1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMesir

Krisis Ekonomi di Mesir Dorong Wacana Pembebasan Pegiat HAM

Jennifer Holleis
21 Maret 2023

Ketika Mesir menjanjikan rekonsiliasi demi bantuan ekonomi, pegiat pro-demokrasi Alaa Abdel-Fattah masih mendekam di penjara. Keluarganya menggiatkan kampanye internasional untuk menekan pemerintah.

https://p.dw.com/p/4OwVt
Demonstrasi menuntut pembebasan Alaa Abdel-Fattah
Demonstrasi menuntut pembebasan Alaa Abdel-Fattah di MesirFoto: Mostafa Alkharouf/AP/picture alliance

Tidak banyak yang berubah sejak Alaa Abdel-Fattah menyudahi aksi mogok makannya pada November 2022 silam. Kendati kecaman internasional dan tuntutan untuk membebaskannya, pegiat pro-demokrasi Mesir asal Inggris itu masih mendekam di penjara.

Aktivisme Abdel-Fattah mulai dikenal sejak revolusi 2011. Sejak itu, dia sering keluar masuk penjara. Sekarang dia menjalani hukuman selama lima tahun atas dakwaan menyebarkan kabar palsu.

"Keluarga kami disarankan diam dan membiarkan agar tekanan politik membesar usai gencarnya tuntutan internasional selama Konferensi Iklim COP27 di Mesir," kata saudara perempuannya, Sanaa Seif, kepada DW. "Sekarang sudah empat bulan dan Alaa masih di penjara."

Mesir resminya tidak punya tahanan politik. Mereka yang bersebrangan dengan junta militer biasanya didakwa dengan delik "terorisme" atau "memicu kerusuhan" sosial. Organisasi HAM memprediksi pemerintah Mesir memenjarakan antara 65.000 hingga 70.000 narapidana politik.

Egypt's human rights abuses overshadow COP27 conference

"Penjara Mesir dipenuhi oleh tahanan hati nurani," kata Timozhy Kaldas, Wakil Direktur Tahrir Institute for Middle East Policy, sebuah lembaga wadah pemikir di Washington, AS. Dia yakin, bahwa "tekanan internasional merupakan alasan adanya pembebasan sebagian kecil tapol dalam beberapa tahun terakhir, tapi kami berulangkali melihat bahwa lebih banyak orang yang ditahan ketimbang dibebaskan."

Kerentanan ekonomi dan politik

Adalah krisis ekonomi yang diyakini menggerakkan Presiden Abdel Fattah al-Sisi untuk mau mendengar tuntutan internasional. Awal tahun ini, perekonomian Mesir nyaris ambruk yang memaksa al-Sisi memangkas anggaran publik dan menjual sejumlah aset negara. Reformasi itu diminta oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai syarat pinjaman senilai USD 3 miliar.

Februari silam, angka inflasi di Mesir mencatatkan rekor tertinggi, yakni 31,9 persen.

Bukan cuma situasi ekonomi di Mesir yang rawan. Sejak 2019, pemerintah juga memaksa semua organisasi non-pemerintah untuk mendaftarkan diri secara khusus. Menurut organisasi HAM, Human Rights Watch, hingga Oktober silam, sudah sebanyak 32.000 dari 52.000 LSM yang memenuhi kewajiban pemerintah.

Adapun sebagian mengeluh karena permohonan registrasi berulangkali ditolak. Organisasi yang telat mendaftar akan terancam penutupan atau pembekuan aset oleh pemerintah. Hal ini misalnya dikabarkan media independen Mesir, Madr Masa, yang hingga kini belum melengkapi pendaftaran.

"Otoritas Mesir mamaksa semua organisasi untuk memilih antara bekerja di bawah rezim otoriter, di mana independensi tidak terjamin, atau memilih ditutup," kata Adam Coogle, Wakil Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di HRW. "Membungkam kelompok independen tidak hanya memusnahkan ruang bagi perdebatan kritis, tapi juga menyulitkan upaya mengawasi pemerintahan," kata dia dalam keterangan pers.

Pada November silam, Presiden al-Sisi sempat berjanji kepada Presiden Joe Biden untuk mencanangkan strategi penegakkan HAM nasional, dialog rekonsiliasi dan amnesti bagi tahanan politik.

"Tapi saya pribadi percaya bahwa gagasannya itu cuma tipuan belaka," kata Sanaa Seif, saudara perempuan Alaa Abdel-Fattah. "Tapi janji tersebut setidaknya membuktikan bahwa tekanan internasional cukup berhasil."

rzn/hp