1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ayam Mati di Lumbung Padi

Andibachtiar Yusuf24 Oktober 2016

Jika Indonesia gemah ripah loh jinawi, mengapa banyak yang terpaksa meninggalkan tanah air tercinta, mencari makan ke negara jiran? Perspektif Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/1K3dR
Reisernte Frauen und Männer arbeiten im Reisfeld Java Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/S.Gätke

“Indonesia itu kan alamnya indah, tanahnya subur, kenapa sih kalian kok malah merantau ke sini?” tanya Yuli Sumpil -- dirigen Aremania, kelompok supporter Arema yang praktis dikenal sangat fanatik di tanah air.

Hari itu kami sedang transit di Kuala Lumpur, baru pulang dari sebuah festival film internasional di Imphal, Manipur, India. Fim dokumenter tentang Yuli yang saya buat, tayang di sana. Tentu saja saya mengajaknya sebagai sosok yang secara tak langsung melambungkan karya saya di negeri orang.

Penulis: Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

Di Kuala Lumpur, para Aremania datang menemui Yuli. Mereka beragam datang dari seluruh penjuru Malaysia. Mulai dari Kuala Trengganu, Malaka sampai Johor, berjam-jam waktu mereka habiskan di jalan, di atas bus, demi bertemu Yuli yang—saya yakin—mereka anggap sebagai pemimpin informal di tribun sepakbola.

Yuli belum pernah keluar negeri, inilah kali pertama ia bepergian mendatangi negeri orang. Pertanyaan tadi ia lontarkan pada rekan-rekan seasal daerah yang menyebut dirinya Aremania Malaya, alias para pendukung Arema yang bermukim di Malaysia.

Kenapa harus merantau?

Saya tak heran pada pertanyaan Yuli. Pasalnya semua buku pelajaran mulai dari kita SD sampai lulus SMA melukiskan betapa indah dan suburnya alam Nusantara yang kini bersatu menjadi Indonesia.

Lalu apa jawab mereka, Aremania Malaya yang tak lain dan tak bukan adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di negeri jiran? “Ah itu kan cuma di buku pelajaran saja, Sam (bahasa walikan Malang untuk “Mas”),” ujar salah satu dari mereka.

Dengan yakin mereka pergi dari tanah kelahirannya, Jawa Timur karena sulitnya masuk lapangan pekerjaan di negeri subur bernama Indonesia itu. Bahkan satu dari mereka sudah meninggalkan kampungnya di Kepanjen, Kabupaten Malang, saat baru lulus SD. Bahasa Indonesia-nya parah. Ia lebih menguasai bahasa Melayu.

Awalnya saya pikir ia sombong. Namun kemudian saya sadar bahwa pria yang saat itu sudah berusia 25 tahun itu memang tak pernah benar-benar melewati fase berbahasa Indonesia yang di banyak daerah di Indonesia baru terjadi saat seseorang sudah duduk di bangku SMP.

Indonesia adalah negeri penuh ironi, tak usahlah jauh-jauh berkisah tentang para imigran di atas. Segala ilmu pengetahuan dan rujukan media selalu menyebut negeri ini sebagai ‘negeri agraris'.

Mengapa tak mau jadi petani atau nelayan?

Faktanya, ada berapa banyak petani yang rela anaknya meneruskan pekerjaannya sebagai petani? Juga sebagai negara dengan lautan terluas, ada berapa banyak nelayan yang dengan sukarela membiarkan anak-anaknya meneruskan pekerjaannya?

Menjadi petani atau nelayan adalah hal terakhir yang mereka pikirkan, bahkan juga kita semua pikirkan. Siapa mau bekerja dengan pendapatan di bawah standar dan untuk itu harus kerja keras bantinmg tulang?

Hal aneh tentu saja, mengingat lautan kita begitu kaya dan di tanah kita lah tumbuhan cabai yang di asalnya di benua Amerika hanya bisa tumbuh 21 macam, di Nusantara bisa menjadi 76 macam.

Lautan kita dan isinya disikat oleh negeri asing. Bukan karena mereka berniat mencuri, tetapi memang banyak dari kekayaan itu sama sekali tidak dimanfaatkan olah warga Indonesia sendiri. Industri maritim kita jauh dari kata ideal apalagi sesuai dan layak dijadikan cita-cita.

Jurkam yang menganggur

Dunia agraria kita pun sebelas-duabelas. Petani penggarap seperti tak punya arti, lepas dari pekerjaan ini adalah keinginan mereka dan satu-satunya cara adalah menyekolahkan putra atau putri mereka ke bidang lain. Lho, mengapa bukan bidang agraria saja? Agar kemampuan ekonomis mereka meningkat. Ah…saya tak yakin para petani percaya pada masa depan di sektor itu- tegasnya, pada pekerjaan yang mereka geluti sendiri setiap hari.

Yuli termenung mendengar jawaban yang baginya sangat mematikan “Ayas (Saya ; pen) kok jadi kayak jurkam ya, bilang Indonesia subur padahal ayas (saya) saja menganggur,” desahnya.

Mereka mendesah tentang situasi kehidupan mereka yang bagai ayam mati di dalam lumbung, saya lalu mengingat di negeri dengan batas pantai terpanjang di muka bumi ini atlet surfing nya bisa dihitung dengan jari. Jadi juara dunia? Ah……itu sih cuma mimpi!

Penulis:

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.