1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kunjungan Steinmeier di Suriah

Björn Blaschke5 Desember 2006

Krisis pemerintahan di Libanon menjadi pokok pembicaraan Steinmeier dan Suriah.

https://p.dw.com/p/CIxC
Presiden Suriah Bashar al Assad bersama Steinmeier
Presiden Suriah Bashar al Assad bersama SteinmeierFoto: AP

Damaskus adalah persinggahan terakhir kunjungan lima hari Steinmeier di Timur Tengah. Pokok utama pembicaraan antara Steinmeier dan Muallem, serta dengan Presiden Suriah, Bashar al Assad adalah krisis pemerintahan di negara tetangga Libanon.

Sejak berhari-hari ratusan ribu orang berdemonstrasi di ibukota Libanon, Beirut, menuntut mundurnya kabinet Perdana Menteri Fuad Siniora. Kelompok oposisi Syiah, Amal dan Hisbullah yang mengorganisir protes, terutama menuntut agar sepertiga dari posisi menteri di kabinet yang baru dipegang wakil dari kubunya. Dengan demikian mereka memiliki hak veto. Sementara itu, Perdana Menteri Siniora berkali-kali menyatakan tidak akan turun dari jabatan. Ia juga menuduh, oposisi dikendalikan Suriah dan Irak.

Kini Menteri Luar Negeri Jerman Steinmeier meminta Suriah untuk menenangkan Hisbullah. Setelah pertemuan, Menteri Luar Negeri Suriah Mualem menjamin, negaranya tidak akan ikut campur dalam urusan dalam negeri Libanon. Ditambahkannya, keamanan dan stabilitas Libanon juga berarti keamanan dan stabilitas Suriah. Mualem menyatakan, pemerintah di Damaskus mengakui kedaulatan Libanon. Selain itu, Suriah setuju untuk memulai kembali hubungan diplomatis dengan negara tetangganya itu. Tetapi Mualem menuntut, agar di Libanon juga terdapat sikap persaudaraan dengan Suriah.

Sikap bersaudara yang diinginkan Suriah kemungkinan merupakan sindiran, karena bagi Suriah, pemerintahan Siniora sama sekali tidak bersikap bersaudara. Mengingat Siniora mendukung Tribunal PBB, yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan mantan Perdana Menteri Libanon, Rafik Hariri. Dan dinas rahasia Suriah diduga ikut berperan dalam tindak kejahatan itu.

Prioritas utama Suriah dalam pertemuan dengan Steinmeier adalah pembebasan Dataran Tinggi Golan, yang sejak 1967 diduduki Israel. Perundingan tentang masalah itu, yang berlangsung dari 1991 hingga 2000, tidak membuahkan hasil, karena tidak adanya motivasi politik di pihak Israel. Di sinilah Muallem berusaha menyerahkan tanggungjawab kepada Jerman dan Uni Eropa. Ia menginginkan lebih besarnya peranan Eropa di Timur Tengah, tanpa campur tangan AS.

Tentunya Jerman akan memiliki pengaruh besar atas usaha pemecahan masalah Dataran Tinggi Golan, karena Jerman akan segera mengambil alih posisi Ketua Dewan Uni Eropa serta ketua Kelompok Tujuh Negara Industri Maju dan Rusia. Demikian dikatakan Muallem setelah pembicaraan dengan Steinmeier. Ia menambahkan, setelah berakhirnya perang di Libanon, pemerintah di Berlin harus menggunakan kesempatan untuk menghidupkan kembali proses perdamaian Timur Tengah. Mualem menekankan, Eropa tidak boleh mendukung penjajah melainkan harus membantu negara yang diduduki.

Di samping itu Muallem menyatakan, Suriah mengharapkan dukungan Steinmeier dalam pelaksanaan kesepakatan asosiasi dengan Uni Eropa, yang saat ini terhenti. (ml)