1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kosovo dan Hukum Bangsa Bangsa

25 Februari 2008

Apakah pemisahan diri Kosovo dan pengakuan atas kemerdekaannya sejalan dengan hukum bangsa-bangsa? Serbia dan Rusia menyangkalnya. Juga di negara-negara Barat terdapat suara yang kritis.

https://p.dw.com/p/DD14
Bendera KosovoFoto: picture-alliance/ dpa
Proklamasi Kosovo sebagai negara akan memperuncing konflik di kawasan itu dan memperdalam jurang yang ada. Juga tidak ada jaminannya di segi hukum bangsa-bangsa. Itu adalah pendapat Professor Michael Bothe, pakar terkemuka Jerman di bidang hukum bangsa-bangsa, yang tetap berpegang pada kritiknya. Menurutnya, dalam kasus Kosovo memang terdapat kontoversi yang jelas antara hak untuk menentukan nasib sendiri dan kedaulatan teritorial sebuah negara. Dalam resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1244, sudah tercantum bahwa warga Kosovo diakui memiliki hak otonomi, tetapi sekaligus diberikan jaminan kedaulatan teritorial bagi federasi Yugoslavia. Namun hak untuk menentukan nasib sendiri tidaklah mencakup hak untuk memisahkan diri. Demikian ditandaskan Prof. Michael Bothe: "Yang pasti diakui hanyalah hak menentukan nasib sendiri pada bangsa-bangsa yang dijajah. Di tahun 60-an, 70-an dan 80-an, itu sama sekali tidak dipermasalahkan." Di luar kaitannya dengan penjajahan, pendapat dunia internasional tentang hak menentukan nasib sendiri, tidak seragam. Dikatakannya: "Ini terlihat dalam soal wilayah Baskia, Korsika; lalu kita dapat berkelana ke seluruh dunia. Dimana-mana keinginan untuk memisahkan diri dihadapi dengan kekerasan." Jadi, bagi sejumlah negara Uni Eropa dan Amerika Serikat, apa bedanya Kosovo dengan kasus-kasus lainnya? Atau apa yang membedakan Kosovo dari Taiwan? Di satu pihak pemisahan diri didukung sepenuhnya tanpa mengindahkan prinsip lain yang dianut, tetapi yang lainnya tak kunjung diakui, padahal kenyataannya Taiwan sudah lama merupakan sebuah negara yang berfungsi. Menurut Professor Bothe, dalam kasus Cina, pengakuan internasional tidak dapat dipisahkan dari "teori satu Cina" yang dianut kedua pihak. Inilah yang menyulitkan. Masing-masing beranggapan hanya ada satu Cina dan pemerintahan merekalah yang sah. Jadi dalam kasus Taiwan pilihannya adalah mengakui pemerintahan yang satu atau yang lainnya, dan bukan antara sebuah negara dengan yang lainnya. Artinya keputusan PBB di tahun 60-an memang konsekuen, yaitu mengakui Beijing sebagai wakil Cina, dan bukan Taiwan. Disini tidak ada kasus pemisahan diri, kecuali kalau Taiwan merasa puas dengan wilayahnya sendiri dan melepaskan tuntutannya atas wilayah daratan Cina. Professor Bothe tidaklah menyangkal, bahwa sikap terhadap Taiwan memang dipengaruhi oleh tenggang rasa di segi politik dan ekonomi terhadap RRC: "Pengakuan itu tidak semudah keputusan yang diambil oleh pengadilan. Tetapi merupakan pernyataan yang ditentukan oleh motivasi politik. Sudah selamanya begitu." Oleh sebab itu selalu timbul sengketa dalam berbagai kasus serupa. Misalnya apakah pengakuan terhadap sebuah negara baru tidak diberikan terlalu dini? Maksudnya sebelum di wilayah baru itu terdapat otoritas negara yang sudah mantap. Seperti misalnya pada saat Jerman mengakui kedaulatan Kroasia. Tetapi sekarang, itu sudah tidak ada artinya lagi. Apakah kasus Kosovo akan membuat wilayah-wilayah lain meniru langkah itu, tergantung pada kondisi masing-masing. Demikian pendapat Professor Bothe selanjutnya. Usul seorang menteri Palestina agar dalam kasus negaranya juga diambil langkah serupa, dianggapnya tidak tepat, karena masih terlalu dini. Sebab disini kasusnya bukanlah pemisahan diri, seperti halnya bila wilayah utara Siprus yang diduduki Turki atau wilayah Baskia, mungkin juga Katalonia ingin memisahkan diri. Dari sana pulalah muncul sanggahan menentang kemerdekaan Kosovo. Dunia internasional menggunakan alasan, Kosovo merupakan kasus istimewa, tetapi semua pihak dapat menggunakan alasan itu. Artinya kini terbuka peluang untuk mencontohnya. Sekarang dunia internasional sudah masuk ke jalan buntu dan harus berusaha mencari jalan keluar. Misalnya dengan merangkul Serbia ke dalam UE. Bila keadaan warganya sudah lebih baik, mungkin mereka lebih mudah menerima kemerdekaan Kosovo. Tetapi sekarang puing-puing yang ada harus terlebih dulu dibersihkan. (dgl)