1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Koalisi Besar Hamas dan Fatah

14 September 2006

Kedua partai besar Palestina, Fatah dan Hamas, berencana membangun koalisi raksasa guna membentuk pemerintahan yang demokratis.

https://p.dw.com/p/CPJ2
PM Palestina Ismail Haniya (kiri) bertemu Presiden Mahmoud Abbas
PM Palestina Ismail Haniya (kiri) bertemu Presiden Mahmoud AbbasFoto: AP

Tak pelak, rencana ini mengundang berbagai reaksi media-media Eropa. Diantaranya adalah harian berhaluan liberal kiri Denmark, Information yang menulis tajuk berjudul, "Pembentukan pemerintahan Palestina adalah ibarat gempa bumi."

"Kerja sama kedua partai besar, Fatah dan Hamas, berdasar kepada sebuah dokumen yang disusun pada awal tahun ini oleh poilitikus-politikus Palestina yang berada di penjara Israel. Mereka menjanjikan untuk mengangkat tema tentang perbatasan dengan Israel tahun 1967 ke atas meja perundingan. Faktanya adalah, bahwa sejumlah orang yang terlibat dalam penyusunan dokumen itu memiliki keterkaitan dengan Hamas. Organisasi radikal ini sendiri selalu menolak pemikiran semacam itu. Karena mengakui perbatasan tahun 1967, dapat berarti sebuah pengakuan eksistensi Israel.

Masyarkat Palestina melihat rencana pembentukan pemerintahan koalisi sebagai uluran tangan kepada dunia Barat untuk sebuah perjanjian kerja-sama baru. Namun jika hal itu juga tidak dapat melunakkan sanksi Israel, maka semua harapan akan segera berubah menjadi kekecewaan yang mendalam."

Sementara itu harian koservatif Swiss, Die Presse, dalam komentarnya mendesak agar Uni Eropa tetap bersikap keras terhadap Hamas, sampai kelompok tersebut mengakui eksistensi Israel.

"Hamas memang telah mengambil ancang-ancang, tapi belum lagi mampu keluar dari bayang-bayangnya sendiri. Dan oleh karena itu, Uni Eropa seharusnya tetap menunjukkan punggungnya dan tidak melakukan kontak apapun dengan kelompok radikal tersebut. Karena Uni Eropa sendiri telah menetapkan syarat utama untuk hal tersebut, yaitu bahwa Hamas mengakui hak eksistensi Israel.

Meskipun demikian, rencana pembentukan pemerintahan koalisi Palestina telah membuka ruang gerak baru. Apalagi jika posisi menteri luar negeri diisi oleh seorang anggota Fatah. Pun Uni Eropa dapat mengijinkan pencairan dana bantuan kepada setiap kementrian yang tidak dipegang oleh Hamas. Logika yang tidak dapat diubah adalah, hanya jika Israel diakui, maka siapapun itu dapat menjadi mitra Israel dalam peundingan damai."

Berbeda dengan komentar harian Perancis, Le Monde yang berhaluan liberal kiri, yang justru melihat rencana pembentukan pemerintah koalisi Palestina sebagai sebuah peluang.

"Bagi pemerintahan Palestina, rencana ini dapat berarti keluar dari jalan buntu. Selain itu, harapan yang tersimpan di balik pembentukan pemerintahan koalisi adalah mengeluarkan rakyat Palestina dari jurang kemiskinan dan menghindari krisis kemanusiaan. Sering sekali diucapkan, dengan tepat dan benar tentu saja, bahwa konflik antara Palestina dan Israel selama ini sebagai penyebab dari berbagai drama mengerikan yang kerap terjadi di Timur Tengah. Kesepakatan koalisi antara Hamas dan Fatah juga mengisyaratkan, bahwa dunia internasional dan Israel harus tunduk kepada aturan main yang baru digariskan. Tapi itu akan tergantung kepada kesediaan pemerintahan Ehud Olmert untuk memulai dialog dengan Pemerintahan Palestina."