1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KPI: Kami Tidak Larang Iklan Blackpink

13 Desember 2018

Komisi Penyiaran Indonesia menjadi sorotan usai melarang tayangan iklan Shopee Blackpink lantaran menampilkan perempuan yang mengenakan rok mini. Namun kepada DW, Ketua KPI Yuliandre Darwis membantah kabar tersebut.

https://p.dw.com/p/3A1dx
Südkoreanische Girlgroup Blackpink
Foto: imago/imaginechina

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dikabarkan melarang tayangan iklan Shopee Blackpink lantaran anggota grup pop asal Korea Selatan itu mengenakan rok mini. Kepada Deutsche Welle, Ketua KPI Yuliandre Darwis membantah kabar tersebut. Menurutnya KPI hanya memperingati stasiun televisi untuk tidak menayangkan iklan tersebut di sela-sela acara anak-anak.

Peringatan KPI dikeluarkan menyusul sebuah petisi yang digagas dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Maimon Herawati, yang telah ditandatangani oleh lebih dari 100.000 orang. Maimon menilai tayangan iklan tersebut dapat merusak moral kaum muda dan melanggar norma keislaman lantaran mempertontonkan aurat.

Meski begitu, Yuliandre membantah keputusan lembaganya didasarkan pada norma agama, melainkan tugas KPI untuk melindungi anak-anak dari konten yang melanggar aturan perundangan. Berikut kutipan wawancaranya.

DW: Kenapa KPI mengabulkan desakan buat melarang iklan Blackpink meski telah diloloskan oleh Lembaga Sensor Film?

Yuliandre Darwis: Ada salah persepsi. KPI melarang iklan Blackpink ditayangkan dalam program anak. Jadi ada beberapa program anak yang dibanjiri iklan Blackpink. Takutnya anak-anak lama-lama terasosiasi dengan pikiran seperti itu. Kita tidak masalah jika iklan tersebut tampil terus.

Baca juga: KPI Dikritik Karena Larangan Penampilan "Kewanitaan" di Televisi

Jadi hanya dibatasi saja?

Dibatasi pada program anak saja. Karena kasihan mereka kan harus dilindungi. Masak penampilan seksi Blackpink disiarkan secara terus menerus dan simultan pada program anak. Dan kami melihat ini tidak cocok, karena pakaian yang mereka kenakan biasanya untuk kaum remaja, bukan untuk konsumsi anak-anak.

Bagaimana sebenarnya sudut pandang KPI dalam melihat persoalan seksualitas perempuan di dunia pertelevisian?

Kami mengukurnya berdasarkan eksploitasi tubuh perempuan. Contohnya ketika Agnez Monika buka baju di konsernya, kameranya mengeksploitasi tubuh Agnez Monika. Dan konten ini disiarkan pada jam untuk semua umur, jadi pasti kami berikan sanksi. Nah untuk kasus Blackpink sifatnya bukan sanksi, melainkan peringatan buat stasiun televisi, supaya norma kesopanan dan khususnya perlindungan anak-anak tetap terjaga. Jadi jangan dipasang terlalu banyak. Kami hanya memperingati, bukan memberikan sanksi.

Lembaga Anda sering mendapat tekanan oleh kelompok masyarakat yang melihat tubuh perempuan sebagai sumber masalah moral. Sikap KPI sendiri seperti apa?

KPI tidak peduli dengan suatu pandangan atau petisi, kan lagi banyak tuh. Tapi KPI bekerja dengan acuan apa yang termaktub dalam Undang-undang. Ada pasal yang melarang eksploitasi bokong, dada dan paha. Dan definisi eksploitasi itu seperti apa? Ada orang yang sekedar melihat bokong dan paha saja ya tidak masalah. Tapi ketika kamera bolak-balik (menampilkan bagian tubuh yang dilarang) dan pada jam yang utama, ya itu kan eksploitasi. Dan kami meminta pandangan pakar tentunya. 

Dalam hal ini siapa yang ingin dilindungi, perempuan atau penontonnya?

Ya kami melindungi perempuan. Yang pastinya itu. Dan penonton kan terkait dampak, sama dengan anak-anak. Dalam kasus Blackpink misalnya, kan tidak ada iklan di Indonesia yang penampilannya se-seksi iklan di Korea. Ya artinya anak-anak dilindungi juga lah ya. Jangan nanti anak-anak terasosiasi `wah keren juga yang kayak begini.`  

Sebenarnya apa kriteria sebuah siaran yang sehat kalau kita berbicara tentang seksualitas perempuan, apakah kaidah agama, standar moral masyarakat atau norma umum yang diadopsi hukum?

Undang-undang melarang eksploitasi bokong, paha dan dada. Itu salah satu definisinya di dalam Undang-undang Penyiaran. Kalau norma agama dan budaya saya kira tidak bisa dicampuradukkan. Agama punya sikapnya sendiri. Misalnya Islam memiliki definisi sendiri terkait aurat perempuan. Kan berbeda. Jadi tidak bisa dijadikan sudut pandang. Yang bisa dijadikan sudut pandang adalah Undang-undang sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Misalnya ketika UU Penyiaran melarang eksploitasi bokong, dada dan paha, stasiun televisi memahaminya sebagai siaran yang terlalu lama memperlihatkan ketiga bagian tubuh itu. Tiba-tiba patung-pun dibuat blur (disensor), kartun juga ikutan dibuat blur. Ini kan persepsi yang salah.

Larangan kampanye LGBT yang dikeluarkan KPI termasuk juga untuk melindungi anak-anak?

LGBT lain kasus. Seorang laki-laki berperilaku serupa perempuan, bukan hanya gayanya saja, tapi perilakunya berubah. Kalau terkait seni sandiwara, sekali saja boleh, tapi kalau kontinu terus menerus kan beda. Itu yang harus dipahami.

Baca juga:HRW Minta Indonesia Tidak Sensor Informasi LGBT  

Selain melindungi perempuan dari eksploitasi dan objektifikasi tubuh mereka, apakah Anda melihat tugas KPI juga termasuk melindungi kaum minoritas seksual?

Saya tidak berbicara tentang hal itu, karena yang ada di dalam Undang-undang hanya berkaitan dengan kaum perempuan dan anak-anak. Sebenarnya sifatnya pun agak umum. Jadi tidak sampai masuk ke subjetivitas personal, kepada hal-hal yang bisa bersifat ambigu. Jadi fokusnya pada konten secara keseluruhan. Misalnya kalau menyiapkan konten, buatlah konten yang benar-benar bisa jadi tuntunan. Tuntunannya seperti apa ya (diserahkan pada stasiun televisi -red), kreativitas tidak bisa kita bunuh. Jadi fokusnya ada pada konten secara keseluruhan. Kontennya ada manfaatnya nggak, kira-kira misalnya ada siaran yang bukan budaya kita. Kalau bahasa Undang-undang Penyiaran itu sederhana, apakah konten tersebut layak apa tidak.

Wawancara oleh Rizki Nugraha/hp