1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

291210 Afghanistan Frauen Quote

30 Desember 2010

Ketika Taliban masih berkuasa di Afghanistan, perempuan tidak punya dan dipaksa hidup tersembunyi. Namun 2005 konstitusi menetapkan, seperempat kursi di parlemen disediakan bagi perempuan.

https://p.dw.com/p/zrWh
Parlemen AfghanistanFoto: AP

68 dari 249 kursi di parlemen Kabul disediakan untuk perempuan. Setelah pemilu November lalu, 69 perempuan berhasil merebut kursi parlemen. Itu berarti, satu kursi lebih banyak dari yang ditetapkan. Siddiqua Mobarez dari propinsi Wardak, Afghanistan Tengah, untuk kedua kalinya berhasil merebut kursi di parlemen. Baginya, hasil pemilu lalu merupakan keberhasilan bagi perempuan Afghanistan.

Sejumlah caleg perempuan menggunakan kata ‚perubahan' dalam slogan kampanye pemilu lalu. Sedikitnya 400 perempuan mencalonkan diri dalam pemilihan parlemen kali itu. Jumlahnya 70 perempuan lebih banyak dari parlemen lima tahun lalu. Salah satu politisi perempuan yang mencalonkan diri adalah Fauzia Kofi. Pegiat persamaan hak ini dikenal sebagai bintang progresif di antara politisi perempuan Afghanistan. Ia berjuang menentang pelecehan seksual terhadap perempuan dan diskriminasi.

„Suatu saat saya ingin hidup di sebuah masyarakat dimana tidak ada warga kelas satu atau kelas dua. Saya menginginkan persamaan hak. Tidak ada diskriminasi lagi yang didasari perbedaan jenis kelamin, etnis atau bahasa.“

Perjuangan persamaan hak bagi perempuan di Afghanistan masih berada di titik awal, tutur pakar Afghanistan Andrea Fleschenberg. Ia melakukan penelitian untuk yayasan Jerman Heinrich-Böll-Stiftung dengan mewawancarai 91 perempuan anggota parlemen Afghanistan. Fleschenberg menuturkan, bahwa banyak dari mereka masih baru di panggung politik.

„Kami pernah diberitahu, bahwa kualifikasi dan pengalaman mereka masih kurang untuk dapat menjalankan mandatnya. Tetapi mereka harus menyesuaikan diri di sebuah lingkungan yang peraturan permainannya berubah terus. Banyak hal yang masih tidak transparan. Budaya patronase masih sangt kuat di dalam parlemen, sehingga sulit sekali untuk mewujudkan kepentingan politiknya.“

Di luar itu, kerja-sama di antara politisi perempuan juga masih kurang, tambah Fleschenberg. Masyarakat Afghanistan sangat tradisional. Terutama warga konservatif berpendapat, bahwa perempuan tidak pantas bergerak di dunia politik. Hal ini dirasakan oleh anggota parlemen Siddiqa Mobarez dalam kampanye pemilu lalu.

„Banyak sekali masalah yang kami hadapi. Ketika itu disebarluaskan, bahwa adalah dosa jika memilih kandidat perempuan. Mereka bahkan mengompori keluarga kami untuk menentang kami.“

Pegiat persamaan hak perempuan Fauzia Kofi memaparkan, banyak anggota parlemen yang laki-laki menganggap remeh rekan perempuannya. Mereka tidak segan-segan melakukan intimidasi di parlemen.

„Kami tidak diberi waktu cukup untuk menyampaikan pidato di parlemen. Mereka mencoba merusak citra kami. Kami bahkan diancam.“

Fauzi Kofi menceritakan, bagaimana ia nyaris menjadi korban teror ketika pemberontak Taliban meledakkan mobilnya.

Walaupun masih banyak terjadi intimidasi, Afghanistan belum pernah mencatat jumlah politisi perempuan sebanyak sekarang. Penerapan kuota perempuan di parlemen merupakan langkah awal untuk mewujudkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.

Julia Hahn/Andriani Nangoy

Editor: Renata Permadi