1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kuota Perempuan di Uni Eropa

Daphne Grathwohl25 Oktober 2012

Sebetulnya itu dapat menjadi awal sukses bersejarah. Selasa (23/10) Komisaris UE Reding akan sodorkan rencana kuota perempuan di dewan direksi perusahaan. Tapi sejumlah koleganya memblokir usulan itu.

https://p.dw.com/p/16Whj
young woman sitting at a conference table with two businessmen in the foreground zu: 'Frauen in Führungspositionen und die Kommunikationsprobleme mit Männern' QUelle:picture-alliance / beyond/Annie Engel picture alliance/Beyond
Foto: picture-alliance / beyond/Annie Engel

Justru perempuan-perempuan di Komisi Uni Eropa yang menentang adanya kuota semacam itu. Menurut keterangan informasi dari lingkungan komisi, termasuk diantaranya pejabat tinggi urusan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton (Inggris), Komisaris urusan digital Neelie Kroes (Belanda), Komisaris urusan dalam negeri Uni Eropa Cecilia Malmström (Swedia) dan Komisaris urusan iklim Connie Hedegard (Denmark) yang menentang adanya kuota perempuan tersebut.

Sebaliknya Komisaris urusan mata uang Olli Rehn dan Komisaris urusan perdagangan di Uni Eropa Michel Barnier berada di belakang Viviane Reding. Ia mendesak ditetapkannya peraturan, 40 persen kuota perempuan pada jajaran dewan direksi bagi perusahaan-perusahaan yang tercatat di pasar bursa. Sasaran itu diharap tercapai sampai tahun 2020.

Deutschland EU EU-Kommissarin Viviane Reding
Komisaris Eropa urusan kehakiman, HAM dan hak warga Viviane RedingFoto: picture-alliance/Wiktor Dabkowski

Persepsi Kuota Perempuan Beragam

Selama ini di antara anggota Uni Eropa tidak ada pelaksanaan yang seragam. Di Jerman kuota perempuan diperdebatkan. Di Perancis belum lama ini kuota perempuan diberlakukan. Juga di Italia dan Belanda peraturan semacam itu ada. Sebaliknya di Inggris tidak ada kuota perempuan. Jadi tidak mengherankan jika Inggris termasuk anggota-anggota baru Uni Eropa yang mengumumkan menolak memberikan suaranya untuk kuota perempuan.

Di negara-negara Skandinavia, yang sering disebut-sebut amat mendorong perempuan dalam dunia kerja, tidak terlalu banyak dimiliki pengalaman dalam hal kuota perempuan. Dikatakan anggota parlemen Eropa dari Luksemburg Astrid Lulling. Juga Parlemen Eropa juga harus melakukan pemungutan suara mengenai kuota perempuan tersebut.

Astrid Lulling termasuk mereka yang menentang kuota perempuan. Mengutip hasil studi yang justru membuktikan kegagalan di negara-negara Eropa belahan Utara Astrid Lulling mengatakan: "Sebelum adanya peraturan di Norwegia, terdapat lebih dari 600 perusahaan yang terdaftar di Norwegia, tiga tahun kemudian hanya tinggal sekitar 300. Kebanyakan mengatakan, itu terletak pada kuota."

ILLUSTRATION - Eine Frau steht am 07.12.2010 in Berlin und erklärt eine mittels Beamer an die Wand projezierte Statistik (Silhouette). Foto: Tobias Kleinschmidt dpa/lbn
Simbol perempuan di posisi pimpinanFoto: picture-alliance / Tobias Kleinschmidt

Jika perusahaan yang bisa terdaftar hanya dengan omset minimum tertentu dan dengan jumlah pekerja tertentu yang menjalankan kuota perempuan, maka perusahaan dapat mencoba menghindari persyaratan itu. Lebih sedikit pegawai, lebih sedikit omset, dan tidak masuk ke dalam pasar bursa, kata anggota parlemen dari Luksemburg Lulling.

Perempuan-perempuan Norwegia yang memperoleh jabatan di pasar besar karena kuota, di negara itu disebut rok emas. Dikatakan dengan sinis oleh Astrid Lulling. Di Parlemen Eropa perempuan berusia 83 tahun itu duduk dalam fraksi konservatif EVP. Tokoh politik senior itu menempuh studi ekonomi dan melihat rahasia kesuksesan bukan tergantung kuota.

"Orang mula-mula harus memandang bahwa perempuan mengambil pilihan kerja yang beragam. Mengapa kita tidak memiliki perempuan sebagai gubernur bank sentral di kebanyakan negara? Karena dulu perempuan tidak mengambil kuliah matematika atau ilmu keuangan, ilmu ekonomi atau ekonomi makro. Maka agak sulit untuk mencapai posisi tersebut."

Kuota Perempuan Bisa Disalahgunakan

Selain itu Astrid Lulling punya pertimbangan besar terhadap kuota perempuan, karena itu bisa disalah gunakan. Kuota itu bisa diinstrumentalisir untuk mengambil perempuan ke suatu posisi, jika salah satu kandidat pria tidak disukai, demikian pendapat politisi tersebut.

Sebagai contoh ia menyebut Yves Mersch. Direktur Bank Sentral Luksemburg itu direncanakan dipanggil ke dalam direksi Bank Sentral Eropa. Tapi pengangkatannya oleh Dewan Eropa diperdebatkan.

**ARCHIV** Das Euro-Logo vor der Zentrale der Europaeischen zentralbank in Frankfurt fotografiert am 6. November 2007. Der EZB-Rat trifft sich am Donnerstag 2. April 2009 in Frankfurt. (ddp images/AP Photo/Bernd Kammerer,fls) **FILE** Nov. 6 2007 file picture shows the euro sign in front of the European Central Bank, ECB, in Frankfurt, central Germany. Thursday March 5 2009 top managers gather for a meeting at the ECB. (ddp images/AP Photo/Bernd Kammerer)
Logo Euro di depan kantor Bank Sentral Eropa FrankfurtFoto: dapd

Senin (22/10) malam dewan ekonomi Parlemen Eropa menolak usulan daftar personil, dengan keterangan bahwa tidak ada perempuan yang duduk dalam jajaran puncak Bank Sentral Eropa. Sebaliknya Lulling berpendapat, bahwa Yves Mersch tidak disukai secara politis

Kamis (25/10) meskipun ditentang Parlemen Eropa, Yves Mersch (63) masuk dalam jajaran direksi Bank Sentral Eropa. Dengan 325 suara penolakan dan 300 suara pendukung, serta 49 abstain.

Secara simbolis Kamis (25/10) Parlemen Eropa menolak pencalonan Mersch. Untuk pertama kalinya anggota parlemen menolak seorang calon kandidat dalam jajaran direksi Bank Sentral Eropa. 

Meskipun demikian dalam hal ini parlemen tidak memiliki hak veto. Dan pemerintahan anggota Uni Eropa dapat melewati hasil suara negatif dari Parlemen Eropa, walaupun dalam masa krisis Euro penerimaan sosok Mersch sebagai penentu adalah hal yang penting. Alasan penolakan, fraksi sosial demokrat, fraksi kiri dan fraksi hijau di Parlemen Eropa menginginkan seorang perempuan dalam jajaran direksi tersebut.

Kuota Perempuan "Sebuah Tragedi"

Masalah kuota perempuan kembali akan memicu perdebatan panas, seperti yang sudah terjadi sebelumnya dalam debat parlemen terdahulu.

Anggota Parlemen Eropa asal Jerman Rebecca Harms yang mewakili Partai Hijau menyimpulkan posisi para pendukung kuota perempuan sebagai berikut: "Kesetaraan jender sebagai dasar penting dalam undang-undang dan pernyataan hak asasi manusia, adalah harus. Tapi untuk mempraktekkannya, kita membutuhkan peraturan dan undang-undang. Dan untuk itu menurut pandangan saya perlu kuota."

Sementara anggota Parlemen Eropa Godfrey Bloom dari Fraksi Kebebasan dan Demokrasi Eropa mengatakan: "Dan kini Anda berbicara tentang kuota. Hal gila apa itu? Perempuan yang sepanjang hidupnya bekerja keras untuk mencapai posisi penuh tanggung jawab dalam ekonomi, perempuan karir, kini harus dibebani oleh kuota. Semua ide ini benar-benar gila. Dan itu sebuah tragedi."