1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Komunitas Uighur Kecam PBB Terlambat Keluarkan Laporan Cina

William Yang
2 September 2022

PBB menguraikan laporan tentang penyiksaan Cina terhadap orang-orang Uighur di Xinjiang. Bagi sebagian orang, laporan itu ‘‘game changer‘‘, tapi bagi yang lain laporan yang telah lama ditunggu-tunggu itu tidak cukup.

https://p.dw.com/p/4GKuX
Ada sekitar 12 juta orang Uyghur yang tinggal di wilayah Xinjiang yang terkurung
Ada sekitar 12 juta orang Uighur yang tinggal di wilayah Xinjiang yang terkurung Foto: Kyodo News/IMAGO

Setelah menunggu hampir satu tahun, Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan tentang pelanggaran di Xinjiang pada Rabu (31/08). Laporan itu menunjukkan bahwa pengasingan dan perlakuan besar-besaran Cina terhadap Uighur dan etnis minoritas lainnya di Cina barat mungkin sama dengan "kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Beragam organisasi pembela hak asasi manusia (HAM) mempertimbangkan pentingnya laporan ini, dengan mengatakan bahwa temuan tersebut mengungkap tingkat kerusakan yang telah dilakukan Cina terhadap lebih dari satu juta etnis minoritas di wilayah Xinjiang. Sementara, yang lain mengatakan laporan hasil akhir menunjukkan mengapa Beijing berusaha keras untuk mencegah laporan itu dirilis.

Laporan PBB soal Xinjiang disebut ‘'game changer''

"Temuan Komisaris Tinggi menjelaskan mengapa pemerintah Cina berjuang mati-matian untuk mencegah publikasi laporan Xinjiang, yang mengungkap pelanggaran hak asasi Cina," kata Sophie Richardson, Direktur Cina untuk Human Rights Watch.

"Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menggunakan laporan itu untuk memulai penyelidikan komprehensif atas kejahatan pemerintah Cina terhadap kemanusiaan yang menargetkan Uighur dan lainnya - dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab."

Omer Kanat, Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uighur, menggambarkan laporan PBB sebagai "game changer" dan Dolkun Isa, Presiden Kongres Uighur Dunia, mengatakan "laporan itu membuka jalan bagi tindakan yang berarti dan nyata oleh negara-negara anggota, PBB, dan komunitas bisnis."

Namun, bagi yang lain, laporan PBB itu mengungkapkan kasus yang terlalu sedikit dan terlalu terlambat dikeluarkan. Rayhan Asat, seorang pengacara hak asasi manusia Uighur dan rekan senior non-residen di Dewan Atlantik, mengatakan kepada DW bahwa laporan tersebut seharusnya tidak hanya mendokumentasikan kengerian kamp Xinjiang, tetapi juga kriminalisasi ekspresi budaya Turki dan muslim sehari-hari atas nama melawan "ekstremisme."

"Cina harus memahami ini sebagai protes keseriusan dunia dalam membela dan melindungi hak-hak Uighur, dan bahwa jika ingin dilihat sebagai pemimpin dunia, maka harus segera meninggalkan kebijakan genosida, " kata Asat.

Asat tidak sendirian mengkritik cara PBB menangani kasus ini. "Jika laporan ini dirilis ketika sudah siap, kita mungkin akan mencegah lebih banyak korban,” kata Nury Turkel, Ketua Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS, yang merupakan pengacara Uighur.

"Kerusakan yang terjadi pada orang-orang Uighur tidak dapat diubah. Tidak ada yang bisa mengembalikannya kepada kami. Kejahatan ini masih berlangsung. Saya kehilangan kata-kata tentang kekecewaan dan ketidakpuasan saya dengan PBB,” katanya kepada DW. 

Beijing menentang hasil laporan

Pada Rabu (31/08), Duta Besar Cina untuk PBB, Zhang Jun, mengatakan Beijing sepenuhnya menentang tuduhan yang dibuat dalam laporan tersebut, seraya menambahkan bahwa mereka tidak bisa melihat dokumen tersebut.

Hal ini berbeda dengan apa yang disebut oleh Kepala HAM PBB Michelle Bachelet, bahwa laporan itu telah diberikan kepada otoritas terkait di Cina.

"Laporan itu merusak kerja sama antara PBB dan negara anggota. Laporan itu benar-benar mencampuri urusan dalam negeri Cina," kata Zhang Jun.

Pekan lalu, Bachelet mengakui bahwa dia menghadapi "tekanan luar biasa" atas laporan Xinjiang. Dalam sebuah pernyataan yang dikirim melalui email kepada kantor berita AFP pada Rabu (31/08), Bachelet mengatakan masalah itu serius sambil mengulangi bahwa dia telah membicarakannya dengan pihak berwenang Cina selama perjalanannya ke sana pada bulan Mei.

Bachelet juga menegaskan bahwa dialog dengan Cina tidak berarti "menutup mata." 

Protes bela Uighur
Protes mengglobal untuk membela hak-hak Uighur, protes ini terjadi di luar kedutaan besar Cina di London awal tahun iniFoto: Thomas Krych/ZUMA Wire/IMAGO

Aktivis mengkritik Bachelet

Namun, beberapa aktivis HAM mengatakan kepada DW bahwa Bachelet telah gagal memenuhi tugas kepala hak asasi manusia PBB.

"Posisi komisaris tinggi hak asasi manusia mengharuskannya untuk menjadi pejuang hak asasi manusia di luar negara. Dia bukan mediator antar pemerintah, seperti yang dia asumsikan dalam situasi ini," kata Raphael Viana David, seorang advokat Cina dan Amerika Latin di Layanan Internasional untuk Hak Asasi Manusia (ISHR).

"Dia harus mewakili kepentingan hak asasi manusia yang lebih tinggi di dunia di luar masalah geopolitik. Ini menjadi salah satu kritik utama kami terhadap pendekatannya ke Cina," tambahnya.

Untuk beberapa orang Uighur yang anggota keluarganya tetap terdampar di Xinjiang, laporan tersebut disebut membantu menarik perhatian global.

"Laporan tersebut membuat situasi Uighur lebih dikenal dunia, terutama negara-negara anggota PBB,” kata Mamutjan Abdurehim, seorang pria Uighur yang diasingkan di Australia yang telah dipisahkan dari istri dan dua anaknya sejak 2016.

"Saya berharap laporan ini akan menjadi seruan baru untuk lebih banyak kecaman dan tekanan terhadap Cina sehingga dapat membalikkan kebijakannya dan membebaskan orang-orang yang tidak bersalah seperti istri saya sambil menyatukan kembali keluarga Uighur seperti saya," katanya kepada DW.

(pkp/ha)