1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kubu Reformasi Iran Bungkam Soal Nuklir

2 April 2012

Tidak semua orang Iran mendukung haluan pemerintah menyangkut nuklir. Tetapi kritik atas program nuklir tidak dinyatakan secara terbuka. Dari kubu reformasi tidak ada dorongan untuk meredakan ketegangan.

https://p.dw.com/p/14WKZ
An Iranian flag flutters in front of the reactor building of the Bushehr nuclear power plant, just outside the southern city of Bushehr, Iran, Saturday, Aug. 21, 2010. Iranian and Russian engineers began loading fuel Saturday into Iran's first nuclear power plant, which Moscow has promised to safeguard to prevent material at the site from being used in any potential weapons production. (ddp images/AP Photo/Vahid Salemi)
Reaktor nuklir BushehrFoto: dapd

Harapan, bahwa kekuatan di dalam negeri akan mengoreksi haluan yang ditentukan Ayatollah Ali Khamenei mengenai nuklir tidak didukung para pakar di bidang itu. Bahkan sebaliknya. Dalam pemilu yang diadakan Maret lalu, tampak jelas betapa tidak pentingnya kubu pendukung reformasi. Sementara menyangkut masalah politik nuklir, pendukung reformasi tidak memberikan tanggapan sama sekali.

Sama halnya dengan beberapa surat kabar pendukung reformasi, yang belum ditutup. Wartawan Hossein Bastani yang tinggal di pengasingan berpendapat, Dewan Keamanan Nasional mengeluarkan larangan secara tertulis bagi semua surat kabar, agar tidak mempertanyakan politik nuklir pemerintah. "Surat semacam itu sudah pernah saya baca," tukas wartawan yang tinggal di Paris tersebut.

Mengenang Era Khatami

Hingga tahun 2005, Bastani menulis untuk beberapa harian yang mendukung reformasi di Iran. Akibat tulisannya yang kritis, ia dipenjara. Setelah itu ia meninggalkan tanah airnya dan kini bekerja sebagai komentator politik di luar negeri. Bastani berpendapat, semua pendukung reformasi menentang politik nuklir yang dijalankan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. "Mereka tidak memberikan pendapat secara langsung. Tetapi setiap ada kesempatan mereka menekankan, politik nuklir di masa pemerintahan Khatami lah yang benar.“

epa03107533 A handout picture made available 15 February 2012 by Iranian President Mahmoud Ahmadinejad_s official website shows Iranian President Mahmoud Ahmadinejad (2-L) visiting visiting Tehran's nuclear reactor, Iran. Others are not identified. Iranian President Mahmoud Ahmadinejad on 15 February inaugurated three new nuclear projects, in a ceremony that was broadcast live on state television network IRIB. 'This is another huge step in Iran's nuclear technology and this path should be decisively continued, and all the shouting, threats and intimidations by the West should be ignored,' Ahmadinejad said at the ceremony. At the Iranian Atomic Organization in Tehran, Ahmadinejad witnessed the insertion of the country's first domestically made nuclear fuel rods into a medical reactor. EPA/PRESIDENTIAL OFFICIAL WEBSITE / HANDOUT HANDOUT EDITORIAL USE ONLY/NO SALES +++(c) dpa - Bildfunk+++
Presiden Mahmoud Ahmadinejad (kedua dari kiri) ketika mengunjungi sebuah instalasi nuklirFoto: picture-alliance/dpa

Pendahulu Ahmadinejad, Mohammad Khatami menawarkan kerja sama keamanan luas kepada AS 2003 lalu, setelah terungkapnya aktivitas nuklir Iran yang dirahasiakan. Tawaran itu mencakup pengungkapan program nuklir dan perbaikan kerja sama dengan Badan Energi Nuklir Internasional, IAEA. Sebelumnya, Iran menghentikan program nuklir yang diperuntukkan bagi militer. Demikian laporan dinas rahasia AS dari tahun 2007. AS menolak tawaran tersebut. Di tahun-tahun berikutnya, Uni Eropa berusaha mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran. Tetapi tidak berhasil.

Haluan Konfrontasi

Musim panas 2005, peta politik Iran berubah. Ahmadinejad yang mendapat dukungan kubu konservatif menjadi presiden negara itu. Dalam hal politik nuklir, Ahmadinejad sependapat dengan pemimpin agama Iran, Khamenei, dan mengambil haluan konfrontasi terhadap masyarakat internasional.

Iran's supreme leader Ayatollah Ali Khamenei shows him speaking during a meeting with local nuclear scientists in Tehran, Iran on February 22, 2012. Khamenei insisted during the meeting that his country is not seeking an atomic weapon and urged the scientists to "continue the important and substantial" nuclear work. Photo by Parspix/ABACAPRESS.COM # 309872_006
Pemimpin religius Iran, Ayatollah Ali KhameneiFoto: picture alliance / abaca

Wartawan Hossein Bastani menilai Khamenei semakin radikal dalam masalah atom. Diungkapkannya, "Ketika Ahmadinejad hendak memberikan isyarat kooperatif dengan dunia internasional tahun 2009 lalu, Khamenei memblokir inisiatif tersebut.“ Ketika itu yang dibicarakan adalah kesepakatan mengenai pengalihan lokasi instalasi pemerkayaan nuklir milik Iran ke Rusia. Inisiatif itu tidak ada hasilnya. Para pemimpin reformasi, Mir Hussein Moussavi dan Mehdi Karrubi ketika itu menentang kesepakatan nuklir tersebut. Itu bisa menjadi petunjuk, bahwa sikap kubu reformasi dalam masalah nuklir tidak sepenuhnya mendukung peredaan ketegangan dan kesediaan untuk bekerjasama.

Pendukung Reformasi Tidak Berdaya

Abbas Abdi, komentator politik dari Teheran mengatakan, pendukung reformasi sayangnya terpecah-belah, dan tidak punya rencana kongkrit. "Seharusnya mereka menunjukkan dengan jelas sikap mereka dan apa yang hendak dicapai,“ demikian Abdi. Dalam situasi saat ini mereka tidak mampu menggalang pendukung untuk menghadapi langkah pemerintah dalam hal masalah atom. "Untuk masa depan, kubu reformasi semakin tidak mungkin mendapat pengaruh. Kecuali jika penguasa begitu terpojok, sehingga membutuhkan bantuan kubu reformasi, agar bisa memperoleh legitimitas.“

Former Iranian prime minister Mir Hossein Mousavi who announced his candidacy for the June 12 presidential election last week, speaks at a mosque in Tehran, Iran on 14 March 2009. Moussavi is a moderate technocrat opposing the policies of President Mahmoud Ahmadinejad, and considered close to the two other candidates, Mohammad Khatami and Mehdi Karroubi. Moussavi, born in 1941 in Khameneh, north-western Iran, was prime minister from 1981 and 1989, during the Iran-Iraq war (1980-1988). EPA/ABEDIN TAHERKENAREH +++(c) dpa - Report+++
Hossein MousaviFoto: picture-alliance/ dpa

Seorang politisi pendukung reformasi, yang baru-baru ini dibebaskan dari tahanan dan tidak mau namanya disebut karena takut ditekan, menggambarkan ketidakberdayaan kubunya dalam peta politik saat ini. "Pendukung reformasi, dengan gelar apapun dan termasuk kelompok manapun tidak dapat melakukan apa-apa, kecuali mempublikasikan petisi. Dan berkaitan dengan program nuklir, masalah akan semakin rumit.“

Bagi politisi itu, yang mendekam di penjara selama lebih dari 10 tahun, sudah jelas, yang memegang peranan dalam masalah nuklir adalah pemimpin agama. Khamenei mendefinisikan, citra mana yang harus dimiliki penguasa. Yakni, tidak menyerah dalam pertikaian soal program nuklir dan hanya membela hak negara.

Penguasa Tidak Terancam

Ia berpendapat, ketidakpuasan rakyat akibat sanksi internasional yang semakin ketat tidak membahayakan posisi penguasa. "Pemerintah ini memiliki basis di masyarakat yang tinggal di pinggir-pinggir kota besar dan di desa-desa. Jumlah mereka sekitar 60% dari seluruh rakyat Iran, dan mereka mendapat uang dari negara.“

While female reformist lawmaker Soheila Jeludarzadeh listens at left, Iran's parliamentary speaker Mahdi Karrubi, right, speaks after more than a third of the Iranian parliament handed in resignations on Sunday Feb. 1, 2004, to protest the decision by hard-liners to disqualify hundreds of would-be legislators in upcoming elections. A letter of resignation was submitted to parliamentary speaker Karrubi, by reformists who said they could not go ahead with the Feb. 20 elections. (AP Photo/Hasan Sarbakhshian)
Mehdi KarubiFoto: AP

Ia mengemukakan, kubu konservatif di Iran memperoleh keuntungan dari sengketa nuklir. Selama dunia memfokuskan diri pada program nuklir, masalah hak asasi manusia semakin terdesak dari perhatian orang. "Konflik nuklir menjadi beban bagi gerakan demokrasi di Iran.“

Shabnam Nourian / Marjory Linardy

Editor: Edith Koesoemawiria