Gegas cara Sekretariat Kabinet menebar foto Presiden Joko Widodo menjajal jalan Trans Papua yang nyaris rampung. Berkendara sepeda motor, dia memimpin rombongan pemerintah melewati jalanan berbatu yang kelak akan membuka Papua bagi dunia.
Jokowi punya segudang dalih menggulirkan proyek pembangunan jalan sepanjang lebih dari 4.000 kilometer yang sebagian besar dikerjakan oleh Tentara Nasional Indonesia. Papua, katanya, "memiliki potensi kekayaan alam yang berlimpah. Potensi besar ini harus betul-betul dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan di tanah Papua."
Namun keterbukaan akses juga memicu keresahan di kalangan masyarakat adat. Karena jalan Trans Papua juga akan membuka akses ke suku-suku paling terpencil yang selama ini jarang bersentuhan dengan pendatang luar. Saat ini pun populasi pendatang sudah mengalahkan jumlah penduduk asli Papua sebanyak 60-40.
Saat ini populasi penduduk di Papua dan Papua Barat mencapai 3,6 juta jiwa. Dari jumlah tersebut hanya 1,7 juta penduduk yang dikategorikan suku asli Papua, sebagian besar merupakan anggota 250 suku terpencil yang hidup di kawasan pegunungan.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Tambang Ilegal di Aikwa
Penambang emas mendulang emas di sungai Aikwa di Timika, Papua. Meski banyak penduduk suku Kamoro yang masih berusaha mencari uang sebagai nelayan, kegiatan penambangan emas merusak dasar sungai yang kemudian memangkas populasi ikan di sungai Aikwa.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Emas Punya Siapa?
Sejumlah penduduk bahkan datang dari jauh untuk menambang emas di sungai Aikwa. Indonesia memproduksi emas yang mendatangkan keuntungan senilai 70 miliar Dollar AS setahun, atau sekitar 900 triliun Rupiah. Tapi hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati penduduk lokal.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Buruh Papua Mencari Kerja
Kebanyakan penduduk asli setempat telah terusir oleh kegiatan perluasan tambang. Saat ini Freeport mengaku memiliki hampir 30.000 pegawai, sekitar 30% berasal dari Papua, sementara 68% dari wilayah lain di Indonesia dan kurang dari 2% adalah warga asing. Berkat tekanan dari Jakarta, Freeport berniat menambah komposisi pekerja Papua menjadi 50%.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Sumber Kemakmuran
Tambang Grasberg adalah sumber emas terbesar di dunia dan cadangan tembaganya tercatat yang terbesar ketiga di dunia. Dari sekitar 238.000 ton mineral yang diolah setiap hari, Freeport memproduksi 1,3% emas, 3,4% perak dan 0,98 persen tembaga. Artinya tambang Grasberg menghasilkan sekitar 300 kilogram emas per hari.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Berjuta Limbah
Grasberg berada di dekat Puncak Jaya, gunung tertinggi di Indonesia. Setiap hari, tambang tersebut membuang sekitar 200.000 ton limbah ke sungai Aikwa. Pembuangan limbah tambah oleh Freeport ujung-ujungnya membuat alur sungai Aikwa menyempit dan dangkal.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Nilai Tak Seberapa
Setiap tahun sebagian kecil dari jutaan gram emas yang ditambang di Grasberg terbuang ke sungai Aikwa dan akhirnya didulang oleh penduduk. Semakin ke hulu, maka semakin besar kemungkinan mendapatkan emas. Rata-rata penambang kecil di Aikwa bisa mendulang satu gram emas per hari, dengan nilai hingga Rp. 500.000.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Simalakama Penambangan Ilegal
Pertambangan rakyat di sungai Aikwa selama ini dihalangi oleh pemerintah. Tahun 2015 silam TNI dan Polri berniat memulangkan 12.000 penambang ilegal. Pemerintah Provinsi Papua bahkan berniat mengosongkan kawasan sungai dengan dalih bahaya longsor. Namun kebijakan tersebut dikritik karena menyebabkan pengangguran dan memicu ketegangan sosial.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Kerusakan Lingkungan
Asosiasi Pertambangan Rakyat Papua sempat mendesak pemerintah untuk melegalisasi dan menyediakan lahan bagi penambangan rakyat di sungai Aikwa. Freeport juga diminta melakukan hal serupa. Ketidakjelasan status hukum berulangkali memicu konflik antara kelompok penambang. Mereka juga ditengarai menggunakan air raksa dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung penduduk setempat
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Persaingan Timpang
Konflik antara penambang antara lain disebabkan persaingan yang timpang. Ketika penduduk lokal masih mengais emas dengan kuali atau wajan, banyak pendatang yang bekerja dengan mesin dan alat berat. Berbeda dengan penambang kecil, penambang berkocek tebal bisa meraup keuntungan hingga 10 juta Rupiah per hari.
-
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Bisnis Gelap di Timika
Pertambangan rakyat di sungai Ajkwa turut menciptakan struktur ekonomi sendiri. Karena banyak pihak yang diuntungkan, termasuk bandar yang menampung hasil dulangan emas penduduk di Timika dan oknum pemerintah lokal yang menyewakan lahan penambangan secara ilegal. Situasi tersebut mempersulit upaya penertiban pertambangan rakyat di Papua. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)
"Warga non Papua yang memahami cara berdagang dan membangun usaha akan mulai menetap di kawasan pedalaman," kata Koordinator Jaringan Papua Damai Neles Tebay kepada Asia Times. "Suku asli Papua harus dipersiapkan untuk itu, jika tidak mereka akan melihatnya sebagai ancaman."
Tebay mengkhawatirkan suku asli hanya akan menjadi "penonton" gelombang kemajuan dan pembangunan di Papua. "Di banyak area, penduduk lokal hanya bisa menyaksikan giatnya kegiatan ekonomi di desa lain, karena mereka tidak punya akses dan tidak bisa ikut terlibat lantaran tidak punya kemampuan. Mereka terasingkan dari aktivitas ekonomi di kampung sendiri," ujarnya dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Jokowi di Jayapura seperti dilansir JakartaPost.
Kekhawatiran mengenai pembangunan infrastruktur tanpa dibarengi dengan pembangunan kualitas SDM dinilai bisa berujung fatal. Konflik antara penduduk asli dan pendatang luar juga bukan hal asing di Indonesia. "Jika ini terus berlangsung, upaya pemerintah membangun Papua tidak akan membuahkan hasil," pungkas Nales.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
-
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Penulis: rzn/yf (dari berbagai sumber)
rzn/yf (AT, JakartaPost, JPD, Antara, Kompas)