1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peretas Siluman dari Cina dan Rusia di Situs KPU

19 Maret 2019

Ada peretas dari Cina dan Rusia yang ingin menyerang data pemilu, demikian pernyataan KPU menjelang pemungutan suara. Seminggu berselang, terungkap peretas yang dimaksud sebenarnya ada di Indonesia.

https://p.dw.com/p/3FHgc
Illustration - Computer - Cyberkriminalität
Foto: Reuters/K. Pempel

Minggu lalu, Rabu (13/03), Komisi Pemilihan Umum(KPU)  mengeluarkan pernyataan ada peretas yang menggunakan IP (Internet Protocol) Address dari Cina dan Rusia yang ingin meretas situs KPU. Pernyataan ini segera menyebar rasa khawatir akan adanya upaya untuk "memanipulasi dan mengubah” data daftar pemilih tetap (DPT) dari sekitar 187 juta pemilih sah.

"Tidak hanya mereka (Cina dan Rusia) semua, banyak. Saya tidak begitu hapal IP address dari mana saja, tapi ada beberapa," ucap komisioner KPU Evi Novida Ginting seperti dikutip dari kumparan.com, Rabu (13/03). "Nah, itu macam-macam (serangannya), ada yang deface saja, ya macam-macam yang diserang itu," tuturnya menambahkan.

Namun klaim komisoner KPU tersebut belakangan dibantah tim IT KPU sendiri. Harry Sufehmi, konsultan infrastruktur IT di KPU menyebutkan memang benar secara konstan ada serangan peretas dari negara-negara Rusia,  Cinadan Amerika Serikat, namun upaya itu kemungkinan besar berasal dari Indonesia.

"Kemungkinan sebagian besar dari mereka adalah peretas lokal," ungkap Sufehmi, "Mereka hanya menggunakan titik lokasi di negara tersebut untuk menutupi jejaknya."

Baca juga: Kisah Buzzer Media Sosial Jelang Pemilu

Takut intervensi asing

Februari 2019, calon presiden 01, Joko Widodo sempat menyerang lawan politiknya dengan menyebutkan ada "propaganda Rusia” yang berupaya menyebar informasi yang salah. Meski muncul kekhawatiran akan adanya campur tangan asing dan peretas yang mencoba membajak pemilu Indonesia mendatang, tim keamanan siber KPU menyatakan kondisi saat ini sebenarnya tidak berbeda dengan pilpres tahun 2014.

"Rata-rata ada 10 hingga 20 upaya (peretasan) setiap harinya, tetapi sebagian besar upaya tersebut berbentuk otomatis, bukan peretas sungguhan yang membuat semacam serangan khusus,” kara Sufehmi, "Sejauh ini saya pikir sebagian besar adalah perorangan, bukan aktor yang mewakili institusi pemerintahan, dan hanya perorangan yang berasal dari Indonesia. Upaya ini konsisten dengan pola yang telah kami amati selama bertahun-tahun, sejak 2014.”

Baca juga: Mencari Pemimpian Ideal Idaman Para Warganet

Serangan itu biasa

Upaya untuk meretas data pemilih pemilu sangat rutin terjadi hingga sudah dianggap sebagai hal yang "normal", ujar Sufehmi. Sebagai institusi penting, ketika seseorang mampu meretas data di KPU maka ia akan mendapat nama di kalangan peretas.

Meski tidak ada upaya peretasan yang berhasil, namun tim siber KPU yang bertugas menjaga keamanan DPT, menyimpan kekhawatiran akan berbagai upaya merangsek data dengan cara lainnya.  Kandidat oposisi menuding ada sekitar 17.5 juta identitas yang dipertanyakan dalam DPT tahun ini – klaim yang saat ini sedang diselidiki KPU.

Awal Maret (06/03), KPU mencoret 101 warga negara asing dari 103 WNA yang masuk dalam DPT. Sementara dua data WNA lainnya adalah ganda. Senin (18/03), dua WNA asal Inggris dan AS sempat tercatat dalam DPT di Kota Depok, Jawa Barat untuk Pemilu 2019.

Lalu Januari lalu (03/01), tersebar informasi soal tujuh kontainer berisi jutaan surat suara Pilpres 2019 yang tercoblos dan dikirim dari Cina. Meski KPU mengonfirmasi informasi itu tidak benar, namun masa kampanye yang dipenuhi dengan hoax membuat informasi demikan dengan cepat menyulut sentimen warga akan pengaruh Cina di Indonesia.

Meski demikian, kekhawatiran akan "pemilih siluman" dan anomali lainnya dalam DPT bukanlah hal yang baru. Tahun 2014, Mahkamah Konstitusi menolak klaim kandidat presiden Prabowo Subianto, yang tidak menerima hasil pemilu dengan menyebut ada kecurangan dalam DPT.

ts/hp (The Guardian, Kumparan, detikNews)