1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Lapas Kelebihan Kapasitas, Sampai Kapan?

Feby Indirani, indonesische Autorin
Feby Indirani
25 September 2021

Rata-rata kelebihan penghuni lapas dan rutan mencapai 102 persen, bahkan untuk Lapas Kelas I A Tangerang hingga 245 persen dan berujung tragedi. Apa perlu peninjauan kembali pemidanaan pada kasus-kasus tertentu?

https://p.dw.com/p/40q2T
Penjara di Tangerang yang mengalami kebakaran
Kebakaran terjadi di Lapas Tangerang awal September laluFoto: ANTARA/REUTERS

Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I A Tangerang pada 8 September 2021 yang menewaskan 49 narapidana (napi) kembali memicu wacana publik tentang persoalan lawas yang belum kunjung teratasi, yaitu lapas dan rumah tahanan (rutan) yang kelebihan kapasitas. Rata-rata kelebihan penghuni lapas dan rutan mencapai 102 persen, bahkan untuk Lapas Kelas I A Tangerang hingga 245 persen. Di masa pandemi Covid-19, Kementerian Hukum dan HAM RI telah membebaskan lebih dari 38 ribu napi (per April 2020), suatu kebijakan yang juga dilakukan negara lain seperti Jerman, Turki dan Iran. Namun butuh perubahan kebijakan yang jauh lebih mendasar untuk mengatasi persoalan kelebihan kapasitas ini. 

Saat ini ada lebih dari 253 ribu napi di lapas dan rutan seluruh Indonesia (per Februari 2021) dan lebih dari 60 persen napi divonis karena kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan (narkoba), dan hampir separuh dari mereka ‘hanyalah' pengguna. Meskipun putusan rehabilitasi dapat dilakukan sebagaimana yang tercantum pada UU No 35 tahun 1999 tentang Narkotika, penegak hukum ternyata lebih sering memilih me'lapas'kan pengguna. Ada semacam kekhawatiran yang membayangi penegak hukum, yaitu terkena stigma bahwa putusan rehab biasanya melibatkan ‘fulus.' Apalagi pemerintahan Presiden Joko Widodo juga secara tegas menyerukan komitmen untuk perang melawan narkoba, antara lain dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menetapkan bahwa narapidana narkotika dengan hukuman lima tahun penjara ke atas tidak memiliki hak mendapat remisi.  

​​​​Feby Indirani, penulis fiksi dan nonfiksi. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Jerman dan Jepang.
Penulis: Feby IndiraniFoto: Feby Indirani

Selama menjadi co-writer untuk Ibu Evy Amir Syamsudin pendiri Second Chance Foundation -LSM yang berfokus meningkatkan kualitas hidup warga binaan pemasyarakatan, saya berkesempatan melakukan penelitian di 20 lapas. (Tulisan ini adalah pendapat saya pribadi). Dari pengamatan dan wawancara itu, saya berkesimpulan bahwa pendekatan pemerintah mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dengan mengkriminalisasi pengguna selama ini terbukti tak efektif, karena jumlah kasus narkoba terus meningkat, plus menimbulkan masalah kelebihan kapasitas. PP 99 tahun 2012 pun malah membuat jarak kian timpang antara jumlah masuk napi narkoba dengan arus keluarnya.

Saya telah berinteraksi dengan ratusan napi dengan beragam latar kasus, dan jumlah terbanyak tentunya napi narkoba. Para napi narkoba ini berasal dari beragam latar profesi, mahasiswa, musisi, pelukis, koki, dan sebagainya. Bagi para pengguna, alasan mereka biasanya terentang antara tujuan pengobatan—termasuk menangani stres dan depresi-- hingga kegiatan rekreasi. Rata-rata dari mereka sopan dan cerdas, jauh dari stereotip pemadat yang serampangan, doyan ‘teler' dan gemar bikin onar. Tak jarang dari mereka bercerita menjadi korban praktik ‘tukar kepala' yaitu dijebak oleh bandar mereka sendiri hingga tertangkap oleh polisi, yang sebetulnya mengincar si bandar.

Di lapas, pergaulan napi biasanya terbagi dua, napi narkoba dan napi kriminal biasa. Napi narkobacenderung tak mau berteman dengan pelaku kriminal yang mereka anggap menyakiti orang lain secara langsung seperti membunuh dan merampok. Namun kerap terjadi pergaulan di lapas membuat pengguna malah berkenalan lebih jauh dengan jejaring perdagangan dan distribusi narkoba. Misalnya terjadi pada Pras, seorang napi di Lapas Pemuda Kelas II A Tangerang bercerita sudah dua kali masuk bui, pertama kali sebagai pengguna, kedua kalinya karena tergoda ikut berbisnis narkoba yang cepat sekali mendatangkan uang yang dibutuhkannya, antara lain untuk biaya kemoterapi ibunya. 

Kelebihan kapasitas lapas membuat program pembinaan di dalam lapas tak efektif, karena fasilitas dan jumlah petugas yang sangat terbatas. Kebanyakan napi tak bisa ikut berkarya di bengkel kerja yang rata-rata hanya cukup untuk kegiatan 50-70 orang. Hanya napi-napi yang dianggap berbakat saja yang biasanya mendapat banyak kesempatan mengembangkan diri, itupun jenis kegiatannya masih terbatas. Pihak ketiga seperti Second Chance Foundation yang berkomitmen memberikan pelatihan kerja, memasarkan dan menampilkan karya-karya napi masih terlalu sedikit jumlahnya.

Puluhan ribu sumber daya manusia Indonesia dalam usia produktif mendekam di dalam lapas dan rutan selama bertahun-tahun, suatu hukuman yang akan membekas panjang, plus stigma buruk yang melekat pada mereka mungkin untuk selamanya. Padahal para pengguna barangkali lebih baik mendapatkan terapi di sarana rehabilitasi, ketimbang di lapas yang kadang malah jadi mirip ‘sekolah kejahatan.'

Dukungan alternatif selain penjara

Sistem penjara modern lahir pada abad 18 di London, UK melalui konsep yang dirancang filsuf Jeremy Bentham. Gagasan dasarnya adalah menempatkan napi pada suatu sistem dan arsitektur yang selalu dapat mengawasi perilaku mereka tanpa mereka sadar apakah mereka sedang diawasi atau tidak.Desain ini dikenal sebagai Panopticon, artinya melihat segalanya yang diwujudkan dalam bangunan berbentuk melingkar. Bentuk ini memungkinkan penjaga mengamati napi dari satu titik tempat, tanpa napi mengetahuinya. Karena berada di dalam lingkungan yang terkontrol dan bisa dipantau kapan saja, diharapkan napi menginternalisasi perasaan ‘selalu diawasi' itu dan didorong untuk mengatur perilakunya sendiri. Di masanya, konsep ini merupakan suatu terobosan dan alternatif paling beradab, dibandingkan berbagai hukuman yang pernah ada dalam sejarah manusia, seperti penyiksaan, kerja paksa, dan hukuman mati dengan beragam cara kejam. Bentham merancang sistem pengawasan serupa untuk sekolah, rumah sakit, dan rumah sakit jiwa. 

Maju cepat ke abad 20, di Indonesia pada 1964, Dr Saharjo memperkenalkan konsep ‘pemasyarakatan' dalam hukum nasional untuk menggeser konsep ‘penjara' peninggalan zaman kolonial Belanda dan Jepang yang menerapkan tindakan-tindakan eksploitatif, seperti merantai napi, kerja paksa, dan mempertontonkan napi ke publik (tidak menghargai hak pribadi). Konsep ini disimbolkan dengan pohon beringin yang melambangkan pengayoman dan pengembalian integritas hidup-kehidupan-penghidupan napi melalui proses pembinaan di lapas. Istilah ‘napi' pun diganti dengan warga binaan pemasyarakatan (WBP).

Sejauh pengamatan saya, semangat pembinaan pemasyarakatan ini terasa kental mulai dari tata letak bangunan, kegiatan keseharian, dan pola interaksi petugas dan WBP. Kecuali kondisi sel, sebetulnya tata letak dan suasana kegiatan di lapas tak ubahnya seperti sekolah asrama/pesantren. Rata-rata petugas memperlakukan WBP seperti ‘siswa' yang ditertibkan, diatur jadwal hidup dan didisiplinkan. Para WBP kerap terlihat mencium tangan para petugas, apalagi mereka yang senior dan berjabatan tinggi, untuk menunjukkan rasa hormat, persis seperti kita lihat di sekolah-sekolah.

Namun di abad 21, dengan perkembangan situasi terkini, penting bagi kita meninjau kembali mekanisme berbagai pemidanaan alternatif selain penahanan, sehingga penahanan justru menjadi pilihan terakhir yang ditetapkan kepada pelaku kriminal berat saja. Untuk itu, kita mesti melakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan menjadi dasar acuan segala putusan penegak hukum. Berbagai alternatif pemidanaan nonpenjara, antara lain adalah kerja sosial, denda dengan mengangsur, kewajiban rehab dan terapi, dan masih banyak lagi. Aliansi Nasional Reformasi KUHP bahkan telah menawarkan 20 bentuk pemidanaan nonpemenjaraan sebagai alternatif dalam draf RKUHP.

Selain percepatan Revisi KUHP, diperlukan pula percepatan revisi UU Nomor 35 tahun 1999 atau UU Narkotika. Salah satunya adalah revisi pasal 127 UU Narkotika yang jelas mencantumkan bahwa pecandu narkotika berhak mendapat rehabilitasi baik medis maupun sosial, namun lemah pada penerapannya, karena masih bersifat ‘dapat dilakukan' dan bukan ‘wajib dilakukan.' Saat ini setidaknya ada lebih dari 50 ribu pengguna yang ditahan, dan bertambah terus setiap tahunnya. Ketika pengguna tidak lagi mengalami pemidanaan penahanan, jumlah hunian lapas bisa diperkirakan menurun drastis. Lebih dari itu, pewajiban putusan rehab bagi pengguna akan mengubah paradigma mendasar dalam mengatasi persoalan narkoba melalui pengembangan pusat-pusat rehabilitasi.  

Hal yang paling menantang sekaligus paling penting dalam proses revisi UU Narkotika adalah peluang meninjau kembali penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan terbatas, atau legalisasi ganja. Kita ingat pada 2017, Fidelis Arie, warga Sanggau, Kalimantan Barat dipidanakan karena menggunakan ekstrak ganja untuk pengobatan istrinya Yeni Riawati yang mengidap penyakit langka. Padahal Yeni menunjukkan perbaikan kondisi secara signifikan dengan pengobatan tersebut, tapi setelah suaminya ditahan dan ekstrak ganja dimusnahkan, kondisinya kembali memburuk hingga wafat.

Pada 21 April 2021, tiga ibu asal Yogyakarta, Jawa Tengah, Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti, mengajukan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi terkait pasal pelarangan narkotika golongan I tentang ganja untuk pengobatan. Mereka memperjuangkan pengobatan untuk anak mereka yang berpenyakit cerebral palsy (kelumpuhan otak). Putra dari Dwi sebetulnya wafat pada usia 16 tahun beberapa bulan sebelumnya, namun tak menghentikan langkah perjuangannya untuk mewujudkan misi tersebut. Dwi sebelumnya tinggal di Australia, dan bisa menerapi anaknya dengan ganja dan terbukti menunjukkan perkembangan positif. Namun ketika kembali ke Indonesia, terapi mesti berhenti karena ia bisa dipidanakan.

Berbagai hasil riset dan cerita pengalaman yang memperlihatkan bahwa ganja berpotensi mengobati beragam masalah kesehatan bisa menjadi suatu daftar panjang. Sejak akhir 2020, World Health Organization (WHO) pun telah menghapus ganja dari daftar obat-obatan terlarang. Namun apakah pemerintah dan DPR mampu merevisi UU Narkotika, dan membuat pengecualian untuk tanaman, dengan berbagai pengaturan ketat penggunaan? Ini yang masih menjadi pertanyaan besar, juga jalan yang terjal.

Jadi sampai kapan isu lapas kelebihan kapasitas ini akan terus terjadi?

Mungkin masih suatu utopia, tapi saya ingin bertaruh, jika revisi KUHP dan revisi UU Narkotika dapat terwujud sesuai harapan, hunian kapasitas lapas dijamin akan turun signifikan secara berkala. Lebih dari itu, kita akan menyaksikan reformasi besar dalam sistem hukum nasional dan peradilan kita, yang lebih dekat dengan konsep ‘pengayoman' yang kita impikan. Sistem peradilan yang tak berangkat dari dendam, yang meyakini bahwa manusia pada dasarnya akan selalu cenderung pada kebaikan. ****

 

Feby Indirani, penulis fiksi dan nonfiksi. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Jerman dan Jepang.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.