1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lebaran, Mudik, dan Silaturahmi Nasional

4 Juli 2016

Di Indonesia, Lebaran menjadi perayaan lintas tradisi dan agama. Lebaran jadi semacam pemersatu manusia dari berbagai etnis, suku, dan bahasa. Berikut refleksi Sumanto al Qurtuby di hari Idul Fitri.

https://p.dw.com/p/1JIUq
Indonesien Islam Anhänger von Muhammadiyah in Jogjakarta
Foto: SUDIARNO/AFP/Getty Images

Tidak seperti negara-negara lain yang juga mayoritas berpenduduk Muslim, Indonesia mempunyai tradisi tahunan unik dalam merayakan hari raya Idul Fitri atau, dalam dalam Bahasa Indonesia, Lebaran. Kata “Lebaran” ini berasal dari Bahasa Jawa “lebar” yang artinya selesai, maksudnya selesai menjalankan ibadah puasa Ramadan.

Di Indonesia, Lebaran bukan hanya semata-mata hari libur umat Islam tetapi juga hari raya bagi umat semua agama. Sebagaimana kaum Muslim, mereka dari agama non Islam juga turut merayakan Lebaran dengan suka-cita.

Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Lebaran itu adalah sebuah “festival kultural nasional” bukan hanya tradisi agama kaum Muslim saja.

Lebaran juga bisa disebut sebagai semacam simbol simbiose agama-budaya yang mampu menjadi pemersatu manusia dari berbagai etnis, suku, dan bahasa.

Meminjam istilah antropolog Belanda Arnold van Gennep, dalam buku klasiknya The Rites of Passage, Lebaran bisa dimaknai sebagai sebuah “fase liminal rites de passage” dimana Muslim dan non-Muslim merayakan hari raya ini secara bersama-sama tanpa adanya segregasi agama dan sekat budaya.

Batas-batas budaya lebur. Batas-batas agama lumer. Aturan-aturan kaku menjadi lentur. Mereka membaur menjadi satu saling mengunjungi dan bersilaturahmi, saling meminta maaf, saling mengucapkan “salam Idul Fitri,” yakni minal aidin wal faizin (meskipun kadang-ladang tidak jelas pelafalannya), saling berbagi makanan, dan seterusnya. Indah sekali. Inilah yang oleh Arnold van Gennep dan Victor Turner disebut “tahapan liminal” tadi.

Setiap tahun, saat menjelang lebaran, jutaan warga Indonesia dari berbagai latar belakang profesi, agama, dan etnik—baik yang tinggal di kota-kota di Indonesia atau bahkan di manca negara, baik yang puasa maupun yang tidak puasa—selalu atau sering menyempatkan diri untuk “mudik”, sebuah “ritual tahunan” pulang ke kampung halaman (homecoming) untuk bersilaturahmi dengan orang tua, keluarga, teman lawas, dan tetangga.

Menjalin hubungan kekerabatan

Kata “silaturahmi” (atau kadang-kadang disebut juga “silaturahim”) berakar dari Bahasa Arab, yaitu “shilah” yang berarti hubungan dan “rahim” yang berarti “kerabat” atau “kasih-sayang”. Jadi kata “silaturahmi” atau “silaturahim” bisa dimaknai sebagai hubungan kekerabatan atas dasar kasih-sayang. Dalam perkembangannya, kata silaturahmi bukan hanya dipakai dalam konteks antar-keluarga dekat sesama famili tetapi juga dengan “keluarga jauh” sesama warga negara dan umat beragama.

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Dengan kata lain, silaturahmi ini bukan hanya berskala lokal tetapi sudah menasional. Salah satu makna penting dari ajaran atau tradisi silaturahmi ini adalah sebagai “mekanisme rekonsiliasi” yang sangat efektif bagi upaya penyelesaian berbagai kekhilafan, perselisihan, ketegangan, atau konflik—baik antar anggota keluarga atau masyarakat—yang terjadi di masa silam. Silaturahmi juga bisa dijadikan sebagai sarana relasi sosial untuk memecahkan perbagai kebuntuan dan problem ruwet di dalam keluarga maupun masyarakat secara umum.

Selain silaturahmi, mudik pada saat Lebaran juga dalam rangka untuk ziarah ke makam orang-orang terdekat yang sudah wafat. Ziarah kubur adalah salah satu bagian integral dari corak keislaman dan keagamaan masyarakat Indonesia yang sulit untuk dihilangkan karena sudah menjadi tradisi dan budaya warisan turun-temurun ratusan tahun. Karena itu meskipun ada sejumlah kelompok Islam reformis-Salafi-Wahabi yang mengkafir-sesatkan atau mem-bidahkan ziarah kubur, kaum Muslim di Indonesia jalan terus mempraktekkan tradisi agama ini.

Ritual mudik

Bagi sebagian besar kaum Muslim di Indonesia, makna lebaran bahkan jauh lebih penting ketimbang puasa itu sendiri. Banyak umat Islam di Indonesia, khususnya “kaum abangan” dan “wong nasional” (bukan “kaum putihan” dan santri), yang tidak puasa selama bulan Ramadan atau mereka puasa hanya pada hari-hari pertama saja. Selebihnya absen.

Tetapi mereka akan mengupayakan sekuat tenaga untuk mudik merayakan “ritual tahunan”: Lebaran dan salat Idul Fitri. Meskipun mereka kadang tidak pernah salat sama sekali tetapi untuk sembahyang Idul Fitri mereka akan mengupayakannya sekuat tenaga karena ada keyakinan bahwa dengan melakukan “salat istimewa” ini, dosa-dosa dan aneka “pelanggaran ibadah” yang mereka perbuat selama setahun akan diampuni oleh Tuhan.

Tujuan mendasar atau “makna utama” dari tradisi Lebaran ini adalah silaturahmi sekaligus permintaan maaf dan pengampunan kepada sesama manusia biasanya dimulai dari mereka yang statusnya “lebih rendah” dengan mereka yang “lebih tinggi” seperti anak kepada orang tua, buruh kepada majikan, yang muda kepada yang tua, anak buah kepada bos, dan seterusnya. Inilah yang disebut dengan halal bihalal yang menjadi inti atau ruh dari Lebaran, yakni sebuah pernyataan saling meminta maaf satu sama lainnya yang diterjemahkan dalam konteks bahasa lokal menjadi “Mohon maaf lahir dan batin.” Kadang-kadang disambung dengan kalimat “Minal aidin wal faizin”.

Ritual mohon maaf

Penting untuk dicatat bahwa “ritual tahunan permintaan maaf” ini, lagi-lagi, bukan hanya diucapkan oleh sesama Muslim saja tetapi juga berlaku untuk non-Muslim. Setiap tahun, saya juga mendapat ucapan “Mohon maaf lahir-batin, minal aidin wal faizin” ini dari berbagai teman—baik “teman nyata” maupun “teman maya” di internet.

Ketika mengomentari tentang tradisi Lebaran, mendiang antropolog Amerika, Clifford Geertz (1926–2006), dalam buku The Religion of Java yang sangat populer itu, menulis dengan cermat: “In a broad, diffuse and very general way, it [Lebaran] stresses the commonalities among all Indonesians, stresses tolerance concerning their differences [and] stresses their oneness as a nation. It is, in fact, the most truly nationalist of their rituals, and, as such, it indicates the reality and the attainability of what is now the explicit ideal of all Indonesians — cultural unity and continuing social progress.”

Meskipun observasi Clifford Geertz itu dilakukan pada tahun 1950-an ketika ia sedang meneliti tentang agama dan perubahan sosial di masyarakat Jawa, komentarnya dalam banyak hal masih valid hingga kini.

Melihat karakter, kualitas, dan “fungsi sosial” Lebaran ini yang mampu menjadi “perekat budaya”, maka bukanlah mengada-ada jika tradisi tahunan ini sebetulnya bisa dijadikan sebagai medium kultural untuk menggapai integrasi sosial, toleransi agama, persaudaraan antaragama, atau bahkan rekonsiliasi nasional sehingga hubungan antaragama dan antarkelompok yang kadang diwarnai ketegangan, konflik, dan kekerasan itu bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan dari bumi pertiwi Indonesia.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby

Visiting Senior Research Fellow, Middle East Institute, National University of Singapore, dan Staf Pengajar di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.