1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Komedian Tunggal, Produser Tawa yang Harus Pandai Menulis

6 Oktober 2023

Panggung lawak tunggal kerap dijadikan ajang mengangkat isu-isu kritis. Banyak yang harus disiapkan komedian tunggal sebelum pentas, karena melawak di atas panggung belum tentu selucu saat bercanda dengan teman.

https://p.dw.com/p/4XBNw
Ilustrasi standup komedi di Jerman
Ilustrasi standup komedi di JermanFoto: DW

Tidak lama setelah dua pemandu acara membuka pentas komedi tunggal dan menyapa penonton, Alya Chandra Pinanditha melangkah menuju panggung. Perempuan berusia 27 tahun tersebut segera menggenggam microphone yang disodorkan oleh salah satu pemandu acara.

Ia satu-satunya komika atau komedian perempuan yang membawakan materi lawak di depan penonton di sebuah café di bilangan Rawasari, Jakarta Pusat. Malam itu lawakan yang Alya bawakan bercerita perbandingan makanan Amerika Serikat dengan Indonesia setelah ia sempat bertugas beberapa hari di negeri Paman Sam.

DW Indonesia mengamati sebagian besar penonton tersenyum dan tertawa tipis-tipis mendengar lawakan Alya. Terlihat dari beberapa kali Alya harus membuka telepon genggamnya di atas panggung untuk membaca kembali materi yang ia siapkan.

Bisa dibilang malam itu Alya terlihat gugup karena beberapa punch linenya tidak bisa mengocok perut penonton. Punch line adalah bagian lucu dari sebuah lawakan setelah komika menyampaikan pokok bahasan (premis) dan pengantar (set-up).

"Grogi di atas panggung, ngeblank karena ada ekspektasi audiens untuk lucu. Lihat reaksi dan feedback (audiens) saat itu juga," kata Alya kepada DW Indonesia.

Menurut Alya, bercanda di bersama kawan berbeda dengan saat melucu dan membawakan materi lawak di atas panggung komedi tunggal. Alya yang terbiasa berbicara di depan umum sebagai bagian dari pekerjaannya terkadang masih merasa sulit membuat orang tertawa dengan materi komedinya.

"Di stand up (kita) menghadapi audiens yang berbeda beda (latar belakangnya). Apakah memiliki kesamaan referensi, kelucuan, dan sensitivitas yang sama dengan premis komika," papar Alya.

Masih banyak lawakan seksis

Alya bergabung dalam komunitas Standup Indonesia Jakarta Timur sejak Juni 2023. Perempuan yang sehari-hari bekerja di sebuah lembaga konsultan itu merasa perlu membawa premis-premis dari sudut pandang perempuan di materi lawakannya. Ia sudah open mic sebanyak kira-kira 15-16 kali hingga September tahun ini.

Industri komedi tunggal sangat didominasi oleh kaum laki-laki, bahkan cukup banyak materi lawakan yang seksis. Hal ini, menurutnya, bisa terus melanggengkan stereotip negatif terhadap perempuan. 

"Ya karena dominasi ini, aku belum bisa masukin sudut pandangku supaya bisa diterima. Saat ini aku belum nemu caranya," kata Alya.

"Kadang aku merasa tidak safe di komunitas laki-laki," ujar Alya menambahkan. Apalagi, pentas komedi tunggal kerap diadakan malam hari dan selesai cukup larut, menjadi keresahan baginya yang masih tinggal dengan orang tua. Pulang sebelum acara selesai menjadi pilihan logis bagi Alya.

Keresahan serupa juga disuarakan oleh Ibnu Sofyan Dwi Panca. Berangkat dari kegelisahan pribadi yang dia rasakan, pemuda berusia 23 tahun itu kerap membawakan mater-materi komedi seputar poligami. Ia yakin poligami harus diketahui banyak orang walaupun masih dianggap bahasan yang tabu bagi khalayak umum.

Komedi tunggal sebagai pilihan karir?

Berbeda dengan Alya yang baru terjun di dunia komedi tunggal empat bulan lalu, Ibnu sudah menggeluti komedi sejak tahun 2019 di komunitas Standup Indonesia Jakarta Pusat. Ia sudah memiliki pengalaman manggung di kampus, salah satu partai, perusahaan, dan café.

Ibnu berpendapat, kalau hanya berkutat sebagai komika di atas panggung tentu saja tidak menjanjikan karena persaingan dengan komika yang lain cukup ketat. "Masih ada peluang lain yang bisa menjadi pilihan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Contohnya, pembuat konten, penulis naskah di acara televisi", kata Ibnu.

"Karena komika sudah punya dasar sebagai penulis," terang Ibnu kepada DW Indonesia.

Sementara bagi Alya yang sudah memiliki dan mencintai pekerjaan tetapnya, komedi tunggal bukan menjadi opsi bagi dirinya untuk berkarir. Namun, melalui komedi tunggal, ia senang bisa mendengar cerita-cerita dari orang lain dengan sudut pandang yang berbeda. 

Alya mengibaratkan komedi tunggal seperti layaknya menulis blog pribadi, di mana seseorang bisa menuliskan opini dan argumentasinya. "Itu adalah sebuah wadah untuk berpikir kritis dan terstruktur," tambahnya.

Komika wajib menulis

Sementara itu, Obi Mesak, komika sekaligus Ketua Komunitas Standup Indonesia Jakarta Pusat mengatakan, semua komika wajib menulis. Tulisan yang disusun dari mengolah hasil riset dilengkapi dengan opini pribadi dan dibumbui komedi berguna bagi komika saat tampil ke depan penonton. Menulis komedi beda dengan nulis cerpen atau puisi, tambahnya.

"Ada titik, ada koma. Di materi itu ada tempo, intonasi menuju punch line, di bagian ini perlu ada act out atau tidak," kata Obi menjelaskan kepada DW Indonesia. Setelah komika selesai menulis, lanjut Obi, mereka harus membawakan materi tersebut di depan cermin atau kerap disebut ngebadanin. Di situ komika bisa melihat seperti apa penampilan yang dia harapkan untuk mendapatkan gelak tawa penonton.

Kemampuan menulis juga harus disertai dengan kapabilitas mempresentasikan di depan penonton. Menurutnya, senior-senior di komedi tunggal kerap mengajarkan prinsip 20% menulis 80% penyampaian.

Dengan kemampuan menulis komedi yang mumpuni, kata laki-laki asal Nusa Tenggara Timur tersebut, seorang komika punya banyak pilihan profesi turunan di dalam industri komedi tunggal.

"Nulis tayangan web series, sketsa komedi, konsultan komedi, nulis naskah untuk production house, agensi, atau film. Karena standup komedian itu basic-nya menulis," ujar Obi. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).