1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memperkenalkan Sastra Indonesia di Jerman

Anggatira Gollmer
4 Mei 2019

Terdorong oleh antusiasme terhadap sastra Indonesia, Gudrun Fenna Ingratubun bekerja menjadi penerjemah sastra. Dengan profesinya, banyak penulis Indonesia juga berhasil mendapat pembaca di Jerman.

https://p.dw.com/p/3Hn9j
Die Autorin Gudrun Ingrabutun
Foto: privat/Gudrun Ingrabutun

"Bahasa Indonesia sangat indah, penuh perasaan dan kaya istilah menarik,” ujar Gudrun Fenna Ingratubun. "Bahasa Indonesia juga sangat kreatif karena kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa asing juga bisa dileburkan. Tapi tentunya ini juga membuat Bahasa Indonesia cukup rumit secara kosa kata,” lanjutnya.

Gudrun yang berdomisili di Berlin berbicara Bahasa Indonesia dengan fasih dan bekerja sebagai penerjemah sastra Indonesia ke dalam Bahasa Jerman. Tanpa seorang penerjemah, karya-karya sastra Indonesia nyaris tidak mungkin dikenal di dunia internasional. Sampai sekarang Gudrun sudah menerjemakan karya-karya antara lain dari Okky Madasari, Laksmi Pamuntjak, Triyanto Triwikromo dan Faisal Odang.

Perjalanan Gudrun berkenalan dengan Indonesia berawal dari sebuah kebetulan. Seusai SMA Gudrun tinggal di sebuah desa terpencil di Tanzania untuk berkeja sebagai relawan. Suatu kali Gudrun mendapatkan sebuah surat dari rumahnya yang memakan waktu pengiriman 4 bulan. Anehnya, di amplop surat tertera stempel Jakarta. "Kalau melihat ke belakang, kejadian ini bisa dianggap sebagai pertanda, bahwa Jakarta akan menjadi tempat penting di hidup saya,” komentar Gudrun tentang hal mengherankan itu.

Setelah kembali ke Jerman, Gudrun mulai kuliah pertanian dan sastra Inggris, lalu ia berkenalan dengan seorang yang duduk disampingnya di kelas pertamanya: seorang mahasiswa asal Indonesia. Sejak itu Gudrun kenal semakin banyak orang Indonesia dan sampai akhirnya jatuh cinta dengan seorang pria asal Indonesia, menikah, punya 3 anak bersama dan tinggal selama 5 tahun di Indonesia.

Karena cara hidup yang santai dan orang-orang yang hangat, Gudrun sangat menikmati tinggal di Indonesia. "Saya suka kebersamaan di Indonesia. Orang memikirkan keadaan bersama. Tentu ini juga bisa membatasi, tetapi kebersamaan ini adalah sesuatu yang indah. Seperti misalnya berbagi makanan dengan orang lain,” tutur Gudrun. Salah satu kata favorit Gudrun dalam Bahasa Indonesia: "Sama-sama enak”. Kehangatan ini seperti ini menurut Gudrun bisa dipelajari orang Jerman dari Indonesia.

Proses belajar Bahasa Indonesia

Tingkat berbahasa Indonesia yang baik tentu menjadi persyaratan untuk menjadi seorang penerjemah yang bagus. Berbekal pengalaman belajar bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Inggris, Bahasa Latin, Bahasa Yunani Kuno dan Bahasa Kiswahili, Gudrun sudah mempunyai tata belajar bahasa yang baik ketika mulai belajar Bahasa Indonesia.

Di awal datang ke Indonesia, Gudrun kurus bahasa dengan guru privat selama 3 minggu di Makassar. Lalu ia pindah ke Sumbawa, lanjut belajar dengan buku tata bahasa dan kamus serta hanya berinteraksi dengan orang Indonesia. "Karena itu saya bisa dengan teliti mendengarkan cara mereka berbicara. Saya juga menyesuaikan dan meniru pilihan kata, lafal serta intonasi dari orang-orang sekitar saya," ceritanya. "Memang prosesnya naik turun, tetapi akhirnya saya menjadi semakin fasih.”

Gudrun juga sempat tinggal di Jakarta dan bekerja untuk Goethe Institut. Disana ia juga bisa lebih memperdalam ilmu bahasanya melalui interaksi dengan banyak budayawan Indonesia dan membaca sastra Indonesia. Disinilah Gudrun juga mulai menerjemahkan teks-teks pertamanya untuk newsletter dari Goethe Institut.

Sejak tahun 2010 Gudrun kembali tinggal di Jerman dan karir sebagai penerjemah sastra dimulai dengan terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan di Pameran Buku Frankfurt 2015. Karena untuk ajang buku termahsyur ini dibutuhkan banyak karya sastra yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman, Gudrun ditanya oleh Goethe Institut untuk menerjemahkan beberapa cerita pendek. Semenjak itu Gudrun semakin aktif menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia sampai sekarang.

Melalui perkenalannya dengan beberapa sastrawan di awal karirnya dan melalui pameran-pameran buku internasional, jumlah penulis yang Gudrun kenal semakin bertambah. Ia juga aktif dalam berbagai program yang memberikan beasiswa kepada sastrawan dan acara-acara Temu Sastra. Gudrun tidak pernah kekurangan karya menarik yang ingin ia terjemahkan. Ia pribadi sangat menyukai karya kritis, karya yang mengandung filsafat, karya yang memberikan suara bagi kelompok yang terdiskriminasi serta juga tema-tema feminis.

Pekerjaan dengan berbagai sisi penuh tantangan

Menurut Gudrun, Bahasa Indonesia memang tergolong mudah dipelajari dari sisi tata bahasa, tetapi tetap ada beberapa kesulitan yang ia hadapi dalam menerjemahkan karya. "Salah satu tantangannya adalah bentuk waktu yang berbeda dengan di Bahasa Jerman. Kadang di Bahasa Indonesia tidak begitu jelas, harus dimengerti dari konteks apakah sesuatu sedang terjadi, sudah terjadi atau hanya diinginkan,” jelasnya. "Saya harus memutuskan bentuk waktu yang tepat dalam Bahasa Jerman.”

"Sastra Indonesia bunyinya indah. Lebih emosional daripada Bahasa Jerman dan banyak permainan dengan metafora,” ujar Gudrun. "Ini juga seharusnya bunyinya tetap indah dalam Bahasa Jerman. Tetapi jika diterjemahkan terlalu harfiah, ini bisa dianggap norak. Jadi saya harus menemukan jalan tengah yang kreatif,” paparnya lebih lanjut.

Namun tantangan tidak hanya ditemukan ketika bekerja di balik buku atau komputer saja. "Kesulitan utama adalah untuk menemukan penerbit yang mau mempublikasikan karya-karya sastra Indonesia, karena penulis-penulis Indonesia masih kurang dikenal, jadi penerbit tidak tahu apakah bukunya akan laku terjual disini” ujarnya sambil sesekali menyeruput kopi tubruk merk Aroma asal Bandung. Karena itu salah satu bagian terpenting dari pekerjaan sebagai penerjemah adalah juga menjadi perantara antara penulis dan penerbit yang akan menerbitkan karya tertentu.

Bertemu para sastrawan dan pembaca secara langsung

Kebahagian bekerja menjadi penerjemah sastra juga ditemukan Gudrun dalam berbagai aktivitas lain yang terjadi di seputarnya. "Ketika saya menerjemahkan sebuah karya, saya berusaha bekerja dekat dengan sastrawannya, jadi saya juga bisa banyak bertanya, tukar pikiran dan kami mencari solusi terjemahan bersama. Kadang karyanya juga bisa berubah sedikit atau saya dilibatkan dalam pembentukan sebuah karya kalau sudah berinteraksi waktu penelitian dan rencanakan karya ,” kata Gudrun sambil tersenyum.

Agar sastra Indonesia bisa lebih banyak ditemukan di Jerman, Gudrun juga membentuk sebuah klub sastra Indonesia di Berlin. Secara berkala anggotanya yang terdiri dari orang-orang Jerman dan Indonesia bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra Indonesia yang sebelumnya sudah ditentukan dan dibaca. Selain untuk memperdalam pengertian atas cerita, ada imbas lain yang juga diharapkan Gudrun.

"Ini seperti sebuah tes, bagaimana sebuah karya Indonesia diterima publik. Saya juga menulis blog tentang setiap pertemuan, jadi ini bisa menjadi sumber informasi bagi penerbit Jerman,” ujar Gudrun dengan semangat. "Sampai sekarang masih sedikit sekali informasi yang ada tentang sastra Indonesia bagi orang Jerman, apalagi jika mereka tidak bisa bicara Bahasa Indonesia.”

"Saya antusias sekali dengan sastra Indonesia dan saya ingin agar lebih banyak orang bisa membacanya,” ujar Gudrun. "Inilah yang menjadi penggerak utama saya.”