1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Komentar: Kerusuhan di Irak

Peter Philipp24 Februari 2006

Serangan bom terhadap Mesjid Al-Askari di Samarra, diduga keras merupakan aksi provokasi untuk mengadu domba kaum Syiah dan Sunni, agar pecah perang saudara di Irak.

https://p.dw.com/p/CJeK
Reruntuhan Mesjid Al-Askari
Reruntuhan Mesjid Al-AskariFoto: picture-alliance / dpa/dpaweb

Serangan bom terhadap Mesjid Askari di Samarra, tidak diragukan lagi masuk ke dalam kategori terorisme murni. Sebab, dalam hal ini masalahnya bukan hanya kerugian harta benda. Para pelaku maupun dalangnya tahu persis, serangan terhadap tempat suci semacam itu akan memicu kemarahan dan keberingasan kaum Syiah. Dengan itu, pelaku serangan memiliki rencana atau bahkan secara terarah melakukan provokasi, agar kerusuhan yang dipicu serangan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Dan korban bukan hanya jatuh di pihak kaum Syiah, melainkan juga dari kelompok Sunni, yang diduga melakukan serangan terhadap tempat suci Syiah itu.

Tindakan berdarah dingin semacam itu, sesuai dengan perhitungan para teroris. Dan kecemasan Presiden Irak Jalal Talabani akan kemungkinan pecahnya perang saudara, juga tidak berlebihan. Di balik strategi para pelaku serangan, terdapat sasaran tunggal. Yakni, mencegah normalisasi di Irak serta mengadu domba kelompok agama yang berbeda. Jadi, mereka yang menginginkan perubahan, harus membayar ongkosnya. Sebab, setiap normalisasi situasi, seperti misalnya pemilu pada tahun lalu atau penyusunan konstitusi baru, dinilai mengancam kekuasaan para penguasa Irak.

Warga Sunni menyadari bahwa jumlah mereka tak lebih dari 20 persen populasi Irak. Ada kemungkinan, dalam sebuah sistem demokrasi mereka terdesak ke pinggiran. Memang tidak semua kaum Sunni kemudian memasang ikat pinggang bom atau meraih pelontar roket. Akan tetapi, mereka yang melakukannya tentu saja dapat mengganggu proses demokratisasi. Baik pemerintah pusat di Bagdad maupun tentara pendudukan Amerika tidak memiliki kemampuan untuk mencegah hal semacam itu. Karena itulah, sekarang ini diperlukan kebijaksanaan dari para pimpinan keagamaan, yang kata-katanya masih ditaati oleh umatnya. Misalnya saja Ayatullah besar Ali Al-Sistani yang selalu menentang aksi kekerasan, seperti juga yang ditunjukannya saat ini.

Jika situasi dapat kembali ditenangkan, maka serangan ini harus dinilai sebagai tantangan untuk mengatasi jurang pemisah yang semakin lebar di antara kelompok agama di Irak. Puluhan tahun lamanya Irak merupakan negara yang benar-benar sekuler. Harapan bahwa politik dan agama tetap dapat dipisahkan sangat besar. Hanya dengan cara itulah penyalah-gunaan perbedaan agama dan paham politik dari kelompok yang berbeda dapat dicegah .

Di luar negeri, khususnya di Eropa, kejadian di Samarra atau di tempat lainnya di Irak, jangan diangap kasus yang hanya dapat terjadi di antara kaum Muslim. Bayangkan saja, jika suatu hari, kelompok Islam fanatik menyerang katedral di kota Köln. Apakah ini contoh yang absurd? Mungkin saja. Tapi kita tentu masih ingat, setelah pembunuhan terhadap sutradara film Belanda Theo van Gogh, tidak lama kemudian terjadi pembakaran mesjid di negara tersebut.