1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konsumsi Romantis itu bernama Jalan-jalan

Nadya Karima Melati
4 Agustus 2018

Anak-anak muda zaman sekarang banyak yang hobi jalan-jalan. Bagaimana bisa menjalani hobi ini dengan lebih bertanggung jawab pada alam?

https://p.dw.com/p/32Es4
Finnland Mitternachtssonne über dem Intarsie im Sommer
Foto: picture-alliance/chromorange/O. Borchert

Siluet seorang perempuan dengan sehelai jilbab berada di tengah-tengah sebagai objek foto, di belakangnya telihat hamparan karang yang terpa ombak, pantulan cahaya yang mengeluarkan semburat jingga dan merah muda yang menunjukan hari yang akan segera berganti malam.

Lain foto lain pemiliknya, di dalam sebuah sosial media yang sama bernama Instagram di waktu lain saya temukan foto teman saya dengan gender yang berbeda dengan formula gambar yang kurang lebih sama: siluet tubuhnya+pemandangan alam. Disertai pula kutipan ayat suci atau seorang tokoh besar dunia biasanya tentang nilai moral arus utama.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Instagram saya dipenuhi oleh pembaharuan foto teman-teman lama yang kurang lebih template-nya sama.

Lalu muncul pertanyaan mengapa template foto populer harus seperti itu? Seorang kawan yang seorang fotografer mencoba menjelaskan kepada saya bahwa sebelum ditemukannya teknologi swafoto dan kepopuleran media sosial Instagram, aliran foto terbagi dua: objek tunggal atau objek pemandangan.

Human againts nature, jadi konsep dalam foto. Kedua hal tersebut bisa digabungkan asal proposi dan komposisi dijaga.

Gaya ini kemudian ditiru oleh fotografer amatir berikutnya dan menjadi semakin populer akibat dari menjamurnya penggunaan media untuk mengunggah foto seperti Instagram.

Fenomena memamerkan foto jalan-jalan di Instagram menjelaskan bahwa anak muda pada hari ini lebih memilih menabung untuk berjalan-jalan daripada membeli tempat tinggal.

Pertumbuhan agen perjalanan online mendukung trend ini, seperti yang dilansir situs berita The Independent, beberapa perusahaan perjalanan mengaku kenaikan klien mereka didominasi oleh anak muda berusia 18 sampai 35 tahun.

Para anak muda ini, mengaku lebih mengedepankan pengalaman daripada mencicil properti yang semakin hari harganya merangkak. Mengapa tren berjalan-jalan muncul?

Romantisme Melancong

Globalisasi membuat dunia semakin kehilangan batas-batasnya dan terintegrasi. Di mulai melalui penjelajahan samudera dan perdagangan, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang melesat dalam beberapa abad terakhir membuat berpindah-pindah menjadi semakin terjangkau dan dinikmati siapa saja.

Di bawah kendali pasar bebas, wilayah-wilayah yang asing dan terpencil dikomodifikasi, mengubah citra dari yang mistis menjadi yang eksotis dan layak dikunjungi.

Eksotisme, ketertarikan untuk melihat yang berbeda dan unik menjadi hal yang dijual dalam pariwisata hari ini.

Yuval Noah Harari, sejarawan dari Israel menyatakan bahwa pada masa lalu petinggi kerajaan apabila hendak menunjukan rasa cinta dari status sosialnya yang tinggi, mereka akan membangun kuil atau bangunan tertentu.

Mereka tidak berpikir untuk merekatkan untuk pergi berbelanja ke Babylonia atau berlibur ke Venesia. Tetapi hari ini, kegiatan melancong menjadi sangat dicari, dihargai dan dipamerkan.

Hal ini disebut dengan travelling romantism, hal ini memperlihatkan bahwa hasrat atau sesuatu yang diinginkan murni bentukan sosial yang berubah seiring waktu dan sifatnya tidak kaku.

Sebuah angan-angan dibangun agar manusia mencapai potensi maksimal dengan mempunyai pengalaman sebanyak-banyaknya melalui konsumsi. Kita diharuskan membuka potensi diri kita untuk menerima sebanyak mungkin pengalamaan yang bisa dilakukan baik secara emosional ataupun fisik.

Kita diajak untuk mencoba berbagai bentuk romansa, mencoba masakan yang baru dan unik, mengapresiasi berbagai musik dan menjelajahi tempat baru.

Merasakan apa yang kita belum pernah rasakan sebelumnya dan menuliskannya dalam caption di Instagram, "how a new experience opened my eyes and changed my life.

Dampak Ekonomi, Sosial dan Lingkungan

Tren jalan-jalan di kalangan anak muda rupanya telah memberikan dampak terhadap ekonomi pada tahun lalu.

Pada pertengahan tahun 2017 lalu, ekonomi Indonesia dianggap lesu. BPS mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga dinilai melambat lantaran konsumsi dari sisi makanan dan minuman, konsumsi pakaian, alas kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, transportasi hanya tumbuh tipis antara 0,03-0,17 % sedankan pertumbuhan konsumsi restoran dan hotel melonjak dari 5,43 % menjadi 5,87 persen.

Terjadi pergeseran dari konsumsi pokok seperti pakaian ke leisure atau rekreasi.

Tidak hanya ekonomi yang berdampak, gaya romantisme traveling yang tentunya disokong oleh kapitalisme hari membuka "pasar” pengalaman tak terbatas.

Lokasi wisata tidak sekedar objek eksotis dengan lokasi yang terpencil, tetapi pengalaman berada di sana, bersentuhan dan berbaur dengan masyarakat lokal, mencicipi masakan yang baru dan sebagainya.

Pengalaman kita adalah utama. Oleh sebab itu pariwisata pada hari ini tidak lagi dilihat sebagai perlindungan, melainkan banyak mengeksploitasi dan mengubah total ekonomi, ekosistem dan budaya lokal. Lihat bagaimana gerakan penolakan reklamasi Teluk Benoa oleh warga lokal di Bali.

Menurut mereka, pembangunan resor dengan reklamasi oleh para investor memberikan dampak negatif bagi warga lokal yang ingin memelihara alam.

Reklamasi hanya akan menghancurkan ekosistem terumbu karang pantai, merusak pura yang sakral bagi warga lokal dan hanya mempentingkan pengalaman turis. Walau begitu, warga tidak serta merta menolak pariwisata.

Selain kerusakan ekosistem, pemanasan global juga disponsori oleh tren jalan-jalan. Kini, terbang dengan pesawat semakin terjangkau dan romantisme melancong menjadi formula yang terus meningkatkan kebutuhan transportasi udara.

Setidaknya 2,1% total karbon dari total karbon ke atmosfer melalui transportasi khususnya penggunaan pesawat terbang disumbang oleh turisme. Itu baru sebatas karbon polusi udara yang disebabkan oleh transportasi pesawat terbang yang terus meningkat, Kapal pesiar juga menyumbang limbah cair dari bahan bakar dan juga limbah sisa makanan ke laut juga perlu diperhatikan.

Kutipan "The world is a book who doesn't travel only read pages” harus dipikirkan kembali tentang apa dan mengapa kita harus berwisata.

Duduk diam di rumah dan membaca buku lebih sedikit menyumbang pemanasan global daripada pergi berplesir ke Pattaya. Pemahaman yang tepat tentang fenomena kekinian patut dilihat secara kritis bahwa untuk memenuhi kepuasan dalam diri, kita juga punya tanggungjawab sosial yang tidak bisa lepas.

@Nadyazura

Essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.