1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kontroversi RUU Penyiaran, IJTI Khawatir “Pengebirian Pers”

Prita Kusumaputri
22 Mei 2024

RUU Penyiaran yang memuat pasal kontroversial soal pelarangan penayangan jurnalisme investigasi menuai protes dari banyak pihak. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia mengkritik keras RUU ini sebagai ”pengebirian pers”.

https://p.dw.com/p/4g8h6
Herik Kurniawan, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Herik Kurniawan, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)Foto: privat

Rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan kepada DW Indonesia mengatakan, ia mengkhawatirkan adanya upaya memberangus kemerdekaan pers, bila pasal pelarangan penayangan jurnalisme investigasi diloloskan.

"Ini yang namanya pengebirian pers. Dengan regulasi ini, kita (jurnalis) tidak bisa ngapa-ngapain, tidak bisa investigasi, tidak bisa melakukan jurnalisme ekslusif. Misalnya, ada kasus korupsi, itu kan kita harusnya bisa meliput ekslusif,” ucap Herik.

Apa yang bermasalah dari RUU Penyiaran?

RUU Penyiaran memasukkan pasal kontroversial soal larangan media melakukan peliputan investigasi. Sejumlah pihak melayangkan kritik keras terutama pada pasal ini, karena dianggap sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU 40 Pasal 4.

Dewan Pers mengatakan dengan adanya UU itu, maka Indonesia sudah tidak mengenal lagi adanya penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas.

"Begitu demokrasi "ditebas”, maka ini menjadi sebuah kemunduran. Kita masuk ke masa kegelapan lagi. Padahal saat ini para jurnalis juga sedang dihadapkan dengan tantangan kehadiran informasi-informasi yang katakanlah disebar oleh warganet ke media massa," ujar Herik, seraya menambahkan bahwa negara tidak seharusnya takut terhadap kerja jurnalistik. 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

 Apa pasal kontroversial lainnya di RUU Penyiaran?

RUU ini juga memuat pasal lain yang kontroversial soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Sebelumnya, Dewan Pers adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik, tetapi dalam RUU ini, penyelesaian sengketa justru akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

"Penyelesaian sengketa jurnalistik justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam Undang-undang. Oleh karena itu, penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," kata Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, dalam konferensi persnya pada Selasa (14/05).

Selama ini, KPI mempunyai wewenang dalam menangani pelanggaran yang tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), misalnya saat ada kasus tayangan yang memuat gambar orang merokok, hingga gambar anak-anak yang perlu diblur. Sedangkan, sengketa jurnalistik merupakan ranah kerja Dewan Pers. 

Jika RUU kontroversial ini diloloskan, maka ranah kewenangan Dewan Pers dan KPI akan tumpang tindih dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. 

DPR RI
DPR sudah menggodok pembahasan RUU Penyiaran sejak 2012Foto: picture-alliance/AP/Dita Alangkara

DPR membantah adanya pembungkaman pers

Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin menyatakan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak membungkam kebebasan pers di Indonesia.

"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata Nurul Arifin yang juga sebagai Anggota Panja dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024), seperti dilansir dari Detik.

Menurutnya, Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran. Hal itu karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI dan beberapa pasal dalam RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, bukan produk final.

Bagaimana peringkat kebebasan pers Indonesia?

Indeks kebebasan pers di Indonesia turun tiga peringkat, dari urutan 108 pada tahun 2023 menjadi urutan ke 111 pada tahun 2024, menurut data Reporters sans frontières (RSF). 

Di Asia Tenggara, Indonesia masih berada di atas Singapura (126), Filipina (134) dan Vietnam (174), tetapi berada di bawah Timor Leste (20), Thailand (87) dan Malaysia (107). Herik mengkhawatirkan RUU kontroversial ini juga akan meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap jurnalis. 

"Lebih besar lagi, ini juga bisa menjadi "hukuman" bagi 270 juta warga Indonesia yang mungkin tidak lagi bisa mengakses informasi dari liputan-liputan jurnalisme investigasi,” tegas ketua umum IJTI itu. 

Herik menambahkan, ini bukan kali pertama Indonesia melihat adanya berbagai upaya yang secara serius bertujuan memberangus kebebasan pers. Meski, dia menekankan pembahasan RUU Penyiaran yang kontroversial ini adalah "upaya paling serius” dalam mengekang kebebasan pers.

"Ini bahkan lebih buruk dari Orde Baru, karena terjadi di era saat keterbukaan sudah berjalan, ketika media sosial sudah mengemuka. Dulu bisa dicek, saya pikir tidak ada pasal yang melarang kerja jurnalistik investigasi,” tambahnya.

Sebelumnya, pembahasan RUU Penyiaran ini sudah digodok sejak 2012. Beleid itu disebut bakal disahkan sebelum September 2024. (as)