1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Penjara di Indonesia, Sudahkah Efektif?

9 April 2018

Seberapa efektif penjara sebagai sarana perbaikan? Feby Indirani menyelami langsung kehidupan di penjara Indonesia yang rata-rata kelebihan kapasitas sehingga tidak lagi manusiawi.

https://p.dw.com/p/2vdpN
Indonesien Todesstrafe Gefängnis
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur

Ketika saya rutin keluar-masuk penjara di semester kedua 2016,  orang-orang dekat saya was-was dan berkali-kali mengingatkan saya untuk waspada. Secara umum mereka lebih cemas daripada saya sendiri, tapi sesekali rasa khawatir tak urung melintas.

Seperti hari itu ketika saya hanya ditemani seorang petugas melewati lapangan yang sangat ramai karena sedang ada pertandingan olahraga. Sempat tercetus pikiran yang merindingkan bulu kuduk. Saya berada di dalam penjara yang kelebihan kapasitas, dikelilingi ratusan lelaki yang menyandang status narapidana (napi). Kalau tiba-tiba terjadi kerusuhan seperti yang kerap diberitakan di media, bagaimana nasib saya?

Feby Indirani menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)
Feby Indirani adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi.Foto: Feby Indirani

Di lain kesempatan, saya mendapat izin untuk beberapa menit saja melihat situasi sel di salah satu lapas terpadat di Jawa. Ada sekitar 600 orang menghuni blok tersebut sedangkan saya didampingi oleh dua orang petugas, dan satu petugas yang sedang berjaga di dalam blok—jelas bukan jumlah yang sepadan. Saya merasakan begitu banyak tatapan yang tertuju pada saya, seperti lampu sorot. Muka saya pun menghangat.

Kembali terlintas pikiran itu, jika sampai terjadi sesuatu, habislah saya. 

Syukurlah, selama saya meliput—baik penjara laki-laki maupun wanita--situasi selalu aman terkendali. Memang tak terhindarkan jika sebagai orang luar, saya menjadi sasaran perhatian dan sapaan-sapaan dari para napi pria. Ada saja misalnya napi pria yang tiba-tiba bernyanyi atau bersiul seolah ingin mengundang perhatian saya yang kebetulan lewat.

"Senang banget dengar Mbak ketawa,” ujar seorang napi pria berusia 30-an di bengkel kerja lembaga pemasyarakatan (lapas) kelas I Tangerang, di sela proses wawancara santai kami. "Sudah lama banget nggak dengar suara cewek,” sambungnya.

Kesempatan liputan di puluhan lapas di berbagai wilayah di Indonesia itu saya peroleh karena mengerjakan tulisan untuk Second Chance Foundation yang didirikan Evy Amir Syamsuddin, satu dari sedikit lembaga non pemerintah yang memberikan perhatian khusus pada narapidana dan memiliki visi memajukan mereka.

"Sudah banyak organisasi sosial yang mengurus berbagai kelompok yang kurang beruntung, tapi jarang yang memperhatikan masalah napi. Rata-rata orang lebih ingin menghukum atau mengabaikan mereka,” kata Evy, yang mulai konsisten memperhatikan isu napi sejak mendampingi Amir Syamsuddin sebagai Menteri Hukum dan HAM di Kabinet Indonesia Bersatu II (2011-2014) lalu memutuskan melanjutkan misinya dengan mendirikan yayasan.  

Itu benar. Jauh lebih mudah bagi orang tergerak membantu anak yatim, penyandang difabel, ataupun penderita sakit. Tapi narapidana? Bukankah mereka masuk penjara karena kesalahan sendiri? Bukankah ada orang ‘baik-baik' yang sudah jadi korban dari kejahatan mereka?

Lanjut ke halaman 2

Lalu untuk apa lagi mereka dikasihani ?

Ada kecenderungan masyarakat kita untuk menghukum si tertuduh tanpa ampun. Ketika ada masalah yang terjadi, apapun sifat dan jenis dari kasusnya, warga sepertinya tidak puas kalau orang tersebut belum sampai dijebloskan ke dalam penjara dan dihukum seberat-beratnya. (Tentu itu masih lebih baik dibandingkan main hakim sendiri yang juga masih terjadi.) Di sisi lain, isu kelebihan kapasitas selalu menjadi persoalan utama penjara-penjara di Indonesia.

Per Agustus 2016 ketika saya datang ke Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta, penghuninya sudah tiga kali lipat dari kapasitas sesungguhnya. Andai ia sebuah kapal laut, sudah pasti akan tenggelam. Kapasitas untuk 984 orang harus ditempati 2838 orang.  Ruang sel yang sewajarnya berisi 3 orang terpaksa ditempati 7 orang. Sel 5 orang dipaksakan untuk ditempati 13 orang dan sel 7 orang harus ditempati 21 orang.

Tinggal lama di dalam  penjara yang begitu padat, berdesakan dan berebut oksigen, sudah pasti menimbulkan tekanan tersendiri. Tak heran kerap kita dengar berita rusuh, tawuran, sampai napi yang kabur.

Kehidupan Penjara

Suasana pengaturan ruang di dalam penjara sehari-hari saya rasakan mirip dengan sekolah asrama—rata-rata memiliki aula, lapangan, ruang-ruang kerja petugas dan bengkel kerja. Blok kamar huni tempat tinggal napi berada di bagian belakang. Sejumlah lapas betul-betul tampak asri dengan taman-taman yang terawat di berbagai sudut. Salah satu amatan saya, lapas yang dipimpin kepala lapas perempuan (apakah itu penjara khusus perempuan ataupun campur) kelihatan lebih teratur, indah, dan tertib dibandingkan lapas yang dipimpin lelaki.

Begitu pula dengan rutinitas para napi. Setiap pagi para napi memiliki jadwal beraktivitas sesuai tugas masing-masing. Ada yang bertugas membersihkan lingkungan, merawat kebun, mengerjakan kerajinan tangan, sampai membantu petugas untuk urusan administrasi sederhana dan menerima keluarga yang berkunjung—yang terakhir ini disebut dengan tamping atau tahanan pendamping. Mereka adalah  napi yang berkelakuan baik dan sudah memasuki masa asimilasi.  Jika sedang ada kegiatan yang mereka persiapkan seperti pertunjukan kesenian untuk peringatan hari-hari penting, akan ada waktu dalam sehari yang napi sisihkan untuk berlatih. Belum lagi jadwal untuk melaksanakan kegiatan ritual sosial dari masing-masing agama, misalnya pengajian untuk yang Muslim dan berdoa bersama bagi yang Kristen.  

Petugas sedapat mungkin selalu memastikan napi keluar dari selnya dan berkegiatan. Meski ada saja napi yang bandel dan sulit diatur. Pernah saya tanyakan ke beberapa petugas tentang bagaimana mereka menangani napi yang jumlahnya jauh lebih banyak. Jawaban yang saya dapatkan rata-rata sama, pendekatan kekeluargaan akan lebih manjur. "Kita perlakukan secara manusiawi, sebagai teman, saudara yang memiliki kebaikan dalam diri mereka. Itu kuncinya,” ujar seorang petugas.

Sebagai contoh, rasio penjagaan di Rutan Salemba 1:161 orang sedangkan Lapas Banjarmasin 1:450 (data Institute for Criminal Justice Reform 2014).  Jika sampai terjadi seluruh napi berkomplot untuk berontak, tak akan mungkin mampu dibendung oleh para petugas. Namun itu tidak pernah terjadi, dan kalaupun ada kerusuhan sesungguhnya hanyah dilakukan sekelompok kecil napi saja. 

Sejak era 1970-an, pemerintah tidak lagi menggunakan kata penjara melainkan lapas. Istilah narapidana secara resmi juga sudah tidak digunakan lagi diganti menjadi warga binaan pemasyarakatan atau WBP.  Saya perhatikan di semua penjara yang saya datangi, ada pemandangan yang biasa terjadi, yaitu jika petugas lewat,  napi di sekitarnya akan bergantian mencium tangan mereka seperti perilaku anak-anak terhadap guru atau orang tua mereka.

Secara umum program pembinaan terbagi ke dalam dua kategori yaitu kepribadian dan kemandirian. Kepribadian adalah pembinaan untuk bidang spiritual, pendidikan termasuk di dalamnya kesenian seperti musik, teater dan sebagainya, sedangkan program kemandirian adalah kegiatan di bengkel kerja produktif. 

Bengkel kerja memang ditujukan agar warga binaan menggunakan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat sesuai minat dan bakat mereka.  Sayangnya tidak semua warga binaan bisa masuk ke bengkel kerja ini. Di lapas Kelas I Cipinang, bengkel kerja hanya bisa menampung 300 orang. 

Jika produk yang mereka hasilkan terjual, mereka juga akan mendapatkan sedikit upah.  Upah itu dicatat di buku simpanan, karena napi sebetulnya tidak boleh memegang uang tunai. Mereka biasanya bisa memegang semacam kupon yang bisa digunakan sebagai alat tukar di dalam lapas. Sebagian napi berusaha menabung upah yang mereka terima untuk diberikan kepada keluarga mereka, namun lebih sering terjadi upah itu terpakai saja untuk biaya hidup sehari-hari penjara. 

Lanjut ke halaman 3

Kembali ke halaman 1

 

Kok begitu? Saya tadinya mengira seluruh biaya hidup di penjara itu gratis

Para napi memang mendapatkan jatah makan, tapi amat minim. Di salah satu lapas yang saya datangi misalnya jatah makan itu adalah Rp 8900 untuk tiga kali makan. Berdasarkan cerita-cerita para napi, rata-rata makanannya begitu sulit ditelan.

"Yah kalau nggak terlalu keras, atau tidak ada rasanya. Pernah ada masakan daging, tapi keras kayak karet, saya kasih ke kucing juga pada nggak mau,” ujar seorang napi. Dari sekian banyak lapas, yang kualitas makanannya dipujikan oleh napi mereka hanya LP Wanita Malang.

Tapi di setiap lapas rata-rata ada divisi memasak yang dikelola para napi dan bisa menerima pesanan. Biasanya juga ada kantin dan warung kebutuhan sehari-hari. Uang para napi ini—jika ada—biasanya habis untuk jajan dan belanja di dalam penjara.

"Biasanya sih, kalau kita rajin ada aja kok cara untuk dapat uang,” ujar seorang napi perempuan.

Di dalam penjara, sama saja dengan di luar, lapisan berdasarkan kelas sosial pun terbentuk. Napi yang beruntung masih dijenguk keluarganya akan mendapatkan bekal uang yang berhasil mereka sembunyikan dari petugas. Napi yang kurang beruntung dapat bekerja untuk mereka, dari mulai memijat hingga mencucikan baju, dan mendapatkan cipratan uang ataupun makanan enak yang dibawakan keluarga si beruntung.  

Tapi seberuntung-beruntungnya berada di dalam penjara, tetap saja tidak enak

Kita yang berada di luar penjara sering membaca berita tentang sel mewah ataupun narapidana yang mendapatkan keistimewaan karena para petugas bisa disogok. Saya memang tidak bisa memastikan bahwa semua itu tidak ada.  Tapi yang ingin saya katakan adalah bagaimanapun persentasi yang paling besar adalah napi yang hidup dengan segala keterbatasan, berebut oksigen dan ruang tinggal dengan situasi lapas yang sesak. Banyak napi yang sudah tidak kebagian sel tidur di aula yang disulap menjadi barak dengan menggelar kasur, seperti suasana darurat pengungsian.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai sistem peradilan pidana Indonesia cenderung kaku, sehingga kasus sekecil apa pun biasanya akan dilanjutkan prosesnya sampai dengan ditahan bahkan dipenjara.

Saya pernah bertemu dengan seorang ibu tunggal berusia 50-an yang adalah seorang pengelola rumah kos khusus perempuan di Jakarta. Seorang ibu yang Anda mungkin akan heran melihatnya berada di dalam penjara, karena tak mungkin rasanya orang seperti itu bisa berbuat kejahatan.

Baca juga:

Eks Wartawan Perang Divonis 7 Bulan Penjara di Bali Karena Narkoba

Buwas Ingin Penjara Narkoba Dijaga Hantu

Menurutnya, ia masuk penjara karena kelalaiannya membolehkan seorang penghuni kos ‘meminjam' rekening banknya untuk menerima uang. Ternyata di kemudian hari, si penghuni kos ini tertangkap di Kalimantan sebagai pekerja seks komersial. Polisi mengusut latar belakangnya sampai mata rantai penyelidikan akhirnya membawa kepada ibu kos tersebut, yang kemudian dianggap terlibat perdagangan perempuan karena rekeningnya beberapa kali dipakai menerima hasil transaksi.

"Saya berani sumpah, saya tidak tahu apa-apa. Hanya niat membantu saja,” ujar si ibu kepada saya sambil menangis berderai-derai. Ia divonis tujuh tahun penjara.  Saya hanya berupaya mengendalikan diri agar tidak ikut menangis bersamanya.

Apa yang dikatakannya boleh jadi bohong, dan saya memang tak bakat jadi penyidik karena terlalu mudah percaya. Namun saya menemukan begitu banyak orang di penjara yang serupa dengan ibu ini; mereka orang-orang biasa yang pernah melakukan kelalaian dan kekeliruan. Tapi apakah memang apapun kesalahannya, haruslah penjara yang menjadi solusinya?

Lanjut ke halaman 4

Kembali ke halaman 2

Lapas kelebihan penghuni

Data sampai dengan Juni 2017, Kapasitas Rutan dan Lapas di Indonesia adalah 122. 204 orang, dengan kapasitas itu, jumlah penghuninya mencapai 225.835 orang atau terdapat kelebihan beban penghuni sejumlah 185%.  

Dengan pendekatan penjara sebagai kebijakan pemidanaan yang kerap digunakan pemerintah, sampai kapanpun isu kelebihan kapasitas penjara tidak akan pernah teratasi. Seluruh masalah yang kronis di lapas : mulai dari tawuran, peredaran narkoba, petugas korup, dan sebagainya akan selalu terjadi, karena rasio petugas dan fasilitas lapas tidak sebanding dengan jumlah napi yang selalu bertambah.

Di beberapa berita media daring tentang kelebihan kapasitas penjara, saya pernah membaca komentar-komentar netizen yang sadis seperti : makanya tembak saja tuh semua napi, hanya memenuhi penjara dan menghabiskan uang negara saja.  Komentar serupa sebetulnya sering pula kita dengar dari percakapan sehari-hari. Hasrat mendendam dan menghukum yang mengerikan. Sepertinya tidak banyak orang yang mau berbesar hati untuk memberikan kesempatan kedua. 

Pemerintah mau tidak mau harus mulai memikirkan alternatif kebijakan pemidanaan. Saat ini hampir tidak ada fasilitas korektif lain yang dikembangkan pemerintah, seperti kerja sosial dan rehabilitasi. Lapas seolah dirancang untuk menjadi tempat akhir menampung beban peradilan, bukan sebagai lembaga yang mempersiapkan para napi untuk kembali ke masyarakat.
 

Penulis: Feby Indirani (ap/vlz) adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)

@FebyIndirani

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.