1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Libya Bergulat Lawan Teror

Kersten Knipp14 September 2012

Serangan atas konsulat Amerika di Benghazi menunjukkan bahwa pemerintah Libya masih lemah. Juga diperkirakan, ekstrimis dari luar berusaha paksakan idiologi Islam di negara itu.

https://p.dw.com/p/168Vq
Foto: Reuters

Serangan atas tempat-tempat suci Sufi hanya awalnya saja. Itu sudah diperkirakan masyarakat luas di Libya. Pertanyaannya bukan apakah, melainkan kapan dan di mana teroris akan melancarkan serangan lebih besar lagi.

Jadi mungkin dalam kata-kata Ketua Parlemen Libya Mohamed Magarief tersirat kesadaran yang terlambat muncul, bahwa gedung Konsulat Amerika Serikat di Benghazi seharusnya dilindungi dengan lebih baik. "Kami minta maaf kepada rakyat AS dan seluruh dunia." Demikian pernyataan Magarief segera setelah terjadinya serangan.

Seolah ingin lebih menekankan permintaan maafnya, ia merujuk pada kenyataan bahwa serangan atas Duta Besar AS itu terjadi tepat pada ulang tahun ke-11 peristiwa 11 September, hari serangan terhadap World Trade Center. Magarief menekankan juga, "Kami sepenuhnya menolak bahwa wilayah negara kami disalahgunakan untuk operasi teror semacam itu."

Kesedihan dan Kengerian

Kesedihan, kengerian dan perasaan tidak berdaya. Itulah yang terutama dirasakan rakyat Libya. Harian "Al watan al Libia" yang terbit di internet menerbitkan foto Duta Besar Christopher Stevens yang tewas dalam serangan, dengan bingkai berwarna hitam. "Ke mana orang-orang itu hendak mengendalikan Libya?" Komentator di harian itu bertanya, sekaligus memberikan jawabannya: "Ke jurang!"

Mohammed el Magarief
Mohamed Magarief (tengah) berfoto bersama anggota parlemen (09/08/2012)Foto: Reuters

Para teroris hendak menjadikan Libya negara seperti Somalia, Afghanistan atau Libanon. "Mereka mengubah negara kita menjadi rumah bagi petualang, membuat rakyat dan negara kita menjadi busuk. Itulah alternatif bagi proyek kita, yakni untuk membangun dan mengembangkan negara, serta mencapai kesejahteraan bagi rakyat."

Sebaliknya gerakan Hisbullah menampilkan aksen lain. Mereka juga mengutuk sepenuhnya serangan tersebut dalam pernyataan resmi. Namun mereka menambahkan, bahwa negara-negara Barat dan masyarakat internasional memikul "sepenuhnya tanggung jawab" atas insiden tersebut. Tidak cukup, bahwa negara-negara Barat menyatakan secara resmi perasaan hormat kepada Islam, jika tidak memberikan komentar terhadap pernyataan-pernyataan yang menghina, yang menebar benih kebencian antar agama. Demikian alasan pendapat mereka.

Ekstremisme Hasil Impor

Banyak petunjuk yang memperkuat dugaan, bahwa serangan terhadap institusi AS di Benghazi itu didalangi ekstrimis dari luar Libya. Beberapa bulan belakangan ini di Libya terjadi serangan mematikan dengan bom mobil. Demikian keterangan penerbit Mustafa Fetouri dalam pembicaraan dengan Deutschen Welle. Tetapi bom mobil sebenarnya fenomena yang asing di Libya. Selama revolusi terhadap Muammar Gaddafi pun bom mobil tidak pernah digunakan. "Kekerasan semacam ini pasti berasal dari luar Libya. Ini merujuk pada kelompok-kelompok fanatik, yang kemungkinan termasuk dalam Al Qaida atau gabungan gerakan teror lainnya."

Sejak beberapa pekan lalu tempat suci Sufi di Libya dirusak atau dihancurkan. Itu juga jadi petunjuk, bahwa ekstrimis asing berada di Libya. Pelakunya kaum Salafis, demikian ujar Michel Cousins, penerbit harian "The Libya Herold" yang terbit pertama kali awal tahun ini. Ia menambahkan, ideologi mereka berasal dari Arab Saudi. "Tetapi kelompok itu tidak besar. Di seluruh Libya jumlah mereka hanya sekitar empat sampai lima ratus orang." Kelompok-kelompok ini juga mendapat dukungan dari sebagian warga Libya. Tetapi jumlah mereka juga tidak banyak. Mayoritas warga Libya, dijelaskan Cousins, adalah warga Islam moderat. "Mereka kaget dan ngeri melihat kekerasan, yang terjadi atas warisan budaya negara mereka. Serangan-serangan itu mengejutkan warga Libya. Mereka marah dan sedih."

Setelah calon-calon kubu radikal mendapat penolakan dari rakyat pada pemilihan umum Juli lalu, tampaknya sekarang mereka berusaha mencapai tujuan mereka lewat cara lain. "Sekarang mereka berusaha menetapkan kekuasaan dengan kekerasan," tukas Mustafa Fetouri. "Ini adalah masalah yang sangat serius."

Perhitungan Sinis

Serangan terhadap konsulat AS adalah langkah konsekuen selanjutnya dari sebuah strategi, yang melemahkan pemerintah Libya dan citranya, serta menjadi upaya mengubur legitimitas pemerintah. Luas negara Libya hampir 1,8 juta meter persegi, sedangkan kepadatan penduduk hanya 3,3 per kilometer kuadrat. Di wilayah yang jarang penduduk, pemerintah tidak terwakili dengan baik. Situasi ini disalahgunakan para ekstrimis. Perhitungan mereka mudah. Serangan atas warisan budaya seperti tempat suci Sufi, yang penting secara emosional bagi mayoritas rakyat Libya, membuat pemerintah tampak lemah.

Mord an Botschafter J. Christopher Stevens in Libyen
Duta Besar AS Christopher Stevens yang terbunuh di LibyaFoto: AP
Zerstörung Mausoleum Libyen
Warga berkumpul setelah terjadinya perusakan makam bersejarah di dekat pusat kota Tripoli (26/08/2012)Foto: Mahmud Turkia/AFP/GettyImages

Semakin sering serangan seperti itu terjadi, semakin kuat kesan bahwa pemerintah tidak mampu menegakkan hukum dan undang-undang. Demikian dijelaskan Mustafa Fetouri. "Itu akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Sehingga mereka membentuk milisi sendiri." Jika kepercayaan rakyat kepada negara sudah goyah, itu bisa berdampak pada hasil pemilihan umum berikutnya. Seruan akan adanya orang kuat yang memimpin rakyat mungkin akan semakin keras. Orang kuat itu kemungkinan punya peluang besar untuk menang, jika ia memiliki pandangan ekstrimis. Sampai itu terjadi, upaya rakyat untuk membela kepentingan mereka dengan kekerasan akan semakin memperlemah pemerintah.