Negeri Tanpa Telinga
1 Maret 2015
Setelah menghadiri Berlinale 2015 dan ikut seminar "Expert Film Maker" atas undangan Kementrian Luar Negeri Jerman, dari Berlin sutradara muda Indonesia Lola Amaria datang ke Köln menghadiri acara pemutaran film "Negeri Tanpa Telinga", yang mengangkat isu korupsi dan kekuasaan. Bersama Deutsche Welle, Lola berbincang mengenai isu sosial yang ditumpahkan lewat film dan kontribusi sineas Indonesia atas problematika masyarakat.
DW: Dalam film Negeri Tanpa Telinga, anda mengangkat kisah yang bersandar pada kasus korupsi di Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Apa hal baru yang ditawarkan film ini dibandingkan dengan pemberitaan yang kita lihat di televisi?
Lola Amaria: Memang tidak ada yang baru. Tapi paling tidak ini mengingatkan bahwa lima tahun belakangan Indonesia mengalami hal-hal seperti itu dan berharap di pemerintahan yang baru kasus korupsi yang merajalela bisa ditekan.
Anda bukan satu-satunya sineas yang rajin mengolah isu sosial untuk diangkat ke layar lebar. Film terakhir anda juga menceritakan tentang situasi kaum gay dan lesbian (LGBT). Kenapa film menjadi media yang penting untuk kritik sosial?
Saya melihatnya film lebih kena ke audiens karena sifatnya yang audiovisual, artinya kita melihat dan mendengar, dibanding diskusi atau seminar yang setelah pulang orang cepat lupa. Nah kalau film kan menancap. Apalagi film bisa ditonton lagi oleh lebih banyak orang. Walaupun ya, apa sih arti film buat mengubah sesuatu yang besar. Tapi buat saya yang setiap hari mendengar keluhan orang tentang macet, banjir, demonstrasi atau tentang pertentangan antar agama, itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Karena dunia saya film, sangat sayang kalau dilewatkan. Mendengar dan melihat hal-hal semacam itu membuat kita peka dan akhirnya berusaha menumpahkannya pada bidang yang kita geluti.
Film-film seperti yang anda buat kan sifatnya tidak komersil dan cendrung diabaikan oleh penyandang dana besar. Pastinya pembuatannya cukup sulit. Apa motivasi terbesar anda untuk tetap membuat film semacam ini?
Film adalah investasi. Dan investasi bukan cuma uang. Jadi begini, misalnya saya pernah membuat film tentang tenaga kerja indonesia di Hongkong tahun 2010, jika film itu diputar sepuluh atau duapuluh tahun kemudian, itu akan menjadi arsip penting buat dunia ketenagakerjaan di Indonesia, bahwa mungkin ternyata kasusnya masih sama atau bahkan malah mengalami kemunduran. Contoh lain adalah film LGBT yang saya buat tahun 2013, apakah keadaannya masih sama ketika dua puluh tahun kemudian filmnya diputar (...) Ya kalau mau membuat film komersil bisa saja, tapi saya ingin membuat film yang ada isinya dan kalau diputar duapuluh tahun kemudian masih relevan.
Kenapa sulit menjual isu-isu politis atau kritik sosial untuk konsumen film di Indonesia?
Masalahnya belum ada kesadaran untuk melihat film sebagai bagian dari kebudayaan. Di Indonesia saja pembuat film belum diakui sebagai profesi. Jadi disamping kesadaraan penonton, tata kelola ekonominya juga belum mendukung.
rzn/hp