Komentar: Kekerasan Bukan Rekonsiliasi Damai!
16 Agustus 2013Barat mengupayakan solusi damai bagi kebuntuan politik di Mesir. Selama dua minggu terakhir baik Komisaris Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton maupun kedua senator AS, John McCain dan Lindsey Graham telah meningkatkan tekanan atas pemerintah interim di Kairo dan jajaran pemimpin Ikhwanul Muslimin untuk bernegosiasi dan menjalani proses rekonsiliasi.
Namun agaknya penguasa baru Mesir, Jenderal al-Sisi tidak memiliki target serupa. Dan akhirnya, para pemantau politikpun menyadari bahwa negara terbesar dunia Arab bakal terjerumus dalam pertempuran yang menelan banyak korban. Militer Mesir memang dikenal selalu siap menggunakan kekerasan untuk menghadapi lawan, termasuk kaum Ikhwanul Muslimin yang memrotes penggulingan Presiden Mohammed Mursi.
Jurang Pasca Revolusi di Mesir
Wakil Presiden Mohammed El Baradei menegaskan, bahwa kekerasan militer telah melampaui batas dan pertumpahan darah sebenarnya bisa dihindari. Penyandang hadiah Nobel Perdamaian ini mengumumkan pengunduran dirinya dari pemerintahan interim tersebut, setelah korban berjatuhan.
Namun pengunduran Baradei yang mewakili kaum liberal Mesir, juga menunjukkan kemenangan kelompok garis keras militer Mesir di sekeliling Mendagri Mohammed Ibrahim yang berhasil memaksakan kehendak.
Rabu kelabu yang menjadi hari paling berdarah dalam sejarah terbaru Mesir, tak mungkin terjadi apabila masyarakat tidak terbakar kebencian dan sangat terpolarisasi dalam kubu islamis Ikhwanul Muslimin dan kubu liberal yang sekuler.
Pasalnya, beberapa bulan setelah Mursi menjabat presiden, perpecahan sudah terlihat dalam gerakan Revolusi 25 Januari 2011. Bisa diingat bahwa Mursi juga berhutang budi pada kalangan sekuler yang ingin mendobrak sistem Mubarak.
Namun bukannya melibatkan semua pihak dalam mendorong demokratisasi Mesir, Mursi secara eksklusif memajukan ideologi Ikhwanul Muslimin. Dan selambatnya ketika Mursi memaksakan konstitusi baru, Desember 2012, menjadi jelas bagi semua pihak bahwa gerakan pasca revolusi tidak memiliki landasan bersama.
Aliansi menentang Mursi
Kelompok-kelompok liberal yang awalnya berpencar lalu bergabung dalam Front Penyelamatan Nasional untuk menentang perubahan konstitusi yang dipaksakan oleh mantan Presiden Mursi.
Kesulitan menerobos slogan politik islamis Ikhwanul Muslimin, tampaknya mendorong front ini untuk beraliansi dengan militer dan pihak-pihak rejim lama yang masih berkuasa di tataran keamanan dan ekonomi.
Peluang pun lalu terbuka bagi militer Mesir, ketika gerakan akar rumput "Tamarod" (pemberontakan) akhir Juni 2013 berhasil memobilisasi jutaan rakyat Mesir untuk memrotes Ikhwanul Muslimin. Oleh militer yang mencitrakan diri sebagai penyelamat bangsa, kelompok Ikhwanul yang masih berkuasa itupun mulai dipojokkan, dituding sebagai ancaman bagi bangsa Mesir. Pun media dalam negeri sejak itu mencap Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris-fasis.
Hampir tak terbayangkan bahwa masyarakat Mesir akan mendukung kekerasan dan pertumpahan darah yang begitu hebat, tanpa suasana pogrom yang disulut secara terorganisasi oleh militer. Strategi rejim baru, yang merupakan aliansi antara garis keras militer dan pendukung lama Husni Mubarak, tampaknya akan sengaja menyapu Ikhwanul Muslimin.
Namun adalah tidak mungkin untuk mengalahkan sebuah gerakan sosial agama seperti Ikhwanul Muslimin dengan kekerasan, karena itu strategi kaum penguasa Mesir pasti akan berdampak buruk bagi masa depan negara itu.