1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kunjungan Wartawan Jerman ke Indonesia Penuh Kejutan

Hendra Pasuhuk21 Juni 2015

Awal Juni, 17 wartawan Jerman berkunjung ke Indonesia atas undangan panitia Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Mereka meliput selama seminggu di Jakarta dan Makasar. Apa saja kesan mereka? Oleh Hendra Pasuhuk.

https://p.dw.com/p/1Fjlu
Indonesien DW-Redakteur Hendra Pasuhuk erzählt über die Medien in Deutschland
Foto: Yayat Supriyatno

"Saya sudah sering ke Jerman.. Sudah 16 kali ke pameran mebel di kota Köln dulu", kata Presiden Joko Widodo ketika menerima delegasi wartawan Jerman di Ruang Tengah Istana Kepresidenan di Jakarta 3 Juni lalu.

Audiensi di Istana Presiden adalah satu dari banyak "kejutan" yang dialami para tamu dari Jerman itu. Mereka berasal dari berbagai media: televisi, radio, koran, majalah dan portal online. Setelah dilakukan seleksi panjang, karena begitu banyak yang mendaftar, 17 orang ini terpilih ikut "Press Trip FBF 2015" ke Jakarta.

Kebanyakan berasal dari resor budaya, sesuai dengan sektor yang digarap Frankfurt Book Fair. Tapi mereka semua menganggap perjalanan kali ini bukan hanya soal budaya, tapi juga soal politik global. Indonesia, yang menjadi "Guest of Honour" di Frankfurt tahun ini, begitu sering disebut-sebut dengan atribut "negara muslim terbesar dunia". Para wartawan Jerman yang ikut rombongan ini memang sudah sering bepergian ke Timur Tengah dan Asia, tapi kebanyakan belum pernah ke Indonesia.

17 ribu gundukan imajinasi

Jadi, sejak berangkat dari Frankfurt tanggal 31 Mei malam, mereka sudah "menyerang" saya dengan berbagai pertanyaan. Saya bekerja di Redaksi Indonesia Deutsche Welle di Bonn, dan diminta panitia FBF 2015 untuk mengantar rombongan ini ke Indonesia sambil menjadi penerjemah dan menjawab "semua pertanyaan tentang budaya dan politik", tentu saja dengan sebisanya.

Frankfurter Buchmesse 2015 Indonesien
Macet di Jakarta dengan rombongan wartawan JermanFoto: DW/H. Pasuhuk

Karena tak mungkin menjelaskan Indonesia hanya dalam semalam penerbangan lewat Kualalumpur ke Jakarta dengan maskapai Jerman, Lufthansa. Untungnya, FBF 2015 memilih motto yang cocok untuk kehadiran Indonesia: "17,000 Islands of Imagination".

Dari motto itu saja saya sudah bisa meminta mereka mengerahkan daya imajinasi dan membayangkan, apa artinya hidup di sebuah negara berpenduduk 250 juta orang dengan 17.000 pulau. Dan bagaimana seorang Presiden dan kabinetnya harus mengelola gunungan imajinasi rakyat yang tentu saja banyak maunya juga.

Singkat kata, ketika kami transit di Malaysia, saya simpulkan pada mereka: Indonesia lain dari Malaysia. Indonesia bukan negara Islam, tapi negara dengan penduduk mayoritas muslim. Bagaimana bedanya, kalian lihat sendiri sajalah..

Penuh kejutan

Rombongan kami tiba di Jakarta sekitar pukul 19 malam, sesuai jadwal. Semua berjalan lancar, kami dibolehkan melewati jalur cepat imigrasi menyelesaikan segala formalitas, berkat persiapan panitia di Indonesia. Kejutan pertama, koper satu wartawan kami, Holger, tidak ada. Belakangan kami tau, koper itu tertinggal di Jerman, karena pegawai check in salah memberi kode lokasi tujuan. Holger akhirnya harus menunggu di bandara ditemani satu anggota panitia penjemput. Yang lain meluncur dengan bis menuju hotel kami di kawasan ramai Wahid Hasyim/Jalan Jaksa, Menteng.

Indonesien Anies Baswedan empfängt eine Delegation deutscher Journalisten in Jakarta
Pertemuan dengan Mendikbud Anies Baswedan (tengah) didampingi oleh Slamet Rahadjo (kiri) dan Goenawan Mohamad (kanan)Foto: DW/H. Pasuhuk

Begitu bis turun dari jalan tol kota, mendadak suasana di bis riuh rendah. Para wartawan tertawa-tawa melihat lalu lintas Senin malam yang penuh sesak. Motor bersliweran dari segala arah, mobil-mobil berhimpitan dengan jarak sentimeter. Mereka pun sibuk syuting sana syuting sini. Terutama kalau ada lampu merah yang menjadi hijau, mereka berebut merekam puluhan motor yang berusaha menyalip segala sesuatu di hadapannya.

Ada juga yang merekam sopir bis dengan penuh keheranan. Bagaimana Pak Sopir bisa begitu tenang menghadapi chaos besar seperti itu. Dia seharusnya mati muda serangan jantung, kata seseorang. Mereka lebih heran lagi, karena sampai kami tiba di hotel, tidak terjadi satu pun kecelakaan lalu lintas. Holger tiba di hotel setelah diantar berbelanja pakaian seperlunya. Dia tetap tenang, karena sepertinya memang sedikit berjiwa petualang. Amazing Indonesia..!

Telpon dari Presiden

Sampai Selasa malam, belum ada kepastian kami akan diterima di Istana Kepresidenan. Bahkan sampai saat itu, belum jelas jam berapa kami akan diterima di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang sudah diagendakan. Malam harinya ada telpon bahwa Mendikbud Anies Baswedan siap menerima kami pukul 7.30 pagi hari.

Indonesien Joko Widodo mit der Delegation deutscher Journalisten im Präsidentenpalast in Jakarta
Berfoto santai dengan Presiden JokowiFoto: Yayat Supriyatno

Rabu pagi, ada kabar kami akan ke Istana. Tapi Presiden hanya akan memberi presentasi singkat dan tidak ada tanya jawab, begitu informasi yang diterima. Rombongan pun berangkat menuju Kemendikbud dan sudah ditunggu oleh Goenawan Mohamad dan Slamet Rahardjo, Ketua Komite Nasional FBF2015 Indonesia.

Pertemuan dengan Mendikbud Anies Baswedan sangat berkesan. Menteri Anies memberi presentasi singkat tentang pendidikan kebudayaan dan tradisi membaca di Indonesia, penuh data-data menarik dengan bahasa Inggris yang fasih. Para wartawan Jerman yang tadinya sudah menyiapkan banyak pertanyaan, akhirnya jadi sibuk menulis kata-kata Menteri. Sampai ketika dia mengakhiri presentasinya dan bertanya: Any questions..? Semua wartawan sedang menunduk dan sibuk menulis di buku kecilnya.

Pada sesi tanya jawab, tiba-tiba telpon Mendikbud berdering dan diambil alih oleh asistennya. Tak berapa lama sang asisten kembali dan menyodorkan hp kepada Mendikbud. Dia berhenti berbicara, menatap telpon lalu mengatakan: It's my boss.. Presiden Jokowi ternyata menelpon langsung dan meminta rombongan wartawan Jerman segera datang ke Istana. Kami pun bergegas menuju Istana Kepresidenan.

Ini Presidennya..?

Setelah melalui prosedur pemeriksaan serba ketat, kami masuk kompleks Istana. Sebelumnya semua peserta diminta menyerahkan hp kepada petugas. Alat potret dan kamera bisa dibawa masuk. Kami dibawa ke ruang tengah yang panjang, di ujung ruangan terlihat Jokowi sedang duduk minum kopi. Melihat wartawan Jerman datang, Presiden melambaikan tangan menyilahkan masuk. Wartawan di samping saya sempat bingung: Ini Presidennya..? Dia bertanya agak ragu. Ya, jawabku. Dia pun bergegas melangkah ke depan. Jokowi menyalami satu persatu peserta yang masuk.

Frankfurter Buchmesse 2015 Indonesien
Wawancara 'keroyokan' dengan Linda Christanty di TIM, JakartaFoto: DW/H. Pasuhuk

Audiensi tanpa protokoler ketat itu mungkin menjadi momen yang paling mengesankan bagi banyak wartawan. Presiden Jokowi menjelaskan bahwa ada satu presentasi yang telah disiapkan tim kepresidenan, tapi dia mempersilahkan Mendikbud untuk membawakan presentasi itu. Sebab dia lebih ingin bicara santai saja setelah presentasi itu.

Namun sebelumnya, Presiden ingin tau bagaimana situasi media di Jerman, dan dari media mana saja wartawan yang datang ini. Karena saya satu-satunya dalam rombongan yang berbicara bahasa Indonesia, saya lah yang diminta menceritakan maksud dan tujuan press trip ini (foto artikel).

Indonesia memang lain

Pertemuan singkat di Istana dengan Presiden Joko Widodo berakhir dengan sesi berfoto santai. Setelah keluar dari Istana, banyak yang bertanya bagaimana Jokowi bisa memenangkan pemilu presiden di negara seluas ini dengan sikap yang begitu sederhana dan bersahaja. Apakah itu hanya akting dia saja? Justru kebersahajaan itu modal terkuatnya, jawabku. Mayoritas pemilih merasa dia adalah salah satu dari mereka, dan tidak berasal dari golongan super elit yang mengawang-awang dan terbiasa berpidato hebat.

Frankfurter Buchmesse 2015 Indonesien
Naik kapal dari Pulau Lae-Lae kembali ke kota MakasarFoto: DW/H. Pasuhuk

Masih banyak kejutan lain yang mereka alami selama perjalanan di Indonesia. Kami sempat hadir tiga hari di Makasar meliput Makassar International Writers Festival (MIWF). Sebuah pengalaman menyenangkan dengan trip ke Pulau Lae-Lae yang bisa dicapai hanya beberapa menit dengan perahu motor.

Selain itu, banyak tempat di Jakarta yang sempat dikunjungi. Pertunjukan Wayang, Taman Ismail Marzuki, Diskusi dengan Dewan Kesenian Jakarta, Kota Tua, Salihara dan Galeri Cemara, di mana Ibu Toety Herati mengejutkan para wartawan dengan membawakan sebuah lagu Jerman bersyair sajak Heinrich Heine.

Atribut yang membatasi imajinasi

Amazing Indonesia.., itu mungkin kata yang paling sering saya dengar selama mengantar rombongan ini, yang kembali ke Jerman hari Minggu berikutnya. Setengah dari rombongan memutuskan untuk tinggal lebih lama di Indonesia, atas biaya sendiri. Perjalanan ini benar-benar membangkitkan rasa ingin tau mereka. Ada yang lalu melanjutkan perjalanan ke Aceh, Yogyakarta, Ambon, Bali, Surabaya.

Kesimpulan mereka yang bagi saya paling berkesan mungkin ini: Mereka mengatakan kepadaku, atribut "negara muslim terbesar dunia", yang sering mereka gunakan dalam tulisan-tulisannya sebenarnya tidak tepat. Sebab Indonesia tidak hanya dibentuk oleh kebudayaan Islam, tapi jauh lebih kaya dari itu. Atribut itu hanya membatasi imajinasi publik Jerman tentang negara ini.

Di Arab, saya tidak boleh masuk masjid, dan tidak ada perempuan yang boleh menyalami saya, karena saya laki-laki yang bukan keluarganya, kata seorang wartawan pria. Tapi di Makasar, mereka malah menarik-narik tangan saya masuk ke masjid untuk merekam barisan perempuan yang sedang sholat. Inilah Indonesia. Dan para perempuan muda berjilbab di depan masjid itu berebut Selfie dengan saya, kata dia sambil senyum simpul.

Hendra Pasuhuk