1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Komnas: Hukum Jarang Berpihak Pada Perempuan

20 November 2018

Komisioner Komnas Perempuan, Indriyati Suparno, menyesalkan kasus yang menimpa Baiq Nuril. Menurutnya ketidakadilan tersebut akan turut membungkam banyak korban pelecehan seksual lain.

https://p.dw.com/p/38aFI
Kaum perempuan saat aksi demonstrasi One Billion Rising yang menentang kekerasan pada perempuan, 2013 silam.
Kaum perempuan saat aksi demonstrasi One Billion Rising yang menentang kekerasan pada perempuan, 2013 silam.Foto: picture-alliance/AP

Oleh Mahkamah Agung, Baiq Nuril dinilai melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE dan sebabnya divonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 3 bulan hukuman kurungan. Terpidana kini sedang mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan tersebut.  Karena tekanan masyarakat, eksekusi bagi Nuril yang seharusnya dilakukan tanggal 21 November 2018 kini ditunda hingga ada keputusan peninjauan kembali.

Kasus yang dialami Baiq Nuril, kata Komisioner Komnas Perempuan Indriyati Suparno, adalah salah stau bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di ranah hukum. Simak wawancara lengkapnya berikut ini:

Baca juga:Vonis Penjara buat Baiq Nuril Adalah "Diskriminasi Gender"

Bagaimana pandangan Anda terhadap kasus yang dialami Baiq Nuril?

Indriyati Suparno: Bagi saya ini putusan hukuman terhadap Nuril mengabaikan rasa keadilan terhadap perempuan sebagai korban. Di tingkat pengadilan negeri dia sudah bebas, namun ketika jaksa penuntut melanjutkan kasusnya ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung, putusan terhadap Nuril memberatkan.

Menurut kami putusan itu mengingkari rasa keadilan. Karena dalam kasus ini, posisi Nuril sebagai korban kekerasan seksual tidak  diungkapkan di pengadilan dan tidak digunakan hakim untuk mengevaluasi keputusan. Kami sangat prihatin karena keputusan di tingkat Mahkamah Agung ini adalah keputusan final. Sangat sulit bagi Nuril untuk menang, kecuali ada bukti baru dan hal ini tidak mudah. 

Bagaimana perkembangan kasusnya kini?

BN adalah seorang guru yang sering ditelepon oleh kepala sekolah di tempat mereka bekerja di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam percakapan telepon berulangkali kepala sekolah mengungkapkan pelecehan seksual yang akhirnya direkam oleh Nuril karena Nuril merasa tidak nyaman dan tidak suka dilecehkan secara seksual, meski lewan telepon. Transkrip rekaman itu disebarkan oleh kolega Nuril. Akhirnya tahun 2017, Nuril dilaporkan ke polisi dan dijerat hukum.

Di pengadilan negeri Mataram ia dibebaskan, namun setahun kemudian jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung dan Nuril pun akhirnya divonis enam bulan penjara ditambah denda sebesar 500 juta rupiah lewat pasal UU ITE. Putusan itu dirasa tidak adil oleh masyarakat. Kelompok masyarakat menuntut agar Nuril dibebaskan.

Kini kami menanti hasil peninjauan kembali di MA. Presiden Indonesia, Joko Widodo berjanji, apabila hasil PK tetap menjatuhkan hukuman pada Nuril, setelah proses hukum selesai ia akan memberikan grasi, sebagai solusi atas hukuman yang dipandang tidak adil ini.

Baca juga: Bagaimana Skor Indonesia di Indeks Kesetaraan Gender 2018?

Bagaimana tekanan sosial terhadap kasus ini?

Komnas Perempuan hadir sebagai saksi, sehingga kami paham, betapa Nuril mengalami ketidakadilan. Kami mengirim surat pada kejaksaan agung untuk menangguhkan eksekusi putusan MA. Bersama para aktivis hukum, pegiat HAM, dan kelompok masyarakat lain kami melakukan gerakan untuk kebebasan Nuril.

Jika kita bicara hukum tidak bisa kita hanya bertumpu pada hukum. Namun juga pada budaya. Para penegak hukum harusnya mengedepankan rasa empatinya, jangan hanya tunduk pada kelompok-kelompok intoleran yang merugikan perempuan. 

Undang-undang ITE ini jelas gender blind. Dan undang-undang ITE ini yang sering digunakan untuk kasus-kasus seperti yang dialami Baiq Nuril. Ada juga pegawai di Dirjen Pajak yang mengalami pelecehan seksual dari atasannya, ia sebagai korban merekam percakapan itu. Ia hampir saja dijerat dengan undang-undang yang sama, namun ia mendapat pembelaan yang kuat, bahwa yang ia alami itu adalah perbuatan membela diri.

Apakah menurut Anda dunia peradilan di Indonesia diskriminatif terhadap perempuan?

Sangat. Banyak putusan pengadilan yang diskriminatif pada perempuan. Beleh dibilang hampir semua kasus yang bersifat kekerasan pada perempuan tidak berpihak pada perempuan sebagai korban. Misalnya dalam kasus yang menimpa korban pemerkosaan di Jambi. Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada gadis berusia 15 tahun itu karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan oleh kakak kandungnya sendiri. Kasus serupa juga pernah terjadi sebelumnya.

Banyak kasus hukum yang bias gender, termasuk di luar kasus pelecehan seksual. Misalnya hukuman yang dijatuhkan pada Meiliana di Tanjung balai yang mengeluhkan suara masjid. Sementara Meiliana sendiri adalah korban yang mengalami kekerasan. Dan masih banyak kasus lain yang proses hukumnya begitu diskriminatif.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Sementara dalam konteks kasus Nuril, hakim melakukan diskriminasi yang luar biasa terhadap korban pelecehan seksual. Seharusnya dia seharusnya ditempatkan sebagai korban yang harus dilindungi. Relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara itu seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara.

Bagaimana menurut Anda perspektif gender hakim sendiri dalam memutus perkara?

Hakim gagap gender. Itu sebabnya ini menjadi perjalanan panjang bagi kita untuk mendorong agar hakim-hakim dalam memutus perkara itu memakai perspektif yang jernih terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan. Banyak hakim yang tidak memahami atau mengenali perspektif gender. Mereka memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang, namun tidak menggunakan rasa keadilan sebagai landasan filosofi di dalam memutuskan perkara. Apalagi semakin meningkat kasus kekerasan seksual yang kita sebut sexual silent.

Bagaimana peningkatan kasus sexual silent di Indonesia yang Anda sebut tadi?

Angka sexual silent selalu mengalami peningkatan. Misalnya tahun 2015 ada  4000 kasus, sementara tahun 2017 terjadi 6400 kasus kekerasan seksual. Itu baru yang dilaporkan. Banyak yang tidak dilaporkan,  misalnya perbudakan seksual modern.  Misalnya satu perempuan harus melayani kebutuhan seksual seseoranga tau sekelompok orang dalam jangka waktu yang lama.

Ada beberapa kasus seperti itu, tidak dilaporkan dan sulit pembuktiannya serta tidak ada aturan yang mengatur tentang hal itu. Lalu kasus-kasus prostutusi paksa juga  juga tidak diatur, padahal ada banyak korban, yakni dipaksa menjadi pelacur.

Baca juga: Jokowi Janji Dukung Baiq Nuril Jika Tak Temukan Keadilan

Apakah hal ini karena tidak ada aturan yang tegas dalam mengatur kekerasan terhadap perempuan?

Di Indonesia belum ada aturan khusus tentang pelecehan seksual. Yang ada cuma di ranah perusahaan, karena ada undang-undang ketenagakerjaan. Di luar itu, jika ada yang mengalami pelecehan seksual, maka yang dipakai dalam penal law hanya undang-undang susila yang mensyarakatkan hanya sentuhan fisik dan dampak yang dirasakan secara langsung. Sementara misalnya untuk kasus Nuril, tidak bisa pelaku dijerat pasal itu karena tidak ada aturan menghukum kekerasan seksual secara verbal, misalnya lewat telepon seperti yang dialami Nuril.

Bagaimana solusinya agar kasus-kasus kekerasan seksual baik verbal maupun non verbal dapat diputus lebih adil dalam dunia peradilan?

Kami mendorong reformasi hukum. Pertama, revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) agar diubah supaya lebih melindungi kepentingan korban. Yang kedua kami juga mendorong lewat rancangan undang-undang penghapusan kekrasan seksual. Lex specialist untuk penal law . Saat ini RUU tersebut ada di parlemen dan prosesnya perlu kita dorong. Kami senang masyarakat menarik perhatian dalam kasus-kasus ini, sehingga bisa memberi tekanan pada parlemen untuk mempercepat pembahasan rancangan undang-undang itu.

Wawancara oleh: Ayu Purwaningsih/rzn/hp

Inilah Momen Terakhir Zainab Sebelum Diperkosa dan Dibunuh