1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Putra Mantan Syah Iran Lakukan Kunjungan ke Israel

Shabnam von Hein
20 April 2023

Mantan Putra Mahkota Iran, Reza Pahlavi melakukan kunjungan ke Israel dengan membawa "pesan persahabatan". Reza Pahlavi mendukung gerakan demokrasi di Iran, tapi juga mendapat kritik dari oposisi Iran.

https://p.dw.com/p/4QKmc
Reza Pahlavi kunjungi Tembok Ratapan di Yerusalem
Reza Pahlavi kunjungi Tembok Ratapan di YerusalemFoto: Ariel Zandberg/AA/picture alliance

Mantan putra mahkota Iran, Reza Pahlavi yang hidup di pengasingan di AS melakukan kunjungan ke Israel bersama istrinya. Ia menyatakan, membawa pesan persahabatan dari rakyat Iran. Begitu disampaikan Reza Pahlavi hari Minggu lewat Twitter. Kedatangannya di Tel Aviv disambut menteri dinas rahasia Gila Gamliel, yang menyebut kunjungan itu sebagai kunjungan bersejarah.

Pahlavi adalah "tokoh masyarakat paling senior dari Iran yang pernah melakukan kunjungan publik" ke Israel. Pahlavi ikut serta dalam acara peringatan bagi korban pembantaian warga Yahudi oleh NAZI di zaman Perang Dunia II pada Selasa 18 April, kemudian berfoto dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan istrinya.  

"Bagus dan tepat bahwa Reza Pahlavi mendukung perdamaian antara Iran dan Israel", kata Ali Afshari, pakar Iran yang hidup di pengasingan di AS, kepada DW. Menurut Afshari, putra Syah Iran itu punya pendukung di dalam dan luar Iran. "Tapi dia tidak merepresantasikan rakyat Iran, dan tidak punya mandat. Dia juga tidak bisa berbicara bagi oposisi," demikian ditekankan Afshari. "Tapi jelas pula, bahwa oposisi di luar dan di dalam negeri Iran ingin mengakhiri permusuhan dengan Israel, dan ingin berhenti mempertanyakan hak eksistensi Israel."  

Iran dan Israel: Sekutu hingga datangnya Revolusi Islam

Iran dan Israel sudah bermusuhan sejak beberapa dasawarsa lalu. Teheran tidak mengakui hak eksistensi Israel dan mengancam "rezim zionis" Israel dengan pemusnahan. Sebaliknya, Israel menganggap Iran musuh bebuyutan. Tapi permusuhan itu baru muncul setelah revolusi Islam di Iran tahun 1979. Sebelumnya, kedua negara punya hubungan erat. Iran juga dulu termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel tahun 1948 serta hak eksistensinya. Sebaliknya, dalam konflik Timur Tengah, Israel menganggap Iran sekutu dalam melawan negara-negara Arab.

Reza Pahlavi dalam pembicaraan dengan PM Benjamin Netanyahu
Reza Pahlavi dalam pembicaraan dengan PM Benjamin Netanyahu (tengah) dan menteri dinas rahasia Gila Gamliel (kiri)Foto: Israeli Ministry of Intelligence/AA/picture alliance

Dulu di Iran terdapat komunitas Yahudi terbesar ke dua di luar Israel. Setelah revolusi Islam di Iran, sebagian besar warga Yahudi meninggalkan negara itu, tapi saat ini, di Iran masih tinggal lebih dari 20.000 orang Yahudi.

Permusuhan antara Iran dan Israel berawal di tahun 1980-an. Beberapa tahun setelah sukses melancarkan Revolusi 1979, yang menggulingkan Syah Iran, penguasa  baru di Teheran mulai melancarkan retorika yang bersifat bermusuhan terhadap Israel. Tujuannya untuk mendapat sokongan negara-negara Arab, dan dengan demikian memperbesar pengaruh di kawasan Timur Tengah. Pemimpin religius Iran saat ini, Ayatollah Ali Chamenei, meneruskan politik itu. Dia dan pimpinan Iran lainnya, berulang kali mempertanyakan kebenaran realita sejarah tentang pembantaian sistematis warga Yahudi oleh NAZI di masa Perang Dunia II, dan bahkan berusaha menyangkal sejarah itu.  

Menyokong gerakan demokrasi di Iran

"Republik Islam tidak merepresentasikan rakyat Iran," demikian ditekankan Reza Pahlavi dalam setiap kesempatan. Putra Syah Iran terakhir itu termasuk penentang rezim Mullah Iran yang paling prominen. Februari 2023 dia bergabung dengan oposisi Iran yang aktif di luar negeri, untuk menyokong pembubaran rezim Iran. Pahlavi pada bulan Februar lalu mendapat kesempatan berbicara di Konferensi Keamanan yang digelar di München, Jerman, di mana dia termasuk dalam panel Iran. Ia menekankan, tidak berusaha mendirikan kembali monarki di Iran, tapi dia bersedia memimpin negaranya dalam masa transisi.

Walaupun mantan putra mahkota itu berusaha untuk menjembatani perbedaan di dalam tubuh oposisi Iran, perannya sendiri dinilai kontroversial. Banyak orang Iran yang tinggal di pengasingan, terutama yang secara tradisional berhaluan kiri, dan sudah menentang monarki sebelum Revolusi 1979, menilai perannya dengan kritis. Sementara bagi oposisi di Iran, Reza Pahlevi terlalu bergantung pada sokongan dari luar negeri.   

Menurut pakar Iran Ali Afshari, waktu kunjungan Pahlavi ke Israel tidak tepat. "Sejak beberapa pekan lalu, sudah terjadi protes masal terhadap rencana reformasi kehakiman di Israel. PM Benjamin Netanyahu mendapat kritik tajam, karena dinilai ingin melemahkan demokrasi di negaranya. Afshari menilai, kunjungan simbolis Pahlavi ke Iran tidak banyak menolong gerakan demokrasi di Iran. Sebaliknya, penguasa Iran akan menggunakan itu sebagai bukti bagi propagandanya, yang menyatakan bahwa aksi protes di Iran disulut dan didukung musuh Iran. Jadi kunjungan Reza Pahlavi akan diinterpretasikan penguasa sebagai langkah berikutnya untuk memperkuat fron perlawanan terhadap rezim mullah di Iran. (ml/as)