belum merasa siap terjun ke dunia kerja dan ingin melanjutkan studi di Jerman.

Banyak hal yang menjadi pertimbanganku untuk melanjutkan studi di Jerman dengan jurusan yang linear, namun tidak ada yang membuatku merasa yakin mengenai masa depanku kelak. Setelah mencari informasi dan menimbang-nimbang pilihan yang ada, aku memutuskan untuk berkuliah S1 lagi, di TU Kaiserslautern dengan jurusan Integrative Sozialwissenschaften.

Kenapa aku memilih jurusan ini? Karena luasnya lapangan pekerjaan yang dijanjikan. Di laman jurusan ini kalian bisa menemukan daftar panjang tempat magang yang bisa kami tuju. Mata kuliahnya pun sangat beragam dan menarik. Di semester satu kami banyak mendapat mata kuliah dasar. Beberapa mata kuliah yang dipelajari di jurusan Integrative Sozialwissenschaften contohnya adalah Politik, Sosiologi, Psikologi, Ekonomi, Sistem Pemerintahan Jerman, dan tentu saja dasar-dasar penelitian.

Walaupun aku pernah belajar dasar-dasar penelitian dan pernah menulis skripsi di Indonesia dalam bahasa Jerman, banyak informasi baru yang aku dapat. Penelitian merupakan tema yang dibahas sangat detail dan merupakan tema yang sangat penting di perkuliahan di Jerman. Mahasiswa benar-benar dibekali informasi yang cukup untuk mempersiapkan penelitian mereka.

Beda sistem perkuliahan

Perkuliahan di Jerman dan di Indonesia jelas berbeda. Sistem perkuliahan, kontak dengan teman di kelas, kontak dengan dosen, bobot perkuliahannya juga berbeda. Bahasa pengantar kuliah S1 di Jerman adalah bahasa Jerman. Semua mahasiswa diperlakukan sama, tidak peduli dari negara mana kalian berasal. Hal ini merupakan tantangan awal di perkuliahan. Teks-teks dengan tingkat bahasa yang tinggi membuat perkuliahan terasa lebih berat. Tidak heran jika syarat masuk universitas di Jerman adalah kemampuan bahasa jerman tingkat B2-C2.

Indonesische Studentin Ainur Rosyidah in Kaiserslautern
Foto wisuda S1 di Indonesia, 9 Februari 2019Foto: Privat

Dalam perkuliahan di jurusan Sosiologi, kami dituntut untuk aktif berpartisipasi dalam perkuliahan. Beberapa kali dosen mengajukan pertanyaan atau meminta kami berdiskusi dengan teman sebangku. Percaya diri dan Vorwissen (pengetahuan awal) juga penting untuk diasah agar terjalin komunikasi yang baik di kelas, dengan dosen maupun dengan sesama mahasiswa.

Seperti yang sudah aku sebutkan di atas, komunikasi dengan teman sekelas dan dosen di Universitas di Jerman berbeda dari di Indonesia. Di Indonesia, teman sekelas cenderung kenal satu sama lain dan banyak menghabiskan waktu bersama. Di luar kelas mereka juga saling senyum dan sapa. Di Jerman, lingkaran pertemanan sudah dimulai dengan lingkaran kecil sebatas teman belajar. Di luar perkuliahan mahasiswa jarang saling menegur atau tersenyum ke satu sama lain, walaupun mereka tahu mereka satu kelas.

Di jurusan Integrative Sozialwissenschaften aku jarang menemui mahasiswa asing. Mahasiswa dari Indonesia pun hanya aku dan salah satu temanku, selain itu tidak ada lagi di semua angkatan. Menurutku bagus jika ada mahasiswa lain dari Indonesia, karena sesekali kami bisa berdiskusi dalam bahasa Indonesia jika ada materi yang sulit dipahami. Selain itu, aku juga memiliki beberapa teman orang Jerman di kelas. Dengan teman-teman ini aku biasanya mengerjakan tugas kelompok dan bertukar pikiran atau sekedar makan bersama di Mensa.

Dituntut jadi mandiri

Sejak awal perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk mandiri. Tidak ada kegiatan ospek yang menunjukkan bagaimana perkuliahan berlangsung dan hal-hal apa yang perlu diketahui. Beberapa hal yang aku temukan mirip dengan perkuliahanku di Indonesia, contohnya pemilihan mata kuliah berbasis online. Pihak jurusan di Universitas di Jerman menyediakan buku panduan berupa Modulhandbuch sebagai acuan menentukan mata kuliah yang dipilih dan di semester berapa kami bisa menempuh mata kuliah tersebut. Cara mendaftarnya pun harus melalui website khusus untuk mata kuliah.

Bicara tentang website, Universitasku di Jerman memiliki banyak laman yang harus mahasiswa ketahui. Untuk mendaftar ke suatu mata kuliah kami punya laman bernama KIS-Office, mendaftar ujian dengan QIS, mengakses data presentasi dan tugas-tugas menggunakan OLAT, dan masih banyak lagi. Untuk mengakses laman universitas di luar lingkungan kampus kami harus mengunduh dan menginstall program VPN yang telah disediakan oleh universitas. Dalam sebulan mahasiswa diberi jatah 200 Poin untuk mencetak dokumen. Singkatnya bisa dibilang 200 lembar hitam-putih. Untuk dapat mencetak dokumen pun, kami harus menginstall printer universitas di laptop masing-masing. Semua harus dipelajari sendiri dan mahasiswa dituntut untuk rajin mencari informasi secara mandiri.

Ketika ditanya, apakah perkuliahan di Jerman sekarang lebih mudah, karena aku sudah pernah berkuliah S1 di Indonesia, jawabannya adalah tidak. Seperti yang aku bilang, banyak hal baru yang aku pelajari. Selain itu, berkuliah dengan bahasa pengantar bahasa Jerman merupakan tantangan baru. Dengan pengetahuan baru ini, aku bisa mempersiapkan diri lebih baik untuk studi lanjutan maupun untuk terjun ke dunia kerja.

Oh ya, salah satu keuntungan lain berkuliah S1 di Jerman dengan lulusan S1 di Indonesia adalah kita bisa mendaftarkan diri langsung tanpa perlu melewati masa penyetaraan atau Studienkolleg. Pada saat aku mendaftar, aku melampirkan terjemahan ijazah S1ku di Indonesia dalam bahasa Jerman dan juga sertifikat bahasa C1. Walaupun aku sudah melampirkan sertifikat bahasa, aku tetap harus mengikuti Test-DSH (kemampuan bahasa) yang diselenggarakan universitas sebelum perkuliahan dimulai. Dari hasil ujian ini, penguji dapat mengetahui apakah calon mahasiswa memiliki kemampuan bahasa Jerman yang cukup untuk berkuliah S1 di Jerman, dan jika belum, maka calon mahasiswa dapat mengikuti kursus bahasa Jerman yang disediakan oleh universitas.

Secara keseluruhan, memulai dari awal memang tidak mudah. Banyak yang bilang kalau 3,5 tahun perkuliahanku terbuang sia-sia, namun aku tidak setuju. Dengan pengalamanku dan gelar yang aku punya, aku bisa bekerja paruh waktu di samping perkuliahanku di Jerman. Selain itu, aku jadi punya pengetahuan-pengetahuan baru, pengalaman baru, teman baru, gelar tambahan, dan tentunya peluang kerja yang lebih besar.

* Ainur Rosyidah, atau biasa dipanggil Ochi, adalah mahasiswi di jurusan Integrative Sozialwissenschaft di TU Kaiserslautern

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.