1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

310811 Syrien Eid Tote

31 Agustus 2011

Saat warga Muslim merayakan hari kemenangan setelah melaksanakan ibadah Ramadhan, para demonstran Suriah harus menghadapi kekerasan pihak keamanan yang diturunkan pemerintah.

https://p.dw.com/p/12QXO
In this citizen journalism image made on a mobile phone and provided by Shaam News Network, Anti-Syrian President Bashar Assad protesters, hold up Arabic placards reading:"We need international protection, help the Syrian people, Gadhafi didn't stay so how Assad stay," during a demonstration against the Syrian regime, in Homs, Syria, on Friday Aug. 26, 2011. Syrian security forces killed at least two people as tens of thousands of anti-government protesters flooded the streets on the last Friday of the holy month of Ramadan, a time that many activists hoped would become a turning point in the uprising. (Foto:Shaam News Network/AP/dapd) EDITORIAL USE ONLY, NO SALES, THE ASSOCIATED PRESS IS UNABLE TO INDEPENDENTLY VERIFY THE AUTHENTICITY, CONTENT, LOCATION OR DATE OF THIS HANDOUT PHOTO
Aksi protes di SuriahFoto: dapd

Selama bulan Ramadhan, oposisi mengkhotbahkan bahwa setelah bulan puasa lewat, protes menentang rezim akan tetap terus berjalan efektif. Setiap kali setelah berbuka puasa dan sholat tarawih para demonstran turun ke jalan, dengan harapan aparat keamanan Suriah tidak melihat mereka dengan jelas di malam hari.

Situasi empat pekan ini menunjukkan kebalikannya. Pemerintah terus melakukan razia dan melepaskan tembakan. Diperkirakan sekitar 300 hingga 600 warga sipil tewas. Di hari terakhir di bulan puasa dan di hari raya Idul Fitri, 24 orang tewas, lapor oposisi. Walupun aksi kekerasan terus dilakukan keamanan, puluhan ribu orang tetap berdemonstrasi dan itu di hampir 20 tempat. 

Komite kelompok oposisi mengimbau, agar warga Muslim membatasi perayaan Idul Fitri, mengingat lebih dari 10.000 warga Suriah ditawan dan demi solidariasi dengan keluarga tawanan serta pejuang martir. Di Deraa, di selatan Suriah, di mana lima bulan yang lalu pemberontakan menentang Assad dimulai, keluarga yang mengunjungi kuburan saudaranya dalam rangka Idul Fitri, tidak seperti biasanya mengenakan pakaian rapih, akan tetapi memakai baju berkabung. 

Opsosisi juga menolak segala bentuk pemberontakan yang menggunakan senjata ataupun intervensi luar negeri. Kekerasan tidak mencerminkan Suriah yang demokrasi, yang menjamin kebebasan dan martabat manusia. Jalan menempuh demokrasi merupakan ujian berhasil tidaknya perjuangan ini. Sedangkan bentuk perjuangan lain hanya akan menguntungkan rezim, demikian kata pihak oposisi.

Embargo minyak yang akan diberlakukan Uni Eropa terhadap rezim Assad nampaknya bisa menjadi masalah bagi rezim itu, akan tetapi tidak dapat menyebabkan jatuhnya rezim. Saat ini Suriah mengalami jalan buntu. Harapan Assad, aksi protes mereda di bulan Ramadhan, tidak terwujud. Upayanya melakukan reformasi, namun juga menembaki rakyatnya sendiri, bertolak belakang.

Bila perjuangan terus berlanjut, maka angka korban tewas juga akan meningkat terus, tutur pakar Timur Tengah Mouin Rabbani. "Situasi di Suriah sama seperti di negara Arab lainnya. Peralihan pemerintah secara bertahap, tidak tertera dalam agenda rezim. Mereka hanya mengenal menang atau mati. Tidak setengah-setengah."

Ulrich Leithold/Andriani Nangoy                                                                                       

Editor: Hendra Pasuhuk