Krisis Iklim Dekatkan Israel dan Yordania
19 Januari 2022Di bawah perjanjian baru itu, Yordania yang tidak punya sumber air alami, akan mengekspor energi surya sebesar 600 megawatt ke Israel, dengan imbalan berupa 200 juta meter kubik air bersih yang dimurnikan dari air laut.
Menurut laporan media-media lokal, instalasinya akan dibangun sebuah perusahaan Uni Emirat Arab yang juga membangun pembangkit surya di Yordania. Selambatnya pada 2026, sebuah kabel listrik akan menghubungkan Yordania dan Israel.
Sebaliknya Israel sudah berniat akan menambah fasilitas desalinasi air laut miliknya dari sementara tiga menjadi lima.
Perjanjian ini "sama-sama menguntungkan dan merupakan model untuk konsep ketahanan iklim non-konvensional,” kata Gidon Bromberg, pendiri LSM lingkungan Israel, EcoPeace Middle East.
Organisasinya ikut berjasa membuka pintu kerja sama antara kedua negara. Pada Desember 2020 silam, EcoPeace memublikasikan rencana kerja sama lintas negara untuk ketahanan klim antara Israel, Yordania, dan Palestina.
"Perjanjian ini menciptakan model baru bagi kebergantungan yang sehat antarnegara di wilayah kami,” kata Yana Abu Taleb, Direktur EcoPeace MiddleEast di Yordania.
Kesepakatan itu juga merupakan pendekatan lunak yang dicanangkan pemerintahan baru Israel di bawah Naftali Bennett, menyusul Perjanjian Ibrahim yang menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab, Maroko, dan negara Arab lain.
Energi surya sebagai alat politik?
Yordania sejak lama dikenal sebagai negeri rawan air. Sebagian air bersih yang dikonsumsi di negara itu harus diimpor dari negeri jiran. Ketiadaan wilayah perairan juga membuat opsi desalinasi air laut menjadi mustahil.
Sebab itu perjanjian air dengan Israel diyakini akan memberikan Yordania "sesuatu yang bernilai tinggi,” yakni menukar air dengan energi surya yang sangat dibutuhkan di negeri jiran.
Israel yang berambisi memproduksi 30 persen kebutuhan listriknya dari sumber terbarukan pada 2030, tidak memiliki lahan untuk pembangkit surya. Sebaliknya, Yordania tidak hanya memiliki lahan kering yang luas, tetapi juga sudah membangun infrastruktur energi surya yang lengkap.
"Yordania bisa menjadi pusat energi terbarukan di kawasan, dengan menjual energi bersih ke seluruh Timur Tengah, tidak hanya ke Israel,” kata Taleb kepada DW. "Bayangkan ketahanan iklim dan keuntungan ekonomi yang bisa kita ciptakan untuk negara-negara ini.”
Israel sendiri sudah menetapkan krisis iklim sebagai isu keamanan nasional. Doktrin tersebut, kata Bromberg, harus dibarengi dengan pemahaman bahwa ancaman iklim berdampak luas, tidak hanya di satu negara.
"Israel ingin diakui sebagai pemain internasional, sebagai salah satu pemimpin dunia untuk isu-isu iklim,” ujarnya. Artinya, "mereka harus memenuhi komitmen-komitmen (iklim) tersebut.”
Dampak perubahan iklim
Saat ini pun pemanasan global sudah berdampak luas di Timur Tengah, terutama Yordania dan Israel yang tergolong wilayah kering. Di sini, temperatur "meningkat lebih cepat ketimbang di wilayah mana pun di dunia,” kata Colin Price, Direktur Porter School of Environmental Studies di Tel Aviv University.
"Selama dua dekade terakhir, kami mencatat pemanasan yang signifikan di seluruh wilayah Mediterania, termasuk juga di Israel. Jadi, musim panas kami akan semakin panas dan lebih lama.”
Bagi wilayah yang rentan air, perubahan kecil pada pola cuaca bisa memicu bencana kekeringan berkepanjangan.
Menurut "skenario terburuk” yang dikembangkan Layanan Meteorologi Israel (IMS), rata-rata kenaikan temperatur pada akhir abad akan mencapai 4 derajat Celsius. Adapun menurut Price, curah hujan di seluruh kawasan Mediterania akan anjlok sebanyak 20 persen di penghujung abad 21.
"Dampaknya sudah kami amati di banyak negara, seperti di Yunani, Italia, dan Spanyol, di mana hal ini menyebabkan musim kebakaran hutan yang lebih panjang dan lebih intensif,” kata dia.
Optimisme terbatas
Sejak beberapa tahun terakhir, Yordania juga mulai mencatat penurunan drastis pada ketersediaan air. Di ibu kota Amman misalnya, warga terbiasa menunggu datangnya truk tangki air sebelum bisa memasak atau mandi.
"Seluruh wilayah ini memang secara alami rawan air,” kata Yana Abu Taleb. "Kami memiliki cadangan air yang terbatas, dan Yordania merupakan negara paling miskin menyangkut ketersediaan air bersih.”
Namun, bencana kekeringan juga dipicu faktor lain seperti buruknya manajemen air atau lonjakan populasi. Selain itu, tekanan terhadap cadangan air alami juga kian bertambah seiring datangnya 800.000 pengungsi dari konflik di negara-negara jiran.
Tahun lalu, Israel setuju menggandakan jumlah pasokan tahunan air bersih ke Yordania menjadi 50 juta meter kubik. Menurut perjanjian yang baru, jumlah air bisa berjumlah empat kali lipat lebih besar.
"Kedua negara berada dalam posisi sejajar dengan masing-masing punya sesuatu untuk dibeli atau dijual,” kata Bromberg. Dari sudut pandang lingkungan dan politik, perjanjian antara Israel dan Yordania menurutnya bisa menjadi "alasan yang baik untuk optimisme berhati-hati.”
(rzn/ha)